2 - Polosnya Cinta Masa Remaja

86 23 107
                                    

Aku, Diajeng Joana Candramaya menerima permintaan Nath--panggilan akrab Natalia--dan dengan senang hati membantunya melakukan pendekatan dengan Daniel Atmaja.

Entah ini disebut bodoh atau apa, tapi aku bersedia menjadi umpan supaya Nath bisa bicara dengan Daniel. Hari ini, dengan lutut gemetar aku meminta pin BBM Daniel. Ya, kala itu BBM--BlackBerry Messenger--sangat populer. Semua orang menggunakannya.

Daniel sibuk mengutak atik gawainya, sementara aku menundukkan kepala, menatap layar gawaiku sendiri. Nath sedang berdiri di sampingku, dengan mata berbinar memperhatikan gerakan jemari Daniel. Modusku adalah untuk tugas kelompok. Nath bilang, Daniel tidak akan curiga jika aku yang meminta kontaknya karena posisiku sebagai ketua kelompok. Dan jadilah, aku harus mengejar Daniel menyusuri lorong sekolah demi mendapatkan pin BBM-nya. Astaga, aku malu sekali.

"Ini kode QR-ku. Kamu pindai aja ya, biar nggak repot masukin pin," kata Daniel sembari memberikan gawainya padaku. Aku mengangguk dan mengikuti instruksinya. Tak sampai satu menit, nama Daniel Atmaja kini sudah ada dalam daftar kontakku.

Aku mendesah lega, mengembuskan napas panjang setelah laki-laki jangkung itu meninggalkanku dan Nath di lorong sekolah. Dengan girang, Nath mengambil gawai dari ranselnya dan menambahkan Daniel dalam daftar kontak.

"Makasih banyak Jo! Kamu baik buangetttt!" katanya sambil mencubit kedua sisi pipiku. Aku tersenyum kecil, menganggukkan kepala sambil mengusap pipiku yang agak nyeri karena cubitannya.

****

Mengingat kembali masa awal SMA membuatku tertawa, lebih tepatnya tertawa geli. Betapa polosnya aku saat itu. Joana di masa itu belum seberani sekarang. Aku tidak pernah mengungkapkan perasaan pada siapapun, tak pernah pula menunjukkan tanda bahwa aku menyukai seseorang. Tapi di hadapan Daniel Atmaja, aku tidak berkutik.

Aku berhenti menulis sejenak. Menyesap kopi yang sudah dingin karena sejak tadi kudiamkan, kemudian mengintip ke luar jendela. Hujan belum juga reda. Ah, setidaknya suaranya meramaikan apartemenku yang sunyi. Teringat sesuatu, aku menoleh ke arah sofa, tempat dia berbaring dan tidur nyenyak. Bahkan saat tidur pun, dia masih terlihat menawan. Sudah satu jam aku mengabaikannya, dan dia masih di sana. Setia menunggu sampai terlelap.

Ya Tuhan... harus bersikap seperti apa aku padanya?

Beranjak dari meja tempatku menulis, aku mengambil sebuah bantal di kamar dan meletakkannya di bawah kepalanya. Tak tega rasanya melihat dia meringkuk di atas sofa. Kupandangi laki-laki itu sejenak. Mengagumi betapa indah ciptaan-Nya yang satu ini. Betapa sempurna Dia mengukir setiap bagian wajahnya. Mungkin Tuhan sedang tersenyum saat menciptakannya.

Namun, sesempurna apapun, dia tetap punya kekurangan. Tak ada yang sempurna memang, tapi bukankah manusia berhak memilih dengan siapa dia ingin menghabiskan sisa hidupnya?

Dia membuatku ragu untuk memutuskan. Apa aku bisa menerima kekurangannya dan hidup dengan itu sampai putih rambutku? Apa aku siap menerima semua risiko jika memilih dia?

Apa aku harus bicara jujur dengannya atau tetap diam?

Ah, sepertinya kelemahanku sejak dulu hingga sekarang tetap sama. Sulit merangkai kata untuk mengungkap rasa. Aku terbiasa diam dan menguji diri, sampai seberapa jauh aku mampu bertahan melakukan sesuatu di luar kehendakku?

Jika aku bersamanya, mungkin aku akan cukup secara finansial. Tapi apakah aku bahagia hanya dengan itu?

Jika aku meninggalkannya, mungkin aku bisa bahagia, tapi akan ada banyak ketidakpastian yang harus kuhadapi. Hidup yang tidak stabil, keluar masuk rumah sakit, menguras isi dompet untuk biaya pengobatan, siapkah aku?

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang