16 - Jaket Hoodie

57 12 75
                                    

Part ini  panjang. Jadi kubagi jadi dua  dengan judul yang sama. Mari menebak, ada apa dengan Jo di masa depan. Selamat membaca :)

Bersih-bersih lemari selalu menjadi kegiatan yang paling malas kulakukan. Tapi hari ini, aku mengumpulkan niat untuk melakukannya. Sekali pun lelah kurasa sepulang kerja, daripada memikirkan hal yang tak seharusnya kupikirkan, bersih-bersih lemari bisa menjadi pengalih perhatian yang cukup efektif.

Membuka lemari kayu jati pemberian ibu, aku mulai mengeluarkan tumpukan baju-baju yang berdesakan memenuhi lemari sampai tak ada lagi ruang tersisa. Sebagian di antaranya sudah kusut karena jarang kupakai. Kupilah satu per satu baju-baju itu, memisahkan yang masih layak pakai untuk disumbangkan. Kantorku akan mengadakan acara amal minggu depan, jadi kupikir menyumbangkan beberapa baju adalah ide yang bagus.

Mulai dari kaos, sweater, kardigan, jaket, celana bahan, jins, sampai jaket-jaketku yang warnanya sudah memudar karena waktu. Tak terasa sudah tiga puluh menit aku berkutat dengan pekerjaan ini. Rasanya menyenangkan juga. Belum pernah kunikmati pekerjaan membosankan ini sebelumnya, tapi masalah yang sedang kuhadapi mengajarkanku untuk menikmati hal-hal sederhana sebagai hiburan.

Lemariku terdiri dari tiga bagian. Atas, tengah, dan bawah. Bagian atas penuh dengan baju kerja dan baju yang kubeli akibat lapar mata, bagian tengah dengan celana dan baju yang ku-curi dari lemari ibu--kalau-kalau aku sedang rindu padanya. Bagian bawah memuat jaket, koleksi kain batik, dan tasku.

Saat aku tiba di bagian lemari paling bawah, sesuatu menarik perhatian dan membuatku berhenti--sebuah jaket hoodie biru dongker dengan gambar dua kuda perang putih di bagian punggungnya.

Jaket itu tersembunyi di bawah kumpulan kain batik pemberian ibu yang tak kunjung kubawa ke penjahit. Aku terkejut melihat warnanya yang tak sedikit pun memudar, meski jelas ada beberapa bagian jahitannya yang lepas. Wajar, sebab umur jaket ini sudah hampir satu dekade. Kuambil jaket hoodie itu, dan senyuman di wajahku langsung mengembang.

Biar kuceritakan.

Kejadian itu terjadi di bulan sibuknya para pelajar, sebab ujian kenaikan kelas sedang berlangsung. Aku terbangun pukul empat pagi mendengar suara ribut-ribut yang sepertinya berasal dari depan rumah. Penasaran, aku beranjak dari kamar, melepas headset yang ternyata masih terpasang di telingaku semalaman bersama dengan buku pelajaran sejarah yang berada di posisi tengkurap di sebelah bantal.

Kulangkahkan kaki menuju sumber suara, yang ternyata berasal dari ruang tamu. Aku terkejut bukan main melihat apa yang terjadi.

Di ruang tamuku banyak orang berkumpul. Bapak-bapak, ibu-ibu, sampai beberapa anak karang taruna. Di depan rumahku terparkir mobil ambulans yang siap untuk tancap gas dengan ibu yang terlihat panik setengah mati di bangku belakang.

Segera aku menembus kerumunan orang itu, mengetuk-ngetuk jendela mobil ambulans sambil memanggil ibu. Ingin kutahu apa yang terjadi, tapi mobil ambulans segera tancap gas dengan cepat dan membawa ibu, meninggalkanku sendirian dengan penuh tanya.

Tunggu. Jika ibu yang dibawa pergi, kemana ayah?

Atau jangan-jangan...

"Mbak Jo, papamu kayaknya kena serangan jantung. Subuh-subuh mamamu gedor-gedor rumahku, minta tolong." Salah satu anak karang taruna--Mas Johan--memberitahu. Sontak, mataku menjereng lebar, mulutku membentuk huruf "O"besar seperti orang bodoh dan aku menoleh ke jejak ambulans yang sudah tak terlihat mata. Ayahku terkena serangan jantung?! Gadis batinku meremas rambutnya karena syok.

"Itu ambulans rumah sakit mana, Mas? Boleh minta tolong anterin nggak?" pintaku pada Mas Johan. Dia mengangguk bersedia. Aku tak sempat melihat logo rumah sakit mana yang ada di mobil ambulans itu karena saking bingungnya.

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang