06: Maafkan Aku Ibu

272 20 1
                                    

"Kamu yakin enggak papa?" tanya Rangga mencemaskan istrinya.

Malam itu Abel duduk di ruang makan dengan pipi basah karena menangis. Pun rambutnya berantakan karena tidak disisir. Abel tidak merespon dan menatap malas makanan di meja itu.

"Keburu dingin, Sayang. Ayo dimakan dulu," bujuk Rangga, namun Abel tetap saja murung.

Malam pengantin yang seharusnya membahagiakan menjadi derita buat Abel. Ia masih terbayang masa lalu sosok wanita hamil yang dibunuh oleh tiga pria mabuk itu. Belum menyerah, Rangga berusaha menghibur perempuan itu. Ia harus pastikan sesuap nasi masuk ke mulutnya.

"Makan dulu, Sayang," rayu Rangga sekali lagi.

"Aku enggak selera, Rangga. Aku masih kepikiran sama perempuan itu," ujarnya.

"Ada pesawat, nih. Buka mulutnya, ayo!" Rangga mengambil sesuap nasi dan memperlakukan sendok itu layaknya mainan.

"Aku bukan anak-anak, Rangga. Kamu jangan nyebelin gitu, deh!" kata Abel kesal.

"Udah, nurut aja." Akhirnya satu suap nasi berhasil mendarat ke mulut Abel ketika perempuan itu lengah. Ia pun terpaksa makan meski tidak selera.

Abel menunduk lagi, menggenggam tangan lelaki itu dan bicara, "Maaf kalau aku udah ngerusak malam pengantin kita, Rangga."

Beruntung wanita itu tidak salah pilih suami. Rangga sangat memaklumi istrinya dan ia tidak marah. "Kamu enggak merusak apapun, Bel. Aku paham apa yang kamu rasakan, karena menjadi orang istimewa tidaklah mudah. Apapun yang kamu lihat, ceritalah kepada suamimu ini. Aku akan bantu semampuku."

Abel mengangguk paham, lantas kembali menghadap makanan yang sudah dihidangkan sejak tadi. "Aku sayang kamu, Rangga," ucap Abel dengan mulut penuh makanan.

"Aku juga, Bel. Sudah, kamu telan dulu makanannya. Enggak baik ngomong sambil makan," petuahnya.

Selesai makan, mereka duduk di balkon dan menatap bulan purnama yang indah seraya menyeruput kopi.

"Bulan itu mirip seperti di dalam mimpiku," celetuk Abel.

Rangga buru-buru meletakkan kopi yang ia seruput, menanyakan sesuatu yang dilihat Abel. Sebab sejak tadi ia sudah kepo dan tidak mungkin langsung bertanya karena Abel masih murung.

"Dan tiga laki-laki itu?"

"Aku enggak bisa liat mukanya."

"Kenapa begitu?" tanya Rangga penasaran.

"Enggak tahu. Terus, mereka juga pegang alkohol."

Rangga menyimpulkan apa yang dilihat Abel bukanlah mimpi, namun astral. Selama ini Abel tidak sadar kalau tubuhnya sering lelah karena dipakai untuk astral.

"Benar juga, ya. Kenapa aku enggak nyadar, sih?" ujar Abel manggut-manggut.

"Kamu harus belajar kontrol hal itu, Bel. Jangan biarkan "mereka" ambil alih badanmu tanpa seizin kamu. Aku kasihan liat kamu capek terus," kata Rangga iba.

"Semoga aja bisa. Soalnya emang bikin capek, Ngga. Kayak abis olahraga gitu."

"Ya udah, sebelum tidur ada baiknya kamu niat dulu dan bilang ke "mereka" supaya jangan masuk ke mimpi kamu. Oke?"

Abel tersenyum dan menjawab, "Oke."

*****

"Kamu serius mau bulan madu di sana? Apa enggak sebaiknya ke Bandung aja? Di sana wisata alamnya bagus-bagus, loh," kata Sintya di seberang telepon.

"Emangnya kenapa? Enggak ada salahnya kan balik ke kampung halaman dan bernostalgia. Lagipula suasana di desa itu lebih autentik karena pemandangannya masih asri," jawab Abel seraya memasukkan barang-barangnya ke koper.

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang