01: Penglihatan Abel

612 31 5
                                    

Seorang perempuan muda berlari di tengah hutan, berusaha melindungi anaknya yang tengah diincar sosok menyeramkan, yakni Kuntilanak Merah. Meski nyawanya jadi taruhan, bayi itu harus selamat. Ia harus lolos dari Kuntilanak Merah itu.

"Bertahanlah sedikit lagi, Sayang. Ibu janji akan membawamu keluar dari tempat ini," kata perempuan itu sembari membelai wajah anaknya.

Terlalu lelah, ia duduk di bawah pohon. Memulihkan tenaganya yang terkuras karena menghindari si Kuntilanak. Tidak lama lagi waktu subuh berakhir dan matahari segera terbit. Sejak dini hari tadi ia tidak tidur karena makhluk itu masuk ke rumah dan mengganggu anaknya. Meski mengantuk, ia harus tetap awas kalau-kalau Kuntilanak itu datang lagi.

Tiba-tiba terdengar suara anak ayam. Aneh. Tidak mungkin ada anak ayam berkeliaran di waktu subuh begini, apalagi di tengah hutan. Merasa janggal, ia menoleh ke belakang. Kuntilanak Merah dengan wajah penuh darah muncul dan mencegatnya. Dengan rambut panjangnya, ia melilit leher perempuan itu. Sontak bayi itu menangis kala terlepas dari pelukan ibunya. Makhluk itu tertawa, tertawa karena telah berhasil merebut bayi itu.

"Jangan ambil anakku!"

Perempuan itu terbangun dengan mata berair dan keringat di pelipisnya. Dirabanya leher, namun tidak menemukan apa-apa. Ternyata cuma mimpi. Ia merasa lega, tapi juga was-was.

Sadar sudah pagi, ia turun dari kasur untuk mengambil air putih. Setibanya di ruang makan, ia disambut bapak-bapak berpakaian kotak-kotak dengan celana panjang. Caranya berpakaian seperti murid SD yang wajib memasukkan seragam ke dalam celana. Kehadiran pria itu sudah biasa bagi seorang Fransisca Abelia. Sosok itu memang sudah ada di rumah sejak lama. Kadang dia duduk di tangga, di kursi teras, atau di ruang tamu.

"Pagi, Pak," sapa Abel yang sudah menganggap bapak itu layaknya keluarga di rumah.

Bapak itu merespon dengan tersenyum dan tidak pernah bicara. Pandangannya kosong seperti tengah menunggu sesuatu. Sesuatu yang sampai saat ini tidak Abel ketahui. Tidak sedikitpun bapak itu ingin membagikan kisah hidupnya ke Abel. Sudah terlalu lama ia larut dalam nestapa. Sempat Abel menggali masa lalunya, namun kosong. Tidak ia temukan memori yang mungkin bisa membantu bapak itu menyeberang ke alam berikutnya.

Abel mengambil ponsel, menghubungi kekasihnya-Rangga Saputra,-menceritakan kepadanya mimpi tentang Kuntilanak Merah itu.

"Sudah hampir dua tahun, Rangga. Aku nggak ngerti kenapa sosok itu datang lagi."

"Ini aneh. Kamu nggak bisa terus-terusan begini, Bel. Aku akan cari solusi supaya Kuntilanak itu berhenti ganggu kamu."

"Kamu sudah sering panggil orang pintar, tapi nyatanya dia balik lagi. Emang kamu mau pakai cara apa lagi?" tanya Abel penasaran.

"Nanti aku kasih tahu." Rangga menutup telepon dan Abel mendengkus sebal. Lelaki itu selalu tidak menuntaskan omongannya dan membuat Abel penasaran.

"Dia memang suka menggantungkan omongan. Beruntung bukan perasaanku yang digantung," gumam Abel.

Perempuan itu mengamati cincin yang tersemat di jari manisnya. Dalam lamunannya, ia menerawang ke momen kebersamaannya dengan Rangga. Pada saat itu, Rangga mengajaknya keliling ibukota dan singgah di pantai. Pandangan mereka lurus ke ombak yang tenang. Rangga kemudian memanfaatkan momen, bersimpuh di depan Abel, menengadahkan kotak kecil berisi cincin kepada perempuan berambut pirang itu.

"Rangga, kita dilihatin banyak orang, loh!" ucap Abel malu, padahal jauh di lubuk hatinya, ia berbunga-bunga.

"Bel, will you marry me?" tanya Rangga serius.

"I will!" jawabnya dan mereka pun saling bertukar cincin.

Sebenarnya, itu adalah momen membahagiakan sekaligus mengerikan buat Abel. Saat Rangga memeluknya, ia tersenyum sembari menatap laut. Beberapa menit kemudian, senyumnya luntur ketika Abel melihat laut bergelombang dan kapal yang tengah berlayar di sana terombang-ambing. Di bawah kapal, sekelompok orang berusaha menyelamatkan diri dengan berenang ke tepi, namun tidak berhasil. Mereka hanyut karena tidak sanggup menghadapi ombak yang tinggi itu. Abel histeris dan Rangga gelagapan. Tidak sampai di situ saja, ia semakin gelisah saat melihat pria berpakaian kotak-kotak hanyut ke tepi dan posisinya dekat dengan mereka.

"Nggak ada apa-apa di sini, Bel!"

Diguncangkannya badan Abel supaya sadar. Abel menoleh dan ia pun menangis. Pada hari itu, Abel sangat takut sehingga memeluk Rangga dengan sangat erat. Saking takutnya, ia tidak mau melepaskan Rangga.

"Mbaknya kenapa, Mas?" tanya salah satu pengunjung pantai.

"Nggak ada apa-apa, Pak. Tadi ada kepiting di kakinya, jadi dia takut," jawab Rangga yang sebenarnya juga tidak tahu apa yang membuat Abel ketakutan seperti itu.

Tiga hari setelah meninggalkan pantai, sosok itu mengikuti Abel ke rumah. Tanpa menimbang keputusannya benar atau tidak, Abel mempersilakannya tinggal meski awalnya bapak itu hanya ingin numpang sebentar. Sudah genap tiga tahun lelaki berambut gondrong itu menghuni rumahnya, namun tak ada interaksi yang berarti. Apa boleh buat, lagi pula bapak itu tidak mengganggu.

*****

"Silakan dinikmati," ucap karyawan itu sembari meletakkan dua cangkir kopi di atas meja.

"Makasih, Mbak," sahut Rangga.

Hari ini Rangga mengatur janji bertemu kekasihnya di suatu kafe di daerah Jakarta. Sambil menunggu Abel datang, ia sempatkan browsing untuk melihat-lihat lokasi bulan madu yang bagus setelah mereka menikah nanti.

"Hai!"

Senyum Rangga merekah melihat perempuan itu datang. Siapa lagi kalau bukan Abel. Selanjutnya, pasangan itu membahas rancangan acara pernikahan serta menentukan tanggal yang tepat.

"Kamu maunya tanggal berapa?" tanya Rangga.

"Berhubung sebentar lagi Februari, gimana kalau tanggal 14 aja?" Rangga merenung sejenak, lantas menyetujui keinginan Abel untuk melaksanakan pernikahan di Hari Valentine.

Rangga dan Abel saling pandang, tersirat kekhawatiran di wajah perempuan itu. Ia masih saja terpikir soal Kuntilanak Merah itu.

"Ibu nggak pernah cerita soal asal-usul tempat kelahiranku. Sebenarnya apa yang ibu sembunyikan dan apa hubungannya Kuntilanak itu sama aku?"

"Mari kita pecahkan misteri ini bersama-sama. Kita akan pergi ke sana, ke tempat kelahiranmu."

Kening Abel mengernyit, merasa ganjil dengan gagasan Rangga. Apa ini solusi yang ia maksud?

"Ibu aja ngelarang aku pergi ke sana. Untuk apa, Rangga?"

"Kamu mau bebas dari dia, kan? Bukannya kamu tahu selama ini dia nggak hanya ganggu kamu, tapi juga keluargamu? Pikirin ini baik-baik, Bel!"

Abel termenung, menimang-nimang rencana aneh Rangga. Sejak dulu ia memang sudah dilarang membahas tempat kelahirannya, apalagi pergi ke sana. Ia tahu ibunya menyembunyikan sesuatu. Sudah lama sekali ia ingin pergi untuk mengungkap misteri itu. Misteri yang sengaja dikubur seakan-akan tidak pernah ada.

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang