"Bapak, anak kita rewel lagi!"
Wanita paruh baya itu kerepotan mengurus anaknya. Dari tengah malam hingga menjelang dini hari, bayi itu masih saja rewel. Sudah diberi asi pun tetap cerewet. Lantas pasangan suami istri itu harus merelakan jam tidur mereka, bergantian menggendong anak barangkali tangisnya reda.
"Kemarikan anak itu." Lelaki itu menyodorkan kedua tangannya, menggendong bayi itu dengan penuh sukacita, dan membiarkan istrinya istirahat sejenak.
"Ssstt... sudah, Nak! Sini, lihat Bapak!"
Dia berupaya mengalihkan perhatian si anak yang terus menatap ke atas. Sesaat kemudian rumah mendadak gaduh karena suara cicak dengan intonasi yang tidak lazim. Suaranya tidak seperti cicak pada umumnya. Si bapak tidak lagi berusaha mendiamkan si anak karena terganggu oleh suara cicak itu.
Saat melihat lantai, ia menemukan beberapa helai rambut. Bulu kuduknya berdiri dan suara cicak itu raib. Tidak hanya cicak, tangis anaknya juga ikutan raib. Bapak itu menoleh dan terkejut mendapati anak yang ia gendong berubah menjadi nisan. Ya, nisan yang bertuliskan nama anak mereka.
Lagi-lagi Abel bermimpi. Bermimpi tentang orang lain. Demikian ia pergi ke toilet, membasuh muka dan menenangkan pikirannya di sana. Abel letih. Setiap kali bermimpi buruk, energinya terkuras. Kalau biasanya orang normal bermimpi dengan sudut pandang orang ketiga, ia malah sebaliknya. Ia berperan sebagai tokoh utama dan itu membuatnya cepat lelah.
"Aku capek, Tuhan. Bisakah Kamu ambil nyawaku saja?" keluh Abel kepada Sang Pencipta.
Sekarang jam menunjukkan pukul satu. Jika sudah terbangun seperti itu, sulit buat Abel melanjutkan tidur. Matanya jadi segar dan kantuknya pudar. Ia pun menyalakan televisi untuk sekadar menambal waktu yang terkikis akibat mimpi buruk tadi.
Abel merenungkan sikapnya terhadap Sintya saat di rumah sakit semalam. Ia merasa bersalah dan malu karena telah bertengkar di depan ibunya. Ia sudah lupa dengan keinginan Sumarni yang ingin ia berdamai dengan Sintya dan berhenti berprasangka buruk dengan keluarga.
"Seandainya kalian memperlakukan aku dengan adil, aku nggak akan bersikap begini."
*****
Esok harinya Rangga menghubungi Abel, memberitahu kalau ia sedang menjenguk Sumarni. Alangkah terkejutnya Abel ketika kabar pertengkaran mereka semalam sudah diketahui Rangga. Hati Abel bergejolak dan ingin sekali menghajar wanita itu sekarang.
"Kendalikan dirimu, Bel. Sebentar lagi kita menikah. Berdamailah dengan keluargamu barang sehari saja. Coba samperin dia dan minta maaf."
Abel terperangah mendengar saran Rangga. "Apa? Minta maaf? Aku nggak mau! Aku benci dia!"
Terkadang Rangga tidak dapat memahami Abel. Apa yang wanita itu pikirkan dan kenapa ia sangat mengedepankan egonya. Entah roh macam apa yang telah merasuki perempuan 24 tahun yang mampu bersikap dewasa dan seperti anak-anak dalam waktu bersamaan.
"Aku nggak mau suasana keluarga kita jadi keruh, Bel. Samperin dia, ya?" pinta Rangga tanpa menunggu jawaban dan langsung menutup telepon.
"Rangga?! Rangga!"
Jika bukan karena calon suaminya, Abel tidak akan melakukan hal ini. Kembali ke Rangga, lelaki itu sangat mengkhawatirkan kondisi ibu mertuanya. Ia berharap semua ini cuma mimpi, namun inilah kenyataannya. Rangga melihat Sumarni lumpuh dan tidak bisa bicara. Rangga rindu dengan kecerewetan Sumarni saat memberi wejangan agar ia bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik.
Berkomunikasi dengan penyandang tunawicara tidaklah mudah. Rangga harus bisa menyesuaikan diri agar dapat memahami apa yang ingin Sumarni sampaikan. Dibandingkan bahasa isyarat, wanita itu lebih suka menulis. Karena itu ia selalu membawa pena dan buku tulis.
"Rangga pergi dulu, Bu," ucapnya sambil memeluk Sumarni.
Saat berbalik badan, mendadak tangan Rangga dicengkeram keras. "Apa, Bu? Ibu mau ngomong apa?"
Pena itu menari di atas kertas dan ia menulis: "Jaga Abel baik-baik, ya."
Rangga tersenyum dan memeluk Sumarni sekali lagi. "Pasti, Bu. Rangga janji akan membuat Abel bahagia."
*****
Meski hatinya bergemuruh, Abel harus meredamnya. Lagipula Sintya satu-satunya saudara kandung yang ia miliki di dunia ini. Beberapa saat kemudian, sosok yang dicari ketemu. Rupanya Sintya berada di taman bermain bersama putrinya. Diam-diam Abel mendekat, menyentuh pundak perempuan itu dan menyapa. "Hai!"
Seketika Sintya berbalik badan, menatap Abel yang terlihat kikuk.
"A-aku minta maaf, ya?" ucap Abel seraya menyodorkan tangan.
Bukannya menyambut tangan Abel, Sintya malah memeluk perempuan itu. "Seharusnya aku yang minta maaf, Bel!"
Abel mendesah, heran melihat Sintya yang begitu mudah runtuh perasaannya. Mau tidak mau Abel menyambut pelukan itu. "Memang aku yang salah, kok."
Mereka menepi ke kursi panjang, memperhatikan anak-anak yang asyik bermain. Percakapan dibuka oleh Sintya dan ia bertanya, "Untuk apa kamu ke sini?"
"Aku cuma pengen minta maaf. Mungkin semalam aku berlebihan sehingga menyakiti perasaan kamu. Aku nggak akan bahas soal itu lagi, kok."
"Nggak apa-apa, Bel," kata Sintya.
Agar suasana semakin baik, Abel memberi Sintya selembar undangan pernikahan. Wanita kelahiran 1991 itu tampak girang, tidak menyangka adiknya akan menikah dalam waktu dekat. Sekali lagi Sintya memeluk Abel, merasa hampa karena kelak harus melepas wanita itu.
"Semoga kamu bahagia ya, Bel."
Abel mengangguk, tersenyum mendengar ucapan Sintya. Entah bagaimana, muncul desiran aneh di lubuk hati wanita kelahiran 1997 itu. Hati yang semula panas menjadi dingin, padahal tadi ia ingin sekali menjambak rambut perempuan yang duduk di sebelahnya kini.
"Anakmu sudah besar, ya. Sudah lama aku nggak lihat dia."
Abel tersenyum melihat anak perempuan berambut panjang dengan poni yang menutupi keningnya itu. Dia adalah Aliya, anak Sintya yang sekarang berumur 10 tahun.
"Iya, Bel. Aku bersyukur penantianku selama bertahun-tahun terbayar dengan adanya Aliya. Aku sempat khawatir kalau aku benar-benar nggak bisa punya anak, tapi ternyata Tuhan masih punya rencana yang lebih baik."
Sintya Maharani adalah sosok wanita pejuang. Pahit dan manisnya kehidupan sudah ia rasakan. Waktu itu Sintya mencoba berbagai program kehamilan, tapi tidak berhasil. Sintya dinyatakan tidak bisa hamil lagi. Ia sangat terpukul, begitupun Ferdi, suami Sintya yang kala itu kehilangan anak kedua mereka. Sebelumnya mereka juga sudah kehilangan anak karena Sintya mengalami kecelakaan kerja. Hidup mereka diuji saat anak kedua mereka yang sudah berusia delapan bulan tiba-tiba raib. Perut Sintya mengecil seolah-olah baru selesai melahirkan tanpa melihat wujud bayi mereka. Apabila teringat peristiwa itu, terkadang Sintya bergidik. Hal diluar nalar itu betul-betul terjadi dan masih menjadi perkara yang tidak dapat ia pecahkan hingga sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Terkutuk [PENDING]
HorrorDesa Kembang digemparkan dengan mayat wanita hamil di tengah jalan. Warga berbondong-bondong menyaksikan, namun tidak berani menggotong jenazahnya ke pemakaman. Penduduk desa meyakini jika ada wanita hamil yang meninggal secara tidak wajar, maka des...