02: Pertengkaran yang Tidak Abel Inginkan

392 21 2
                                    

Sudah dua tahun wanita itu menghabiskan hidupnya di kursi roda. Yang ia lakukan sepanjang hari hanyalah menulis diari dan memandangi foto suaminya. Wanita yang kerap disapa Sumarni itu mengidap penyakit aneh. Ketika diperiksa ke pihak medis, tidak ditemukan apa-apa. Dibawa ke orang pintar, kesembuhannya hanya bertahan tiga bulan saja.

"Dimakan dulu buburnya, Bu," rayu Abel.

Sumarni diam seperti tidak melihat lawan bicaranya. Pandangannya seakan-akan tidak pernah lepas dari potret lelaki yang mengenakan lengan panjang, menggenggam pacul dan caping yang menutupi kepalanya. Hamparan sawah dan sekumpulan petani menjadi latar pemandangan foto itu.

"Kalau Ibu mau makan, kasih tahu Abel ya."

Abel meletakkan semangkuk bubur di atas meja dan meninggalkan Sumarni sendiri. Ia lalu duduk di kursi lorong sesekali memperhatikan jam.

"Ke mana sih dia?" desahnya.

Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Perempuan itu dilanda kebosanan lantaran menunggu Sintya, kakaknya. Padahal ia sudah janji untuk datang pukul tujuh, namun kebablasan hingga pukul delapan.

"Kamu ke mana aja, sih?" omel Abel di depan telepon.

"Ini udah di rumah sakit. Tadi di jalan macet!" jawab Sintya sembari melengak ke balkon, mendapati Abel tengah menunggu di sana. Sintya pun buru-buru masuk untuk melihat kondisi sang ibu.

"Gimana keadaannya?" tanya Sintya seraya mengusap pundak Sumarni.

"Tetap sama seperti satu tahun lalu," jawab Abel.

Dua perempuan itu duduk di kursi lorong, saling menanyakan kabar kemudian membahas ibu mereka.

"Pihak medis udah turun tangan, Kak. Apa yang bisa kita harapkan dari rumah sakit ini?"

Sintya tidak merespon sementara Abel terus bicara. "Kali ini biar aku yang bertindak. Kalian nggak bisa terus-terusan larang aku pergi ke desa itu. Aku harus tahu akar permasalahannya supaya ibu bisa sembuh!"

Sintya yang sejak tadi seperti orang tuli tiba-tiba bicara. "Kamu nggak pernah tahu apa yang akan kamu temukan saat kamu menginjakkan kakimu di sana. Kumohon jangan, Bel!"

"Memangnya apa yang akan aku temukan? Kalian bahkan nggak pernah cerita soal sejarah yang ada di kampung itu. Gimana aku bisa tahu?"

Perempuan berkacamata itu merasa bersalah. Bersalah karena tidak pernah menceritakan sejarah tempat mereka lahir. Padahal usia Abel sudah cukup matang. Sudah sepantasnya ia tahu rahasia yang disembunyikan keluarganya. Namun Sintya tidak berani melanggar perintah ibunya. Perintah bahwa tidak boleh membahas kampung bernama Desa Kembang itu.

"Bukannya aku nggak mau, Bel. Memang ibu yang melarangku membahas kampung itu."

Langkah Abel terhenti. Perempuan itu tidak berbalik sedikitpun dan Sintya hanya bisa menatap punggungnya.

"Ibu hampir bunuh kamu saat itu, Bel!"

"Kamu sudah cerita tentang itu puluhan kali, Sintya. Aku hanya ingin tahu kenapa ibu bisa bersikap sejauh itu sama aku! Cuma itu!"

"Kita nggak mau kamu salah paham, Bel," kata Sintya yang kini sudah berlinang air mata.

"Makanya jelasin! Alasannya apa?! Apa aku ini anak yang aneh sehingga ibu tidak menginginkanku, begitu?"

Sintya membisu, bingung harus bersikap apa di depan adiknya. Abel terus meracau dan merasa tidak adil.

"Abel, cukup!" pekik Sintya tidak tahan dengan omongan Abel yang sudah melantur kemana-mana.

Tiba-tiba Sumarni menggerakkan kursi rodanya, memandangi kedua putrinya yang sedang bertengkar. Dengan kondisi seperti itu, Sumarni berusaha menghentikan pertikaian. Sayangnya Sumarni belum bisa bicara, bahkan sekadar memanggil nama pun sulit.

"Ibu!"

Sintya yang menyadari hal itu lantas mengembalikan Sumarni ke ruang pasien tanpa menghiraukan Abel.

Pada awalnya Abel ingin membagikan kabar bahagianya kepada Sintya bahwa sebentar lagi ia menikah, namun dinding pembatas antara mereka berdua semakin kokoh saja. Ia tidak pernah berhasil mengakrabkan diri dengan Sintya. Perempuan itu seperti orang asing baginya. Dinding pembatas itu sudah terbentuk sejak lama setelah Abel tidak sengaja memergoki Sintya dan Sumarni bercakap-cakap. Mereka menyeret dirinya dan Cahyono yang merupakan almarhum suami Sumarni. Sejak hari itu, Abel menarik diri dari keluarga dan membuat jarak mereka semakin jauh.

Rasa kesalnya telajur membeludak. Perempuan itu pulang dengan wajah masam. Ia hanya ingin memperbaiki hubungannya dengan Sintya agar erat seperti dulu, namun rasa penasaran yang tidak mampu dibendung lagi membuat semuanya berantakan.

Apa aku terlalu berlebihan atau aku yang salah menilai dia?

Sepanjang jalan, Abel terus merenung. Sopir taksi itu ingin saja mengajak ngobrol, namun enggan. Ia tahu suasana hati penumpangnya sedang buruk.

"Astaghfirullah!" pekik supir itu.

Abel bangkit dari lamunan, tersentak saat bapak itu mengucap. Kalau saja pedal rem tidak diinjak, sudah tamat riwayat mereka. Sopir pun menepikan mobilnya, menghirup udara sejenak lantaran hampir menabrak trotoar.

"Ada apa, Pak?!" tanya Abel panik.

"Ada sesuatu yang menghalangi kaca mobil, Mbak. Bentuknya seperti kain berwarna merah. Kalau saya tidak sempat ngerem, sudah inna lillahi kita, Mbak."

Mulut Abel menganga setelah mendengar penuturan supir itu. Bulu tengkuknya berdiri dan suhu tiba-tiba panas.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya sopir memastikan.

Seperti diburu sesuatu, Abel duduk kembali di kursi penumpang, meminta sopir melanjutkan perjalanan.

"Cepat, Pak! Kita harus pergi dari sini!"

Bagai kerbau dicocok hidung, sopir itu menyalakan mesin, membawa penumpang ke arah yang dituju. Abel jadi sibuk celingak-celinguk, memastikan tidak ada "sesuatu" yang menghambat perjalanan mereka.

Apa mungkin ini ulah dia?

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang