26 - Runtuh

40 9 39
                                    

Enam puluh purnama… sebentar lagi akan genap seratus.
Aku menghitungnya, purnama demi purnama.
Selalu kudapati ia bersinar terang di langit.
Namun purnamaku kini berwarna hitam. Sehitam jelaga.
Hilang cahayanya, redup… kalah dengan kerasnya hidup.
Satu hal yang ingin kutahu, sanggupkah cahaya yang redup kukembalikan pada hidup?

****

Aku adalah gadis paling berahagia saat itu. Dilamar oleh seorang pemuda rupawan berperawakan tegap, sang abdi negara yang berhasil membalaskan dendamnya pada masa lalu.

Satria Ganendra Himawan. Anggota Tentara Nasional Indonesia, anak emas kolonel laut, kebanggaan satuan  penjaga batas laut negara. Pesta lamaran yang bisa dikatakan cukup mewah, digelar di sebuah hotel berbintang dan dihadiri oleh pejabat menengah Angkatan Laut. Gadis mana tak bangga? Aku seharusnya bisa bermegah untuk itu.

Cincin emas berkadar dua puluh dua karat dengan hiasan batu berwarna merah melingkar dengan indahnya di jari manis kiriku, tanda bahwa sebentar lagi aku akan sah menjadi pasangan hidup seseorang. Kata teman-teman seangkatan, aku adalah gadis paling beruntung di antara mereka. Berprofesi aparatur negara, mendapat calon anggota TNI pula. Bahagiakah aku?

Ya, seharusnya begitu.

Seharusnya aku bahagia di usia yang ke dua puluh empat aku tak lagi perlu mencari.  Sebab ia yang akan meminangku sudah di depan mata. Namun nyatanya…

Empat bulan setelah bertunangan, hubungan kami kandas.

Mengapa terkesan tiba-tiba?

Sebenarnya tak sesederhana itu. Biar kuceritakan.

Menjadi pasangan seorang abdi negara bukan perkara mudah. Apalagi ketika ia bertugas di perbatasan dan tiap harinya menghadapi risiko bahaya. Kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Pun aku yang kala itu sering ditugaskan keluar kota menjadi sulit menemukan waktu berkomunikasi.

Aku menjalani hari demi hari dengan kabar yang jarang-jarang. Seminggu sekali saja sudah bersyukur. Mas Indra tak pernah kembali ke Surabaya sejak hari pertunangan kami. Sering dilanda rindu, pada akhirnya aku sampai pada titik jenuh.

Orang mana tak jenuh dengan hubungan yang begitu-begitu saja? Kami tak pernah ngobrol sesuatu yang berarti. Boro-boro membicarakan rencana pernikahan, pertanyaan sesederhana 'gimana harimu?' saja hanya terucap kalau ingat.

Aku masih ingat hari itu adalah tanggal dua puluh empat bulan ke sepuluh. Sehari sebelum hari jadi kami. Kutatap getir kalender yang sudah kutandai dengan tinta merah, meraih gawai, dan membatalkan semua reservasi yang kubuat. Sehari sebelum hari H, semuanya batal. Aku dirundung kecewa, namun tak kuasa menyatakan protes.

"Iya, nggak apa-apa Mbak. Memang udah risikonya batal reservasi. Terimakasih." Kuakhiri panggilan sembari memijit pangkal hidung. Ini bukan perkara uang tak kembali karena membatalkan reservasi. Lebih dari itu, ini masalah hilangnya waktu yang berharga.

"Apa ini hubungan yang katanya bikin iri semua orang?" gerutuku sembari menatap cincin pertunangan kami.

Pernahkah kau merasa tak memiliki meski sesuatu itu adalah milikmu?

Itulah rasanya memiliki tunangan yang seperti bayangan. Hanya sebatas status, wujudnya jarang terlihat, suaranya jarang sekali terdengar. Jika sudah begini, pikiranku selalu berkelana. Menarik kembali kisah yang kuukir dengan Mas Indra selama lima tahun menjalin hubungan. Jatuh bangun, pasang surut, naik turun roller coaster sudah kami lewati. Selama itu juga kami menghadapi masalah yang sama. Komunikasi dan kurangnya rasa percaya.

Seringkali ia mencurigaiku bermain dengan salah satu rekan kerja. Hanya bermodalkan alasan mimpi buruk tengah malam, ia lantas menyebutnya sebagai firasat. Sungguh ini tak sehat. Terkadang aku lelah menghadapinya. Tak jarang aku berpikir, salahkah aku mau menjalin hubungan dengan pria yang punya masalah kepercayaan?

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang