15: Bencana yang Sudah Diprediksi

155 10 6
                                    

Hari sudah gelap. Untuk sementara waktu, Nyai dan Sekar menginap di rumah pelanggan. Baskom disediakan, Nyai memantau kondisi desa tempat ia tinggal melalui media air. Masing-masing rumah diterawangi, Nyai berseri-seri melihat wanita hamil meninggal. Mangsa sukses dibunuh, esok ia harus siap-siap mengambil sang jabang bayi. Sekar diam-diam mengintip, kemudian memberanikan diri bergabung dengan Nyai.

"Bukankah itu wanita yang kamu targetkan di malam sebelumnya?" tanya Sekar.

Nyai mengangguk. "Benar. Sekarang wanita ini sudah mati."

"Sebenarnya apa tujuanmu melakukan ini? Untuk apa?"

"Bukankah sudah jelas? Aku adalah jembatan bagi mereka yang putus asa, kehilangan harapan, dan dendam. Ingin membunuh, kupenuhi. Ingin kaya, kujembatani dengan roh bayi. Ingin awet muda, mereka bisa minum darah ini."

"Bagaimana dengan para arwah gentayangan itu?"

"Aku sudah mengikat mereka menjadi satu kesatuan. Mereka bisa melakukan apa saja untukku. Semakin banyak membunuh, semakin bertambah kesaktianku. Kuntilanak itu akan terus tunduk padaku, Sekar."

"Jadi kamu sengaja mengumpulkan mereka semua, karena salah satu kekuatanmu bersumber dari mereka juga?"

"Bisa dibilang begitu."

Sekar mengangguk paham, lalu menoleh ke warung sebelah. Tampak di sana pelanggan Nyai tengah menjalankan instruksi, yakni menabur tanah kuburan di sekitar warung.

"Biasanya kamu bertransaksi pakai uang. Kenapa kamu tiba-tiba mengubah kesepakatan?"

"Hidup ini layaknya jalan yang berkelok, Sekar. Tidak selalu mulus. Maka dari itu, disaat genting, rencana bisa saja berubah. Kadang aku membunuh, lalu merenggut umur seseorang."

"Membunuh? Bukankah tindakanmu itu sangat berisiko?"

"Tidak akan ada yang tahu. Setelah membunuh, jasad mereka "kupayungi". Jadi tidak akan terlihat."

Sekar tidak berhenti kagum. Dia merasa beruntung dipertemukan dengan dukun sakti mandraguna seperti Laksmi. Tidak lama terlintas kilas balik dimana Sekar hampir dijemput ke Neraka. Saat itu Nyai datang, kemudian menyelamatkannya.

"Kamu tahu, Sekar. Sekalipun kelihatannya aku tidak menua, aku harus terus merenggut umur seseorang. Jika tidak kulakukan, aku akan menerima malapetaka."

Sekar tercengang. "Malapetaka? Maksud Nyai?"

"Ilmu hitam ini telah diwariskan ibu padaku. Aku wajib menggunakan kekuatan yang diwariskan hingga seribu tahun. Jika tidak digunakan, kekuatan ini akan jadi bumerang untuk membunuh diriku sendiri."

Melihat kulit Nyai yang kencang, Sekar jadi kesulitan menebak berapa umur Nyai sekarang. Ia pun menyimpulkan kalau Nyai harus menuntaskan kewajiban menggunakan ilmu hitam hingga seribu tahun. Bila sudah tepat seribu, warisan akan terlepas dan tanggung jawab dari sang ibu terpenuhi.

Pemandangan dalam baskom berganti. Selain memantau wanita hamil tadi, rupanya Nyai juga memantau rumah sakit. Di sana ada seorang pria yang kebingungan, kemudian menjerit melihat bentol-bentol di tubuh sang ibu pecah. Meletusnya bentol berbentuk gelembung dibarengi cipratan darah. Yang dilakukan Nyai untuk mengacaukan target sangat sederhana. Ia memanfaatkan plastik bubble wrap yang umumnya dipakai membungkus produk dalam paket, diniatkan ke korban dan membayangkan bahwa bubble wrap yang diletuskan adalah bentol.

Sungguh kejam.

*****

Malam ini desa dibuat geger dengan penemuan mayat wanita. Ini kabar kematian yang kedua. Kasusnya sama. Wanita hamil!

Pak Sucipto datang lagi ke pemakaman. Jali dan Janar seperti sudah tahu maksud kedatangannya. Jaka yang sejak tadi siang mengaku punya firasat tidak enak seolah merasa akurat dengan kabar kematian ini.

"Sudah kubilang firasatku benar. Bukankah menurut kalian kematian ini janggal?"

"Jaka benar, Jal. Padahal baru semalam kita mengubur mayat wanita, sekarang sudah ada lagi."

"Sudah, sudah. Sebaiknya kita langsung ke lokasi, lalu kubur mayatnya!"

Tiga penggali itu berjalan beriringan dengan Pak RT. Dua pendatang dari kota ikut berkerumun, ikut menyaksikan apa yang baru saja terjadi.

"Jangan perlakukan mayatnya seperti itu, Bapak Ibu sekalian! Kita harus mandikan, setelah itu dikubur!"

"Kamu itu cuma pendatang. Nggak usah ikut campur! Kamu itu nggak tahu apa-apa soal desa ini!"

"Benar itu. Ayo, cepat kubur! Kita nggak mau desa ini kena kutukan!"

"Saya mohon, biarkan saya memeluk istri saya. Jangan perlakukan dia seperti ini!"

Tanpa Sucipto duga Rangga ikut berkerumun di sana. Abel tidak menduga Rangga akan mengajaknya ke sini, padahal tadi ia berniat mampir ke warung Mbok Sumi untuk membeli makanan. Perdebatan pun tak terhindarkan. Warga terus-terusan menyudutkan pendatang itu.

"Pak Sucipto, tolong pikirkan perasaan Bapak ini. Kasihan dia," ucap Rangga memohon.

Tidak lama kemudian Bapak yang kehilangan istrinya kedatangan sang ibu mertua. Dia pun menyalahkan Pak RT yang tidak bijaksana dan memilih mengikuti tradisi syirik. Wanita itu menghampiri Pak RT dan merebut pecinya.

"Untuk apa Bapak pakai peci kalau tidak melaksanakan perintah Allah? Apa bagi Bapak peci ini hanya kostum? Ini soal nyawa, Pak RT!"

Pak RT menjawab, "Ini menyangkut rasa nyaman dan keamanan warga! Anda tidak usah ikut campur!"

"Kalian semua sama busuknya! Kalian tunduk pada tradisi dan mengubur mayat layaknya binatang. Kalian bahkan tidak pernah mendoakan mereka. Bagaimana mereka bisa tenang?"

"Cukup, Bu Darmi!"

"Pikirkan solusinya, Pak. Bagaimana kami bisa hidup tenang jika setiap ibu hamil di desa ini mati mendadak?"

Warga hanya bisa diam. Selama ini kematian wanita hamil selalu disangkut pautkan dengan makhluk jahat yang meminta tumbal. Kalau dipikir-pikir, kematian ini memang tak wajar. Baru lewat sehari sudah ada korban lagi.

Pak Sucipto memungut pecinya, lalu memandang anak cantik di samping Rangga, yang punya mata cokelat, rambut hitam bergelombang, punya tahi lalat di dagu persis Sumarni.

"Apa ini kebangkitan yang kau maksud, wahai sahabatku?"

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang