21 - Tak Cukup Hanya Setengah-setengah

42 12 77
                                    

Hari demi hari kujalani. Rasanya aku sudah seperti manusia berkepribadian ganda. Aku mulai mengkhawatirkan diri sendiri sebab saat di sekolah aku bisa tertawa lepas dan melakukan aktivitas seperti biasa. Namun di rumah, apalagi saat sendirian, aku bisa melamun dalam waktu yang lama dan tiba-tiba menangis.

Aku bahkan sampai meminjam gawai ibu demi mencari tahu apa yang sedang terjadi padaku. Dan dari semua tanda yang kualami : kehilangan semangat, suka menyendiri, perubahan drastis suasana hati, semuanya tertuju pada satu kondisi : depresi.

Apakah sebegitu parahnya?

Aku tersenyum kecut, menghapus riwayat penelusuran dari gawai ibu. Gadis batinku lantas berseru. Aku nggak depresi. Ini hanya patah hati biasa. Aku baik-baik aja. Aku cuma butuh lebih banyak distraksi.

Ya, mungkin lebih baik aku tidak bersentuhan dengan gawai, internet, ataupun media sosial untuk sementara waktu.

Waktu terus berjalan hingga sebulan sejak kejadian itu, dan sepertinya alam bawah sadarku masih tak bisa menerima kenyataan. Sejak itu aku jadi takut sendirian. Sebisa mungkin aku selalu menyibukkan diri dan berada di tengah kumpulan orang. Sebab jika aku sendirian, kalian tahu apa yang akan terjadi.

Aku menjadi seperti anak kecil yang harus ditemani kemana pun. Beruntungnya, kehidupan akademikku masih bisa kupertahankan. Nilai try out-ku meningkat, dan aku merasa siap menyambut ujian nasional yang hanya tinggal seminggu lagi.

Aku bahkan membeli buku persiapan masuk perguruan tinggi setebal delapan sentimeter dan menghabiskan setidaknya dua sampai tiga jam setiap hari mengerjakan soal. Kesannya jadi seperti kutu buku, tapi aku merasa ini sangat membantu. Pikiranku teralihkan darinya. Marcell juga sangat berjasa dalam hal ini. Terkadang kami pergi ke perpustakaan kota--memanfaatkan fasilitas yang ada--untuk belajar bersama, atau jika kami sedang dalam mode malas : ngobrol selama berjam-jam.

Entahlah, tapi sepertinya aku dan Marcell memang semakin dekat. Ia semakin berani menunjukkan perhatiannya padaku. Meski tak pernah melakukan kontak fisik berbau romansa, semua hal yang dia lakukan membuatku merasa bahwa ini bukan sekedar perhatian biasa.

Setelah gawaiku kembali, ia jadi lebih sering meneleponku untuk sekedar basa basi. Ia bahkan mulai berani bertamu ke rumah dan ngobrol dengan ayah. Meski awalnya aku senang-senang saja, lama kelamaan aku berpikir aku tak bisa membiarkannya.

Semakin dekat kami, semakin berbahaya. Aku tak mau persahabatanku hancur untuk ketiga kalinya karena urusan cinta. Meski Marcell tak pernah mengungkapkannya, aku cukup peka. Jadi kuputuskan memberi jarak diantara kami. Aku mulai mengabaikan teleponnya dan fokus pada persiapan ujian nasional.

Tapi... bukan hidup namanya jika tak ada ujian.

Hari itu, sehari sebelum ujian nasional aku mendengar--bahkan menyaksikan sendiri--sesuatu yang membuat tangisku pecah setelah sekian lama aku bertahan tanpa air mata.

Aku masih ingat betul hari itu. Pukul tiga lewat, di lorong gedung E SMA Budi Mulia aku melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang duduk bersebelahan di tangga.

Aku yang kala itu berjalan sendirian menenteng ransel yang resletingnya rusak, dibuat kaget--dan juga sedih--bahwa dua sejoli yang kulihat adalah Daniel Atmaja dan seorang gadis berambut kecoklatan dengan badge kuning, yang artinya dia adalah adik kelasku.

Daniel mendekatkan kepalanya pada kepala gadis itu. Mereka tersenyum menatap kamera depan gawai yang dipegang Daniel. Si gadis terlihat tersipu malu di sampingnya, lalu memanyunkan bibir ketika melihat hasil swafoto mereka. Katanya, "Mukaku jelek, Mas! Jangan dipake foto profil! Belum lagi kalau banyak yang tahu gimana?"

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang