19 - Kalimat Keramat

56 12 90
                                    

Sejak hari itu, kulihat banyak yang berubah dari Daniel. Ia makin pelit berbagi cerita denganku. Bahkan pembicaraan kami sekarang menjadi minim topik dan cenderung membosankan. Terakhir kali kami bicara baik-baik dan tertawa bersama rasanya sudah berminggu-minggu lalu.

Bagi seorang wanita, tentu ini bukan pertanda baik. Berbagai prasangka dan asumsi memenuhi kepala, meski masih kucoba sekuat tenaga untuk menepisnya. Aku tahu, aku tak boleh berpikir negatif sebelum benar-benar tahu alasannya.

Satu hal lagi, lama-kelamaan wajah seorang Daniel Atmaja tak lagi seperti dulu. Rambut berjambulnya tak lagi ditata rapi. Lingkaran hitam kini terlukis jelas di sekitar matanya. Ia mulai sering terlambat ke sekolah, sering pula dihukum hormat bendera selama tiga puluh menit di tengah lapangan.

Inikah Daniel yang kukenal? Kenapa ia lebih mirip orang asing?

Tiap kali ditanya, jawabnya selalu sama. "Aku nggak bisa cerita sekarang."

Jujur, aku bosan dengan jawaban seperti itu. Wanita mana yang bisa berpikir positif dengan jawaban yang menggantung?

Tidak ada. Tidak satu pun.

Kalau bukan sekarang, lantas kapan? Bulan depan? Tahun depan?  Entahlah. Aku tetap memberitahu diri untuk berpikir positif. Sampai akhirnya mataku melihat sesuatu yang tak wajar. Sesuatu yang membuatku berang dan menumpahkan kekesalan dalam rentetan kalimat tak menyenangkan.

Aku melihatnya bersama Aruna--si gadis centil--sedang bersenda gurau di depan kelas. Bukan sekedar tertawa bersama, tapi sudah sampai pada tahap di mana gadis itu mengarahkan tangannya pada kulit kekasihku. Oh! Gadis batinku berlari dan menjambak rambutnya.

Tanpa pikir panjang, aku mempercepat langkah dengan hentakan sepatu yang keras bak prajurit. Kuhampiri Daniel dan teman sekelasnya itu, tanpa basa basi langsung kuguncang bahunya. Aku berteriak marah, tatapanku tajam, mataku terasa panas karena membendung air mata.

"Sama aku kamu diam seribu bahasa. Bahkan satu gigi pun nggak lagi kelihatan. Tapi malah sama dia," Aku menunjuk Aruna dengan telunjukku. Gadis itu lantas membelalak tak terima. "Sama dia kamu bisa ketawa seolah nggak ada beban! Ada apa sih sama kamu Daniel Atmaja? Udah bosen? Kalau mau cari yang lebih cantik bilang aja! Enggak usah pakai acara bohong dengan jawaban 'aku nggak bisa cerita sekarang'! Iya, nggak usah cerita. Soalnya aku udah lihat sendiri, ternyata ini alasanmu berubah!"

"Whoa! sabar, Mbak!" Salah satu teman sekelas Daniel angkat suara. Ia menarik mundur tubuh Daniel dariku. Aku tak menggubris. Urusanku bukan dengannya. Urusanku adalah dengan Daniel.

"Kenapa diem aja?!" tantangku.

"..." Daniel diam seribu bahasa. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya menatap nanar padaku. Mulutnya mangap-mangap hendak mengatakan sesuatu, namun entah apa yang tersangkut di tenggorokannya sampai suaranya tak keluar!

"Daniel, diem bukan solusi!" Kutarik kerah bajunya, dan di saat bersamaan Aruna mendorong tubuhku menjauh dengan mata melotot. Ia seperti seorang ibu yang tak terima anaknya diperlakukan kasar oleh seorang wanita. Aku bersumpah ini sudah seperti drama FTV.

"Jo, kalau mau cari ribut jangan di area sekolah!" tuturnya. "Daniel bisa bercanda sama aku, emang apa salahnya? Harusnya daripada marah-marah, kamu coba introspeksi, apa yang salah dari kamu sampai Daniel lebih banyak diem sama kamu!"

Jadi dia mencoba mengajariku sekarang?! Gadis batinku mengerang kesal. Ingin sekali aku menarik rambutnya seperti dalam drama. Namun alih-alih melakukannya, aku justru melepas cengkramanku pada kerah seragam Daniel dan balas menatap Aruna dengan mata berkaca-kaca tanpa kata. Bibirku bergetar menahan agar jangan sampai kalimat jahat tak beretika terucap.

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang