20 - Ada yang Hilang

53 10 68
                                    

Lagu untuk chapter ini : Ipang Lazuardi - Ada yang Hilang.

Teruntuk orang yang udah memperkenalkan aku dengan lagu ini enam tahun lalu, terima kasih. Lagunya masih aku inget, bahkan jadi inspirasi nulis. 😂

Selamat membaca :)

****

Mendengar suara tangisan sendiri adalah hal yang paling menyedihkan. Rasa sesak di dada semakin menyiksa tatkala sadar aku sudah menangis sampai hidungku tersumbat dan mataku hanya bisa terbuka separuhnya. Mungkin mataku sudah bengkak karena menangis. Entah sudah berapa lama, akhirnya aku merasa lelah juga.


Kuusap hidung dengan punggung tanganku dan kuangkat kepala perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah sepasang kaki bersepatu pantofel dalam posisi bersila. Aku lantas cepat-cepat mendongak. Kaget karena ternyata ia masih di sini.

Tidak, bukan Daniel. Tapi Marcell.

Ia berkedip sekali. Matanya mengamati wajahku. Ekspresi wajahnya sulit kujelaskan. Detik berikutnya, ia membuka suara sambil memberiku sebungkus kecil tissue.

"Udah capek nangis belum?"

Pertanyaan konyol. Tapi entah kenapa itu cukup menohok untukku. Tentu aku lelah menangis. Siapa juga yang mau terus-terusan seperti ini? Aku lantas tertawa miris. "Udah. Kayaknya air mataku habis."

"Dia ngomong apa sampai matamu bengkak macam orang ditonjok?" tanya Marcell sambil merapikan anak rambutku yang mencuat keluar. Entah seperti apa tampangku saat ini. Aku malu sekali.

"Putus," jawabku singkat. Aku tak punya daya merangkai kalimat panjang. Masih terngiang jelas dalam kepalaku bagaimana Daniel mengucapkan kalimat keramat itu. Ekspresi wajahnya sama sekali tak menunjukkan penyesalan, rasa sakit, atau pertimbangan. Ia lempeng (lancar) saja mengatakan hal itu. Bahkan dengan entengnya meninggalkanku sendirian dan berharap aku bisa mengerti.

Apanya yang harus dimengerti?

Dasar laki-laki egois!

Lagi-lagi aku tersenyum miris.

"Bakso jamur yuk!" Marcell berdiri, mengulurkan tangan kanannya padaku. Ia tersenyum lebar sementara aku menggeleng. Selera makanku hilang.

"Ck, Jo. Kamu tak pekso (aku paksa) lho hari ini. Kudu (harus) mau! Ndak boleh nolak," tuturnya saat melihatku menggeleng. Segera ia menarik tubuhku agar bangkit dari posisi, lalu menggiringku keluar gedung sekolah. Untuk kesekian kalinya aku berakhir di atas Motor Supra milik Marcell, mengelilingi Kota Surabaya demi mencari bakso jamur yang belum sebanyak sekarang.

Akhirnya, kami menemukan warung bakso aneka isi di pinggir jalan. Dengan pelayanan yang super ramah dan bonus es campur jumbo (karena kami adalah pelanggan pertamanya hari itu) sang pemilik berhasil membuatku dan Marcell bak sapi glonggongan. Perut membuncit, bersendawa tanpa tahu aturan.

Marcell tertawa mendengar sendawaku. Ah, bahagia ternyata sesederhana itu ya...

Senang bukan main sang bapak pemilik warung. Sebab katanya ia tak kedatangan satu orang pun sejak pagi. Ia bercerita bahwa dirinya sempat bernazar memberikan es campur gratis pada pelanggan pertama yang datang. Aku dan Marcell lantas betah berlama-lama di sana. Rasanya seperti seluruh warung bakso ini disewa hanya untuk kami berdua.

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang