Aroma busuk menguar di udara kala penduduk desa berkerumun menyaksikan mayat wanita terbujur kaku di tanah. Tidak mau ketinggalan, sekumpulan lalat berkerubung untuk sekadar mencicipi darah segar yang menggenang.
"Apa yang terjadi semalam?" tanya salah seorang warga kepada penduduk desa.
"Tidak seorangpun tahu apa yang menimpa wanita ini, namun kemungkinan besar makhluk jahat itu yang telah merenggut nyawanya!"
Mendengar jawaban lelaki bertubuh gempal itu, warga bergidik ngeri. Penduduk desa meyakini kematian wanita ini disebabkan oleh makhluk jahat yang tidak boleh disebut namanya, seperti Voldemort dalam film Harry Potter.
"Kita harus mengubur mayatnya, bagaimanapun caranya!" usul seorang warga.
"Saya tidak mau ikut campur, Pak. Saya tidak mau keluarga saya kena kutukan setelah mengubur wanita ini. Saya harus menjaga istri saya agar tidak bernasib sama, Pak!"
Warga membubarkan diri dan tidak mau berurusan dengan mayat wanita itu. Bapak-bapak yang punya usul hanya bisa tepok jidat dan tidak habis pikir kenapa warga bisa setega ini kepada jenazah yang bahkan belum jelas penyebab kematiannya.
*****
Malamnya kampung sudah sepi, meski baru pukul delapan. Pondok yang biasa warga pakai untuk ngopi atau sekadar main catur tidak tampak batang hidungnya. Berbeda dengan kawasan pemakaman, tiga sekawan yang sudah lama melajang setia mengemban tugas mereka sebagai penjaga makam sekaligus tukang gali kubur. Tiga orang itu terdiri dari Jali, Jaka, dan Janar.
"Kau tahu, Jali? Aku rindu sekali menjalin kasih dengan perawan desa, namun apalah daya, umurku sudah tidak muda lagi," ujar Janar seraya merundukkan kepala.
"Aku juga, Jan. Hatiku berkarat karena sudah lama tidak merasakan cinta," sahut Jali meremas dadanya hampa.
Rambut gondrong Jali dan janggut tebal milik Janar tampak lapuk karena sudah lama tidak dibelai. Mereka menyerah kepada nasib di usia empat puluh tahun dan pesimis dalam urusan jodoh.
"Lihat anak dungu itu, Jan. Kenapa pula dia mau bergabung dengan pecundang seperti kita? Andai aku seumuran dengannya, sudah pasti aku giat mencari perawan."
"Kau benar, Jali. Anak itu kelewat polos. Dia sama sekali tidak mengerti tentang cinta. Menatap perawan saja dia tidak berani."
Dalam tiga sekawan itu, yang termuda diantara mereka adalah Jaka. Dia seorang pemuda dari desa seberang yang diselamatkan Jali dan Janar. Setelah ayah Jaka meninggal, ibunya menjalin kasih dengan pria dari kota seberang. Ibunya memulai hidup baru, sedangkan Jaka dibuang. Ratapan anak yatim itu masih membekas dalam ingatan Jali, bahkan wajah pilunya setelah dibuang juga tidak mampu Janar lupakan.
"Ayahku meninggal, ibuku menikah lagi, dan aku dibuang. Hidupku sebatang kara, Paman. Aku harus bagaimana?"
Kalimat itu yang paling melekat dalam ingatan Janar. Mendadak terbayang olehnya penampilan Jaka yang kotor seperti tidak mandi selama setahun, serta koreng di kaki dan tangannya. Berbeda setelah diurus Jali dan Janar, Jaka tampak sehat dan gagah.
"Ada apa, Jan?" tanya Jali heran melihat mata Janar memerah.
"Tidak pa-pa. Cuma kelilipan," sangkal Janar, padahal hatinya sedih karena tidak sengaja mengingat masa kelam seorang Jaka yang sudah ia anggap seperti adik sendiri.
Jaka yang diberi tugas menjaga makam tiba-tiba kedatangan tamu. Pria berbaju batik dengan peci di kepala datang terburu-buru seperti hendak menyampaikan sesuatu.
"Ada apa, Pak RT?" tanya Jaka seraya membuka pagar TPU (Tempat Pemakaman Umum).
"Ada mayat wanita di tengah jalan, dekat rumah Pak Warsito! Belum sempat dikubur karena tidak ada warga yang berani menggotongnya ke pemakaman!" kata Pak RT dengan napas tersengal-sengal.
"Kenapa baru bilang sekarang?! Seharusnya kita bisa kubur tadi siang untuk mempersingkat waktu!" sahut Jaka panik.
"Tadi siang saya ada urusan di kantor desa. Cepat kalian bawa mayatnya, lalu kuburkan!"
Mengamati kegaduhan Pak RT dan Jaka, Janar dan Jali bergabung untuk mengetahui situasi yang terjadi.
"Ada apa ini, Jak?" tanya Jali.
"Ini... Pak RT bilang ada mayat wanita yang belum dikubur. Mayatnya dibiarkan begitu saja sampai sekarang karena tidak ada yang berani menyentuhnya."
"Kenapa tidak lapor polisi saja? Biar mereka evakuasi dahulu, autopsi, kemudian baru kita yang bertindak mengubur," usul Janar.
"Terlalu lama! Kantor polisi terlalu jauh dari desa. Baiknya kuburkan sekarang saja!" desak Pak RT.
Pak RT bersama tiga sekawan lalu pergi mendatangi lokasi meninggalnya wanita itu. Selain Jali, Jaka, dan Janar, Pak RT juga sudah menyiapkan keranda dan beberapa sukarelawan untuk menggotong mayat wanita tersebut.
"Usulmu sebenarnya bagus, Jan, namun sepengalamanku selama bertahun-tahun hidup di desa ini, polisi tidak ada gunanya," cakap Jali.
"Kenapa begitu?" tanya Janar dengan dahi berkerut.
"Ini bukan kali pertama wanita hamil meninggal di desa ini. Dulu polisi pernah mengevakuasi mayat wanita hamil di kebun tebu untuk diautopsi, namun begitu hendak dibawa ke rumah sakit, mayatnya tiba-tiba hidup dan membuat para petugas kecelakaan hingga meninggal dunia," terang Jali dengan suara berbisik.
Bulu tengkuk Janar berdiri. Keningnya berkedut seakan meragukan cerita yang dituturkan Jali. "Benarkah itu? Maksudmu, wanita yang hendak diautopsi itu masih hidup atau dirasuki arwah?"
"Aku kurang tahu, namun yang pasti mereka meninggal karena wanita hamil itu. Satu-satunya cara mengurangi korban kecelakaan adalah dengan tidak melaporkan kematiannya ke polisi. Karena jika ditemukan ada wanita hamil meninggal, maka kutukan akan menghampiri mereka yang menjemput korban!"
"Termasuk kita, Paman?" celetuk Jaka yang diam-diam mengekor di belakang.
"Semoga tidak, Nak. Jika Paman mati, siapa yang akan mengurusmu nanti?" kata Janar cengar-cengir, padahal tidak ada yang lucu.
"Masih ada Paman Jali, 'kan?" kata Jaka lagi, membuat lelaki berambut gondrong itu emosi.
"Jangan harap kau dapat belas kasihanku, anak bodoh! Aku akan menyusul Janar. Lihat saja nanti!"
"Tega benar, Paman." Jaka yang merajuk memperlambat langkahnya sehingga tertinggal jauh dari Jali dan Pak RT.
"Jangan dengarkan dia, Jaka. Dia begitu karena hampa hatinya sebab melajang terlalu lama. Karena itulah kau dijadikan pelampiasan kemarahannya," kata Janar sembari mengusap punggung pemuda itu.
Jaka yang sempat tertinggal kembali menyamakan langkahnya dengan Jali, Janar, dan Pak RT. Sesampai mereka di sana, lingkungan rumah Pak Warsito sudah dipadati oleh warga. Ada yang berkerumun di sekitar mayat, ada pula yang bergerombol membahas kematian wanita yang dinilai tidak wajar itu.
"Siapa yang tega melakukan ini padamu, Nak?! Kenapa bisa begini?!"
Pemandangan yang asing menarik minat warga untuk menonton mayat yang tidak kunjung dikebumikan itu. Seorang wanita dengan rambut beruban memeluk bangkai yang hanya ditutupi karung beras. Tidak terlintas sedikitpun rasa jijik, walau kini lalat ikut hinggap di tubuhnya.
"Apa yang kalian lihat?! Pasti kalian yang sudah membunuh putriku, 'kan? Mengaku kalian!"
Warga cuma bisa geleng-geleng kepala. Mereka saja tidak tahu kenapa wanita itu bisa mati, kenapa sekarang mereka harus mengaku membunuh padahal mereka tidak melakukannya?
Siapa gerangan wanita tua itu? batin Jali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Terkutuk [PENDING]
HorrorDesa Kembang digemparkan dengan mayat wanita hamil di tengah jalan. Warga berbondong-bondong menyaksikan, namun tidak berani menggotong jenazahnya ke pemakaman. Penduduk desa meyakini jika ada wanita hamil yang meninggal secara tidak wajar, maka des...