Pagiku diawali dengan drama basah kuyup.
Hujan turun di saat yang tidak tepat, seolah tak peduli ada orang yang sedang buru-buru sebelum dokter yang hendak ditemui terbang ke rumah sakit lainnya.
Turunnya tanpa permisi, tanpa izin pula. Saat motor sedang berhenti di lampu merah, hujan turun deras, membuat kami seketika basah kuyup. Terpaksa, motor kami harus menepi sejenak.
Sesampainya di tujuan, aku bergegas melepas jas hujan kelelawarku yang lengannya sobek, dan berlari ke gedung rumah sakit untuk berteduh. Sementara orang yang bersamaku, langkahnya terkesan enggan. Matanya menatap datar, menyiratkan rasa jenuh pada gedung dengan aroma obat yang penuh manusia berwajah pucat.
Dia berjalan di belakangku. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku jeans, matanya menjelajah sekitar. Dengan satu hentakan napas, dia memilih duduk di ruang tunggu, memperhatikan layar televisi rumah sakit yang menayangkan berita pagi sementara aku menuju loket pendaftaran untuk mengambil nomor antrian.
Selama menunggu giliran, sesekali kuperhatikan pria yang duduk di sampingku. Dia terlihat gelisah dan berulang kali memeriksa jam tangannya.
"Sudah jam berapa ini? Nanti kalau kamu terlambat kerja gimana?"
"Nggak apa-apa, toh memang ini rutinitas wajib setiap pagi," jawabku.
Pria itu menghela napas pasrah. Matanya kembali menatap layar televisi, namun kaki kirinya tak bisa berhenti bergerak. Aku tahu dia merasa tak sabar dan ingin segera pergi dari rumah sakit. Spontan, kugenggam tangannya dan kuberikan senyum tulus meskipun dia tak bisa melihatnya. Separuh wajah kami sama-sama tertutup masker.
"Kalau lima menit lagi nggak dipanggil, mending cabut aja deh!" gerutunya sambil melepaskan tangannya dari genggamanku.
Aku diam, berusaha untuk tak menganggap serius kata-katanya barusan. Ini biasa terjadi jika dia melihat antrian panjang di rumah sakit. Ditambah lagi, drama hujan deras membuat suasana hatinya semakin buruk. Aku maklum... tak apa.
Alih-alih menanggapi gerutuannya, aku mengambil buku catatanku dan mulai menulis. Kuharap ini bisa membunuh waktu dengan cepat.
****
Hujan mengingatkanku pada kejadian sepulang sekolah. Kejadian yang tak akan hilang dari memoriku. Jika biasanya hujan identik dengan bergalau ria, aku justru bahagia tiap kali mengingat momen yang terjadi sembilan tahun lalu.
Aku dan Daniel berteduh di depan sebuah toko kelontong. Guntur saling bersahutan, air sudah menggenang hingga batas lutut. Kami berdiri dengan menjinjing sepatu yang sudah basah kuyup. Daniel melipat celananya sampai lutut, rambutnya basah karena hujan, membuat jambul yang menjadi ciri khasnya hilang dari pandangan.
"Gini amat ya, Jo. Pulang sekolah nyeker (telanjang kaki), angkot nggak ada yang lewat, langitnya marah mulu," katanya sambil memandangi langit yang berwarna putih keabuan. Kata orang, kalau langit menunjukkan warna demikian, hujan akan berlangsung lama. Nyatanya benar. Satu setengah jam diguyur hujan, sekolah kami banjir. Banyak motor mogok, tak ada angkot yang berani beroperasi. Jadilah, aku dan Daniel menunggu seperti anak terlantar di depan toko yang berjarak satu kilometer setelah terminal.
Daniel mengajakku nekat pulang berjalan kaki. Katanya, siapa tahu setelah lewat terminal kami bisa menemukan angkot. Nyatanya, banjir melanda sampai sejauh itu, membuat langkah kaki kami berat dan memutuskan untuk istirahat sejenak.
"Nggak ada yang jual pentol ya? Enak nih kalau ada. Duh, perut keroncongan lagi," katanya sambil memegangi perutnya. Di saat bersamaan, terdengar suara protes dari sang perut. Aku lantas tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelabu Asa
RomanceIni adalah sebuah kisah cinta masa SMA yang berujung pada rumitnya hubungan yang terbawa hingga dewasa. Cinta pertama memang tak mudah terlupa. Hubungan yang terjalin selama bertahun-tahun membuat ikatan batin yang kuat antara dua insan. Mereka tak...