07: Kenangan Memilukan

225 21 3
                                    

Bangkit dari tidur panjangnya, seorang ibu paruh baya membuka mata. Meski cahaya lampu mengusik kornea, dia tidak mau menyerah. Dia berusaha bangun demi mengucap sepatah kata kepada wanita di sampingnya. Agak miris melihat wanita itu lantaran tidur sambil duduk. Pelan-pelan dia coba keluarkan suara, namun tidak bisa. Dia kerahkan lagi usaha untuk bicara, namun tidak bisa juga. Kali ketiga dia menguji kemampuan bicaranya, namun bukan suara yang berhasil dikeluarkan, melainkan belatung-belatung menjijikan. Panik, dia membuang selimut untuk menyingkirkan belatung itu. Bersama keringat yang membasahi pelipis, bola matanya terus berputar hingga berhenti di satu titik, yakni ranjang sebelah kanan. Sekat dari tirai itu menampilkan siluet berupa tubuh, rambut, dan juga kuku. Selain itu, bayangan perut buncit menegaskan bahwa ada wanita hamil di sana. Napas sang ibu tiba-tiba berat. Dia pun beringsut mundur hingga punggungnya membentur dinding.

Lama kelamaan perut wanita itu mengempis diiringi tangis bayi. Pemandangan di balik tirai semakin mengerikan kala lengkingan bayi digantikan suara orang mencecap makanan. Darah memuncrat hebat sampai membuat tirai kotor. Ingin sekali si ibu pingsan, namun entah kenapa matanya tidak mau tertutup. Dia seolah dikendalikan untuk menyaksikan peristiwa di balik tirai sampai selesai.

KRAK!

Suara gesekan tulang terdengar dari sana. Sosok itu menoleh dan menjorokkan kepalanya ke tirai. Si ibu menjerit hingga wanita yang duduk di sampingnya terbangun. Dengan kesadaran yang belum terkumpul, wanita itu berusaha menenangkan ibunya. Ibu bernama Sumarni semakin panik lantaran dia tidak lagi melihat tirai yang menggembung karena tonjolan kepala, melainkan wajah berlumur darah dengan rambut awut-awutan. Makhluk itu tersenyum memamerkan gigi runcingnya sehingga tampak sisa organ berupa ari-ari yang disantapnya tadi.

"Sadar, Bu! Sadar!"

Bunyi elektrokardiogram kian membahana. Sintya, anak kandung Sumarni sudah tidak mampu menenangkan ibunya. Dokter pun dipanggil agar Sumarni bisa ditenangkan. Begitu dokter tiba, Sintya dipersilakan menunggu di luar sampai proses pengobatan selesai. Air mata Sintya meleleh; tidak kuasa melihat kondisi sang ibu.

"Ya Tuhan, aku harus gimana?"

Tidak tahu penyakit yang diderita Sumarni sebenarnya, namun perempuan paruh baya itu seringkali mengejang. Kadang ia melotot ke langit-langit; meneriaki objek tak terlihat. Sorot mata yang kosong membuat Sintya bergidik setiap kali melihatnya.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Sintya begitu dokter keluar.

"Dia sudah diberi obat penenang dan akan baik-baik saja."

Sintya mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Dok."

Kembali ke posisi semula, Sintya duduk di samping sang ibu. Direngkuhnya Sumarni dan merenungkan suatu hal. "Apa yang sebenarnya Ibu lihat? Kenapa bisa sampai seperti ini?"

KRAK!

Suara gesekan tulang itu! Ya, itu suara yang didengar Sumarni sebelumnya! Entah tidak sadar akan keberadaannya, wanita itu beranjak dari kamar guna mencari udara segar. Dia beruntung! Jika dia tahu sosok yang dilihat ibunya, dia pasti akan sama syoknya, karena sekarang sosok itu berpindah dari tirai ke gorden: tepat di belakangnya!

*****

Pukul sepuluh malam wanita itu melintasi rumah sakit. Ia berhenti di salah satu ruangan; mengambil duduk di deretan bangku yang langsung menghadap balkon. Sintya mengeluarkan ponsel, memandangi potretnya bersama sang adik saat pesta pernikahan.

"Kupikir kita benar-benar sudah berdamai. Kenapa kamu tega mengkhianati ibumu sendiri?"

Sontak, bulir bening membasahi pipinya. Di sela-sela tangis, Sintya terkejut melihat bapak-bapak, didampingi dua perawat dan seorang dokter; mendorong sebuah brankar. Dalam brankar, ada wanita berperut buncit sedang berbaring. Wanita itu kesakitan lantaran perutnya berkontraksi. Panorama ibu hamil kemudian berganti menjadi film hitam-putih. Sintya terlempar ke masa lalu, dimana saat itu ia dibawa bersalin ke rumah sakit.

"Aku enggak kuat, Mas!" rengek Sintya sembari mencengkam lengan Ferdi.

"Kamu pasti bisa. Bertahanlah sedikit lagi, Sayang!" ucap Ferdi bersemangat.

"Tarik napas, Bu. Sedikit lagi!"

Dokter bersalin ikut berperan dalam melahirkan anak kedua mereka. Melebur bersama rasa sakit itu, Sintya berdoa supaya ia tidak kehilangan anak lagi.

Namun sayangnya...

"Ada apa, Dok?!"

Melihat dokter tiba-tiba jatuh, Ferdi membantunya berdiri. Entah apa yang terjadi, mendadak lampu rumah sakit padam. Karena tidak bisa melihat apa-apa, Ferdi mencari ponsel untuk menyalakan senter.

"Sayang, kamu enggak pa-pa?" tanya Ferdi, namun Sintya tidak menjawab.

Senter berhasil dinyalakan dan Ferdi bisa lihat dokter itu panik, sekaligus takut. "Ada apa, Dok? Kenapa tidak diteruskan proses bersalinnya?"

"S-saya enggak bisa! T-tadi, tangan saya ada yang pegang!"

"Apa maksud Dokter? Cuma kita bertiga di sini!"

Lampu yang sempat padam kini hidup kembali. Sintya masih bergeming, akan tetapi, sesuatu yang janggal terjadi. Perut Sintya mengecil, namun keberadaan sang bayi tidak diketahui.

"Ini enggak mungkin!"

Ferdi memekik. Ia cari bayi itu ke mana-mana, tapi tidak ada. Aneh. Bayi itu raib!

Dokter yang menyaksikan fenomena aneh ini tidak bisa berbuat apa-apa. Ferdi lantas menyalahkan dokter. Ia menilai dokter lalai sehingga bayi mereka hilang. "Saya akan tuntut rumah sakit ini! Kalian harus tanggung jawab!"

Sintya yang bergeming selama beberapa menit sudah sadarkan diri. Merasa tidak sakit perut lagi, dengan polos ia bertanya, "Anak kita mana, Fer?"

Ferdi bergeming, begitupun dokter.

"Mana bayi saya, Dok?"

Ferdi menggeleng dengan air mata menggenang. Didekapnya Sintya, lalu ia cium keningnya. "Rachel sudah di surga, Sayang."

Sintya meratap, sesaat kemudian matanya basah. Ia histeris, lantas menangis sejadi-jadinya. Bayang-bayang masa lalu pun buyar, bertukar dengan pemandangan ibu bersalin. Sintya diam-diam memperhatikan, meski terhalang jendela. Mendengar suara bayi menangis, Sintya lega. Lekas-lekas ia menghapus air mata begitu dokter keluar.

Sintya pikir tidak ada yang menyadari keberadaannya, namun ternyata, dokter itu mengenalinya. "Eh, kamu Sintya, kan?"

"Eh, Bu Fatma." Sambil menghapus air mata, Sintya berbincang dengan dokter bersalin yang dahulu membantunya melahirkan Aliya, yakni Fatmawati.

"Kamu kenapa?"

"Enggak ada apa-apa, Bu. Cuma inget dulu."

Merasa bersalah akan kejadian di masa lalu, Sintya meminta maaf. "Maafin suami saya, Bu. Maaf udah bikin Ibu terluka."

"Sudah, enggak pa-pa. Semua sudah berlalu. Kamu yang baik, ya. Jaga Aliya."

"Makasih, Bu," jawabnya.

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang