13: Transaksi Pesugihan

161 9 9
                                    

Matahari menyembul dari ufuk timur. Setelah dihampiri almarhum Cahyono tadi malam, Abel tidak bisa tidur. Baginya kunjungan beliau terlampau singkat sehingga meluapkan rindu pun tak sempat. Lama hanyut di pulau kapuknya, Rangga bangun dan menemukan istrinya duduk menghadap cermin. Dalam cermin terpantul wajah Abel yang sembap karena menangis. Berjuta tanya yang sejak malam Rangga pendam, langsung ia utarakan.

"Ayah ke sini? Tadi malam?"

"Benar, Rangga. Semalam aku bermimpi. Sukmaku dibawa ke suatu tempat, lalu dijebak. Aku nggak tahu siapa yang melakukannya. Setelah itu aku lihat cermin. Aku ditarik masuk ke cermin, lalu kembali ke dunia nyata. Saat kupandangi siapa yang menarikku, ternyata itu ayah!"

"Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin itu cuma mimpi. Kamu mau melakukan apa hari ini? Berkeliling desa, mau?" ujar Rangga berupaya menghibur sang istri.

"Boleh."

Hati Abel seketika melunak mendengar Rangga mengajaknya keliling desa.

"Tapi sebelum itu kita harus beres-beres. Setengah dari pekerjaan kita belum selesai."

"Iya, aku bakal bantu beres-beres."

Rangga dan Abel sepakat. Hari ini mereka sempatkan untuk beres-beres sebelum nanti keliling desa. Sementara itu, di waktu yang bersamaan, Sekar membantu Nyai berbenah. Ada masalah yang harus diselesaikan. Nyai harus bertemu pelanggan dan menyerahkan roh bayi yang akan dijadikan tanggungan untuk mengikat pelanggan dengan makhluk yang disekutukan. Selesai membenahi barang-barang yang diperlukan, Sekar pun menghampiri Nyai ke kamar. Dalam cermin, terpantul wajah Laksmi yang keriput layaknya nenek tua. Sekar tahu Nyai marah, jadi ia tidak berani mengucap sepatah katapun.

"Sudah kamu bawa semua perlengkapan kita?" tanya Nyai memastikan.

"Sudah, Nyai," sahut Sekar mengangguk.

Kedua wanita itu pun bersiap, kemudian pergi meninggalkan desa. Angkot pun dinaiki dan Laksmi harus pasrah dengan tatapan jijik para penumpang yang satu angkot dengannya.

"Abaikan saja, Nyai. Mereka belum tahu saja siapa kamu sebenarnya."

"Semua ini gara-gara perempuan jahanam itu. Kalau saja aku berhati-hati, kulitku tidak akan menua seperti ini."

Sekar pun berbisik-bisik, "Langkah apa yang akan Nyai ambil kali ini? Bukankah keriputmu ini terlalu parah?"

"Aku sudah pikirkan itu, Sekar. Untuk transaksi kali ini aku tidak ingin uang. Akan kutarik umur pelangganku."

Belum lama Sekar dan Nyai di angkot, penumpang sudah minta turun. Aroma busuk dari tubuh Laksmi membuat mereka tidak betah di angkot. Laksmi geram dan merasa terhina dengan perlakuan para penumpang. Ingin sekali ia sampai di tujuan, merenggut umur si pelanggan agar bebas dari keriput yang mengesalkan.

Baru sehari ditinggal adiknya bulan madu, Sintya gelisah. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Abel. Sintya takut akan petaka yang menimpa Abel dan Rangga setelah tiba di sana. Rasa cemas yang berlebih membuat Sintya tidak fokus bekerja. Bedak untuk merias calon pengantin yang hendak melaksanakan pre-wedding tiba-tiba lolos dari genggaman. Bedak dalam kemasan itu berhambur ke lantai. Pengantin yang wajahnya belum selesai dipoles langsung menghampiri Sintya, lalu berinisiatif mengambil serok guna menampung bedak yang berserakan.

"Ibu duduk saja, nggak usah repot-repot," kata Sintya.

"Nggak papa. Saya tahu apa yang Mbak Sintya pikirkan."

Pelanggan Sintya itu tidak lain adalah seorang wanita paruh baya bernama Wulan. Ibu itu memang sering mampir ke salon. Kadang ia berkunjung untuk sekadar konsultasi, ingin tahu cara merawat rambut supaya tidak rontok. Dulu dia janda, namun sekarang ia menemukan jodohnya lagi. Padahal sudah berumur 40 tahun, namun entah mengapa Bu Wulan masih terpikir untuk menikah.

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang