Prolog

1K 37 10
                                    

Desa Kembang, 1981

"Kapan kamu kembali, Mas? Aku rindu sekali sama kamu."

Wanita hamil itu sedang memandangi foto suaminya. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat rindu. Sudah enam bulan suaminya pergi dan ia belum mendapat kabar. Surat-surat yang ia kirim tak kunjung dibalas. Beralih dari foto suaminya, wanita itu melihat potret dirinya bersama suaminya yang kala itu baru saja menikah.

Foto itu ia keluarkan dari bingkai, membaliknya ke bagian belakang dan menemukan dua nama tertulis. Ningsih Sukmawati dan Aryo Sutardjo-nama mereka berdua. Didekapnya foto itu dan terkenanglah ia akan masa lalu mereka. Ningsih yang selalu menghabiskan waktunya bersama Aryo di sungai hanya untuk menyaksikan ikan berenang bebas.

"Kenapa kamu selalu melepaskan tanganku saat kugenggam, Ningsih? Kamu sudah tidak cinta padaku lagi?" tanya Aryo yang sedang memancing, curi kesempatan menggenggam tangan Ningsih.

"Kata ibuku, laki-laki tidak boleh menyentuh perempuan. Nanti bisa hamil!" Aryo tergelak mendengar Ningsih. Ia tidak habis pikir kenapa wanita itu sangat mempercayai omongan ibunya.

"Kenapa kamu tertawa? Tidak ada yang lucu, Mas!" kata Ningsih sebal seraya memukul kecil punggung Aryo.

"Lihat! Kamu baru saja menyentuh punggungku! Bukankah kamu takut hamil?" kata Aryo kepada Ningsih.

Ningsih yang menyadari perbuatannya lantas berhenti dan mengalihkan pandangannya ke sungai.

Aryo meraih kembali tangan Ningsih dan menggenggamnya. "Tidak akan hamil kalau hanya pegangan tangan, Ningsih. Ibumu berkata begitu supaya kamu menjaga jarak dengan lawan jenis. Memang setiap lelaki punya nafsu, namun percayalah aku tidak begitu. Aku tahu batasan dan aku sangat menghormatimu sebagai seorang wanita."

Ningsih tersentuh dengan kata-kata Aryo. Selanjutnya, ia tidak lagi menolak jika lelaki itu menggenggam tangannya. Setelah cukup lama memancing, Aryo tersentak dengan alat pancingnya yang tiba-tiba berat. Ningsih tertegun melihat ikan besar yang Aryo dapatkan, padahal lelaki itu tidak pandai memancing. Ikan pun ditaruh ke dalam ember dan Aryo berencana memanggangnya untuk dimakan bersama.

"Bagaimana kamu bisa mendapatkan ikan sebesar ini? Padahal kamu tidak pandai memancing," kata Ningsih heran.

Aryo lantas menjawab, "Mungkin aku sedang beruntung."

Pemandangan sungai ini sangatlah indah. Ningsih bisa saksikan cahaya matahari yang pudar dilahap senja dan burung-burung berhamburan karena hari sudah gelap. Tidak ingin beranjak begitu saja, Aryo membawakan beberapa kayu bakar untuk memanggang ikan hasil jerih payahnya tadi.

"Apa aku terlalu lama?" tanya Aryo.

"Tidak kok," jawabnya.

"Hanya seekor yang berhasil kutangkap. Apa kamu tidak masalah jika aku membaginya?" tanya Aryo merasa tidak enak.

"Seekor saja belum tentu habis kumakan, lagi pula ikan ini besar sekali. Sebaiknya kita bagi saja." Ningsih menyetujui Aryo untuk membagi ikan itu.

Malamnya mereka ditemani api unggun. Kala itu, Ningsih asyik memandangi Aryo yang sibuk membakar ikan. Lelaki itu jadi salah tingkah dan memalingkan wajah, kemudian sedikit berdeham. Ekhm!

Ningsih beralih posisi dan duduk di sampingnya. "Kenapa kamu palingkan wajahmu? Aku ingin lihat wajah tampanmu!"

Ningsih merasa lucu melihatnya terbatuk. Wajah Aryo merah padam setelah Ningsih memujinya tampan.

"Hentikan, Ningsih! Kamu membuatku malu!"

"Memangnya kamu malu kepada siapa? Hanya kita berdua di sini. Lagi pula kamu benar-benar tampan, kok!"

"Kamu juga ... cantik."

Sekarang Aryo yang balik menyerang Ningsih. Ia ingin lihat bagaimana reaksi wanita itu ketika dipuji olehnya. Memang jodoh tidak ke mana, ekspresi Ningsih sama seperti Aryo yang seharusnya semakin percaya diri ketika disebut tampan. Wanita itu malu, kemudian menutup seluruh wajahnya.

"Lihat! Kamu jadi malu sepertiku!"

Aryo tergelak melihat Ningsih. Ia pun menggapai wanita itu untuk ditaruh di pundaknya. Tahu dirinya bersandar di bahu Aryo, Ningsih memperlihatkan wajahnya lagi.

"Kenapa kamu tutup wajahmu?" tanya Aryo.

"Aku tidak mau kamu lihat wajahku yang merah karena pujianmu," jawabnya.

Ningsih Sukmawati adalah sosok bunga desa. Wajahnya yang cantik menjadi idaman kaum Adam. Rambutnya panjang sepinggang, pipinya agak gembul dengan bola mata cokelat. Bagian tercantik Ningsih adalah saat ia mengenakan kemben dengan rambut dikepang dua. Tidak lupa diselipkan bunga di sisi telinganya.

"Kamu ingat pertemuan pertama kita dulu?" kata Ningsih mengingat momen pertamanya mengenal Aryo.

"Tentu saja aku ingat. Rasanya seperti dongeng saja," kata Aryo yang ikut terlempar ke masa perkenalannya bersama Ningsih.

Hari itu, Aryo sedang mencari tumbuhan penyembuh untuk mengobati kaki ayahnya yang terkilir saat mereka berburu. Selesai mengumpulkan tumbuhan, Aryo berniat pulang menyeberangi sungai yang deras karena arusnya terhalang batu besar. Ditengah perjalanan, tiba-tiba ia menemukan kemben hanyut di sungai. Daripada terdampar semakin jauh, Aryo meraih kain itu dan berteriak kepada seseorang.

"Permisi!"

Tidak ada sahutan.

Aryo belum menyerah, menunda pulang sejenak untuk mencari pemilik kemben itu. Dan benar saja, ia melihat seorang wanita sedang mandi dan mencuci rambutnya dengan air. Aryo tidak melihat wanita itu sepenuhnya karena terhalang oleh batu.

"Permisi, apakah Anda pemilik benda ini?!"

Wanita itu menjawab, "Ah, iya! Itu punya saya!"

Aryo menyerongkan tubuhnya karena ia tahu wanita itu tidak mengenakan apa-apa. Lantas, benda itu ia lemparkan dan sampai ke pemiliknya.

"Terima kasih!" kata wanita itu.

"Sama-sama!" jawab Aryo yang sudah berubah posisi dengan membelakangi wanita itu.

Yang Aryo pikir pertemuan ini hanya sekadar lewat, ternyata salah. Wanita itu menghampirinya dan berterima kasih karena telah menyerahkan kembennya yang sempat hanyut.

"Aku seperti Jaka Tarub saat itu," ucap Aryo sambil tertawa.

"Bedanya kamu sangat baik. Kalau Jaka Tarub mencuri selendang bidadari, kamu mengembalikan kembenku!"

Aryo semakin terkekeh hingga tak terasa ikan yang sejak tadi dibakar sudah matang.

"Ayo kita makan!"

Mereka pun menyantap ikan itu, saling menyuapi satu sama lain, puas dengan hasil tangkapan yang tidak seberapa itu.

Ningsih pun menyudahi kenangan lamanya, tidak kuat menahan rindu hingga bulir bening di matanya keluar. Ningsih hanya ingin suaminya kembali, menyambut lahirnya anak mereka bersama-sama, menghabiskan sisa hidupnya bersama Aryo seperti sediakala.

"Kembalilah, Mas."

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang