12: Pertarungan Astral

182 15 2
                                    

Tanpa berpikir macam-macam, seorang ibu meletakkan bayinya di tempat tidur untuk memenuhi panggilan alam. Dalam kamar mandi tangisannya masih jelas terdengar, namun begitu ibu hendak keluar, suara itu hilang. Bersama raibnya suara itu, pintu kamar mandi tiba-tiba terkunci. Takut terjadi sesuatu pada bayinya, ia pun memanggil sang suami agar dibukakan pintu.

"Mas, bukain pintunya!"

Sambil menggedor-gedor, kenop terus ditekan agar pintu terbuka. Usahanya berhasil, namun bukannya langsung menengok si bayi, si ibu malah pergi menyamperi suaminya yang masih tidur dan mengomel.

"Apa sih maksud kamu? Kenapa kamu kunci aku di kamar mandi?"

Tidak ada jawaban.

"Kerjaan kamu tuh cuma mabuk! Belum puas kamu nelantarin aku dan anak-anakmu? Kurang ajar!"

Gusar dengan perbuatannya, wanita itu menyingkirkan selimut yang menutup tubuhnya. Akan tetapi, bukan suaminya yang ia temukan, melainkan guling! Padahal ia yakin suaminya sudah pulang, bahkan ketika anak itu menangis, mereka sempat berbagi tugas meninabobokannya.

"Astaga, bayiku!"

Lekas-lekas si ibu pergi menengok bayinya, namun begitu sampai di kamar yang terhalang sekat berupa tirai, ia melihat bayangan misterius. Secara samar, tirai membentuk bayangan berupa kepala yang terbingkai rambut terurai. Demikian dirundukkannya kepala, tirai yang menyisakan celah sepanjang pergelangan kaki itu memperlihatkan jutaan helai rambut. Ajaibnya, rambut yang tergeletak itu memanjang dan terus memanjang. Sulit dijelaskan oleh logika, namun hal ini benar adanya. Bukan main takutnya, si ibu memberanikan diri menyingkap tirai yang masih utuh dengan potret kepala.

Hi hi Hi hi Hi hi Hi

Sosok itu berwajah angker! Dengan rambut awut-awutan, segenap gigi runcingnya ia pamerkan. Demikian sosok itu menganga dan bukan cuma rambut yang bisa memanjang, dagunya juga! Mulutnya melebar sampai menyentuh lantai. Tidak berdaya menyaksikan penampakan itu, si ibu pingsan. Usai roh bayi diambil, Kuntilanak Merah itu lenyap. Hanya dalam satu kedipan mata, sosok itu sampai di kediaman sang penitah. Sama seperti yang dilakukan Nyai sebelumnya, roh bayi disimpan ke dalam botol.

"Bersiaplah, besok pagi kita harus pergi," ucap Nyai sembari membereskan peralatan ritual.

Melihat Nyai kerepotan, Sekar membantu menyimpan barang-barangnya ke dalam lemari. "Pergi ke mana, Nyai?"

"Bertemu pelangganku. Besok aku harus serahkan bayi ini kepada makhluk yang ia sekutukan."

Rencana besar Nyai baru saja dimulai. Ia tidak semata-mata memenuhi keinginan pelanggan, melainkan mencapai keabadian. Di balik kepuasan, ada yang menderita. Wanita itu hanya bisa meratap melihat bayinya tidak bernyawa. Tidak ada denyut jantung, bahkan suara tangisnya tidak akan terdengar lagi ... untuk selamanya.

"Anakku!! Bangun, Nak!"

*****

Jangkrik mengerik dan nyanyian burung hantu menjadi alunan mencekam di malam bulan mati. Sebuah malam, yang sekaligus menjadi sejarah kebangkitan Kuntilanak Merah. Di antara keramaian pohon pisang, entitas mengerikan mengawasi diam-diam. Sosok yang familier dan sudah erat dengan masyarakat Indonesia, yaitu Pocong. Penampilannya sedikit berbeda dengan Pocong kebanyakan, karena kafan yang dikenakan terbuka setengah.

"Kalau kamu melihat sesuatu yang aneh, abaikan saja. Anggaplah itu sambutan dari mereka."

Ucapan Sartinah mendadak terlintas ketika Abel bercengkerama bersama suaminya. Berhubung posisi dapur berhadapan langsung dengan kebun pisang, Abel refleks melihat ke pohon dan membidik satu entitas. Walau tidak berbahaya, sosok ini tetap mengerikan. Sekujur tubuhnya terbungkus kafan yang kumal dengan durja hitam serupa arang. Sadar ada manusia yang bisa melihatnya, pocong itu tiba-tiba bergerak. Ia tidak loncat, melainkan terbang! Hanya dalam satu kedipan mata sosoknya berpindah tempat; mengamati Abel dari balik jendela. Aroma busuk menguar begitu si pocong berpindah. Sangat busuk, melebihi bau sampah.

Desa Terkutuk [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang