29 - Pria Juga Manusia

37 9 55
                                    

Erangan frustasi, wajah pucat, tubuh yang semakin kurus. Hal seperti itulah yang kini mengisi hariku. Dua minggu sekali (itu pun jika Daniel tak mengomel dan mengeluh malas) aku menemaninya kontrol dan tiap hari aku akan mengantarnya menerima obat injeksi.

Obat obat jenis ini memang harus diberikan oleh tenaga kesehatan. Tentu tak sembarang orang boleh melakukannya. Aku selalu menunggunya di ruang tunggu, dan Daniel akan keluar dengan wajah merengut sambil memegangi lengannya. Tak butuh waktu lama, ia akan segera mengeluh nyeri.

"Nyerinya sampai ke tulang," kata Daniel. Ah, itu belum seberapa. Seringkali--meski tak tiap hari--setelah minum obat, ia mengeluh sakit kepala, mual, dan selera makannya hilang. Jika sudah melihatnya begitu, hatiku mencelus. Aku tak tega. Terkadang aku berpikir jika aku ada di posisinya, aku akan melakukan hal yang sama : mengeluh. Namun, karena aku sudah berjanji padanya, maka kewajibanku adalah memberinya semangat dan keyakinan bahwa semua akan segera berlalu. Daniel akan baik-baik saja

Aku tak menyalahkan Daniel karena mengeluh. Sebab, kewajiban mengunjungi rumah sakit tiap hari membuat Daniel seperti orang yang terkurung. Ia tak bisa bebas, bahkan mencari pekerjaan saja ia tak bisa. Efek samping obat membuat fisiknya tak sekuat dulu.

Bulan demi bulan kami lewati. Dokter bilang, masa pengobatan TB MDR membutuhkan waktu lebih lama daripada TB reguler. Selama itu, entah sudah berapa kali kudengar Daniel mengucapkan, 'aku pengen nyerah.' dan 'kita berhenti aja.' Pada awalnya aku selalu marah tiap mendengar kata itu. Namun lama kelamaan telingaku jadi kebal juga.

Selama itu pula hal ini kusembunyikan dari Mas Indra. Aku hanya mengatakan padanya bahwa Daniel hanyalah teman biasa agar kami tak perlu bedebat panjang lebar. Aku sudah lelah, dan rasanya ingin menyerah. Hubungan kami makin buruk saja. Seakan tiada hari tanpa bertengkar. Tak pernah luput barang sehari ia mencurigaiku. Jarak memang cobaan yang berat bagi hubungan dua insan.

Entah kapan aku bisa menemukan waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mas Indra. Belum lagi, kedua pihak keluarga mulai menyadari ada sesuatu yang salah dengan hubungan kami. Ibu seringkali bilang, 'camer-mu nanya itu, lho. Kamu kok jarang mampir? Jo apa sering dinas luar sekarang, Bu?' sambil menirukan gaya bicara ibu Mas Indra.

Aku dan Mas Indra memang sepakat tak perlu melibatkan orangtua dengan alasan tak ingin menyusahkan mereka. Tapi, namanya juga orangtua. Mereka punya firasat jika sesuatu terjadi. Maka hari itu, kuputuskan mengunjungi rumah calon mertuaku dan bicara empat mata dengan mereka. Jelas, aku mendapat teguran karena tak membicarakan ini sejak awal. Mereka pun memaksa Mas Indra pulang ke Surabaya agar masalah kami cepat selesai.

Hal itu tentu membuatnya marah padaku karena menceritakan semua pada orangtuanya berarti aku sudah melanggar kesepakatan yang kami buat. Meski ia marah, tetap saja. Indra tetaplah Indra yang memegang prinsip bahwa pekerjaan adalah prioritas. Ia menolak segera pulang. Katanya, nanti saja, cari waktu luangnya dulu. Sungguh, masalah ini makin rumit saja. Beberapa hari terakhir aku bahkan sulit tidur. Jika sudah begitu, bisa kau tebak siapa teman bicaraku.

"Siapa suruh, hubungan lagi sama mantan?" katanya setelah mendengar ceritaku. Daniel tertawa meledek di seberang sana. Suaranya sumbang dan lemah karena efek obat.

"Bukan salahmu. Bukan salah siapa-siapa. Dari awal emang ada yang salah sama kami." Aku membalikkan posisi tubuh. Wajahku kini menghadap langit-langit kamar. Gelap. Hanya ada secercah cahaya dari layar ponsel yang kini menempel di telingaku. Mataku terasa begitu berat, namun aku enggan mengakhiri obrolan.

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang