Hari ini Desa Kembang kebagian mati lampu bergilir. Sementara menunggu listrik hidup, warga bertahan di rumah masing-masing dengan lampu petromaks. Selama satu hari penuh, Rangga disibukkan dengan aktivitas membabat rumput liar. Begitupun Abel, yang sibuk memilah barang yang masih bisa dipakai dan tidak. Rencana keliling desa terpaksa dibatalkan lantaran mereka harus beres-beres bersama. Sama seperti warga lain, Abel dan Rangga menerima informasi kalau malam ini akan terjadi mati listrik bergilir. Terlalu sibuk bekerja membuat mereka lupa, bahwa sekarang hari sudah gelap. Mereka sulit melanjutkan pekerjaan lantaran listrik tiba-tiba padam.
"Ada lilin nggak sih di rumah ini?" tanya Rangga yang baru selesai membabat rumput.
"Tadi aku sempat lihat ada lilin yang nggak terpakai. Kita bisa pakai itu," sahut Abel.
Rangga pun teringat pesan Pak RT. Bila hari sudah gelap sebaiknya lekas masuk, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Rangga masih tidak mengerti apa maksud dan tujuan dari peraturan itu. Entah bagaimana, disaat yang bersamaan, listrik di kota ikut mati. Salon terpaksa tutup lebih cepat. Beruntung Sintya selesai tepat waktu, karena jika pelanggan terakhir belum selesai ditangani, ia akan kerepotan. Listrik padam tidak dapat diprediksi kapan hidupnya. Berbekal sinar ponsel, Sintya mengunci salon, kemudian menengok studio suaminya. Sintya masuk dan mendapati Ferdi sibuk membereskan peralatan elektronik. Kamera dikembalikan ke tempat asalnya, lalu Sintya mengajak Ferdi keluar. Mereka sampai di tempat parkir, kemudian masuk mobil. Ferdi bilang hari ini mereka harus jenguk ibu. Cahyadi baru saja melapor kalau Sumarni kambuh lagi. Perasaan gelisah kembali naik ke permukaan, berpadu dengan cemasnya Sintya pada Abel. Sintya hanya bisa menatap jalan, kemudian gigit jari. Entah apa yang harus ia lakukan kali ini.
"Kamu kenapa, Yang?" tanya Ferdi seraya membelai rambut Sintya.
"Aku nggak tahu harus apalagi, Fer. Nggak ada perkembangan ibu bakal sembuh. Sekarang Abel pergi. Apa anak itu nggak mikirin ibunya sama sekali? Coba kamu pikir, kenapa nggak berwisata di Bandung saja daripada jauh-jauh ke kampung itu?" Sintya kesal. Masih tidak terima dengan sikap Abel yang semena-mena dan berkhianat pada keluarga.
"Sudahlah, Sin. Menurutku kamu harus percaya pada Abel. Niatnya murni ingin membantu. Dia pergi ke sana karena mencari jawaban tentang penyakit ibu, kan? Abel beruntung ditemani Rangga, karena kalau tidak, aku juga pasti protes."
"Menurutmu apa dia bakal berhasil?"
"Kuharap begitu. Selama ada Rangga, kita harus percaya. Kamu harus mempercayai adikmu kali ini. Mungkin benar, penyakit ibu tidak sepenuhnya berhubungan dengan hal medis."
Sintya mengangguk saja. Mungkin Ferdi benar. Kali ini ia harus percaya pada Abel. Dengan kehadirannya di Desa Kembang, mungkin Abel bisa menumpas penyakit yang diderita Sumarni. Sesampai mereka di sana, mereka disambut Cahyadi. Beriringan dengan kedatangan mereka, listrik pun menyala. Ferdi dan Sintya mengucap syukur, lantas menyusul Cahyadi yang sudah menunggu di balkon.
"Tolong jaga Sumarni, ya. Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan!"
Belum sempat Sintya menginterupsi langkahnya, Cahyadi sudah buru-buru pergi. Begitu sampai di kamar pasien, Sintya dan Ferdi menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, seluruh tubuh Sumarni dipenuhi bentol-bentol aneh. Bentol-bentolnya besar, mengundang gemas siapa saja untuk meletuskannya.
"Astaga, kenapa bisa separah ini?"
Sintya mendekat ke Sumarni, berbicara pada ibu apakah ia baik-baik saja. Melihat istrinya cemas, Ferdi minta Sintya pulang saja. Ia berinisiatif menjaga Sumarni semalam penuh, sementara istrinya dibiarkan istirahat di rumah.
"Kamu besok nggak kerja?" tanya Sintya.
"Cuti sehari saja nggak papa. Lagipula bisnis fotografi itu jarang-jarang. Pelanggan hanya datang jika ada kepentingan. Sana pulang. Kamu jaga Aliya."
Sintya manggut-manggut, kemudian memeluk Ferdi. Wanita itu pun pamit dan mengemudi mobil sendiri. Melihat Sumarni terbaring seperti itu, Ferdi tak tega. Ia memilih tinggal. Kini seisi kamar diterjang bau tidak sedap, yang bersumber dari tubuh Sumarni. Ferdi tidak begitu memperdulikan hal tersebut, sebab di matanya dia tetap seorang ibu.
Entah kelelahan karena bekerja, Ferdi tiba-tiba ngantuk dan tidur di samping ibunya. Selama tidur, ia tiba-tiba bermimpi tentang masa lalu. Masa lalu dimana ia mendampingi Sintya ke rumah sakit untuk bersalin. Didampingi Bu Fatma, Ferdi masuk dan berdiri di samping istrinya. Tangan Sintya digenggam dan ia berusaha menenangkan sang istri supaya tidak panik. Ia menjamin semua bakal baik-baik saja dan optimis istrinya tidak akan keguguran.
"Aku nggak kuat, Mas!" rengek Sintya sembari mencengkam lengan Ferdi.
"Kamu pasti bisa. Bertahanlah sedikit lagi, Sayang!" ucap Ferdi bersemangat.
"Tarik napas, Bu. Sedikit lagi!" ucap Bu Fatma tidak kalah heboh.
Selang beberapa menit, listrik tiba-tiba padam. Bu Fatma mendadak terjungkal dan menunjukkan gelagat aneh, seolah takut pada sesuatu. Senter dinyalakan, Ferdi membantu Bu Fatma berdiri.
"Ada apa, Dok? Kenapa tidak diteruskan proses bersalinnya?"
"S-saya nggak bisa! T-tadi, tangan saya ada yang pegang!"
"Apa maksud Dokter? Cuma kita bertiga di sini!"
Ferdi tidak mengerti kenapa Bu Fatma berkata seperti itu. Sekarang pemandangan di alam mimpi tiba-tiba berubah. Ferdi melihat Bu Fatma mematung, begitupun dengan Sintya. Mereka bergeming. Kini tersisa Ferdi seorang, yang bebas bergerak ke manapun. Aneh. Persis seperti di film-film, waktu tiba-tiba berhenti. Ia menatap arloji, jarum berhenti tepat di pukul sepuluh malam. Ia menoleh ke jendela, di balik jendela yang tertutup gorden itu muncul siluet aneh. Siluet berupa tubuh, rambut, dan juga kuku. Ferdi perhatikan lebih saksama lagi, gorden tiba-tiba membulat. Sosok aneh itu menjorokkan kepalanya ke gorden. Ferdi keluar dari kamar bersalin, meninggalkan Bu Fatma dan Sintya, lalu berlari sejauh mungkin. Saat berlari, ia tiba-tiba tersandung dan jatuh di tangga. Ferdi berhasil bangun, namun saat ia bangun, ia tidak melihat di mana Sumarni berada.
"Bu? Ibu?!" jeritnya panik.
"Bu? Ibu di mana, Bu?!"
Tiba-tiba Ferdi ditarik ke adegan pertama, dimana ia mendampingi istrinya bersalin. Anehnya, dialog yang diucapkan sama. Ferdi sadar sekarang ia masih bermimpi.
"Aku nggak kuat, Mas!" rengek Sintya sembari mencengkam lengan Ferdi.
"Kamu pasti bisa. Bertahanlah sedikit lagi, Sayang!" ucap Ferdi bersemangat.
"Tarik napas, Bu. Sedikit lagi!" ucap Bu Fatma tidak kalah heboh.
Ferdi pun menebak kejadian berikutnya. Bu Fatma ketakutan, namun kali ini waktu tidak berhenti. Waktu justru melambat layaknya video yang diberi efek slow-motion. Listrik tiba-tiba padam dan Ferdi melihat sosok aneh. Mungkin ini yang dimaksud Bu Fatma. Sosok aneh itu yang menggenggam tangannya. Ferdi beringsut mundur. Ia tidak bisa lari lagi. Kini ia dipaksa melihat sampai selesai hal seperti apa yang menimpa istrinya di malam itu.
Sosok itu seperti monster. Kukunya tajam, matanya merah menyala, hidungnya runcing persis nenek sihir. Mengenakan gaun warna merah, sosok itu memiliki gigi mirip gergaji. Ferdi bisa lihat bagaimana perut Sintya mengempis setelah ditarik sosok menyeramkan itu. Dalam sekejap mata, sosok itu menyantap habis ari-ari bayi. Jasad bayi dibawa dan sosok itu terbang keluar jendela.
"BANGUN!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Terkutuk [PENDING]
HororDesa Kembang digemparkan dengan mayat wanita hamil di tengah jalan. Warga berbondong-bondong menyaksikan, namun tidak berani menggotong jenazahnya ke pemakaman. Penduduk desa meyakini jika ada wanita hamil yang meninggal secara tidak wajar, maka des...