Hinata tidak membatankah ketika ayahnya memanggil dirinya untuk bertemu. Saat memasuki ruangan, dia dikejutkan dengan Naruto yang ada di sana. Pemuda itu masih mengenakan seragam sekolah.
"Kau tidak ingin mengucapkan selamat?"
Ini membuat kepalanya pusing, di saat dia ingin memiliki kehidupan normal seperti kebanyakan orang. Namun dia menemukan orang yang ingin masuk ke dalam dunia gelap yakuza. "Apa yang membuatmu berada di sini?" matanya memandang ke arah pemuda itu.
"Aku sudah mengatakan padamu, kalau ayahku merupakan seorang mantan yakuza. Aku memutuskan untuk menjadi sepertinya."
Ia bergeming, memandang lurus ke arah Hiasi. "Oyabun," panggilnya. "Apa kau yang melakukan ini?"
Hiasi mengangkat kepalanya, memandang putrinya dengan tatapan datar. "Tidak," di melirik ke arah Naruto. "Aku tidak pernah bercanda. Jika kau ingin tahu, kau bisa tanyakan lansung padanya."
Bagaimanapun sulit sekali mempercayai kalimat it,u Hinata mungkin tidak akan percaya apa yang dikatakan ayahnya sendiri.
"Aku tidak akan bertindak gegabah jika memang dia adalah targetku," pria itu melirik dari ujung matanya, putrinya terlihat tidak sabar untuk meminta penjelasan langsung. "Ayah memang tertarik padanya dan berpikir bayaran yang pantas diterima adalah memberikan cucunya itu. Suatu kebetulan yang menyenangkan, jika Naruto menawarkan dirinya sendiri demi bergabung bersama kita. Kau senang, 'kan?"
"Aku tidak senang dengan kehadirannya di sini!" Hinata mengambil langkah mundur untuk keluar dari ruangan.
Naruto menyusul gadis itu segera. "Hei, Hinata!"
◊◊◊◊
"Dengarkan aku!" Naruto menarik kasar lengan gadis itu. Hinata berhenti, membalikkan tubuhnya. "Kau ... menangis?"
"Apa?" Hinata menampar pipi Naruto, pemuda itu begreming di tempat sambil memandang bingung ke arah gadis tersebut. "Ini membuatku kesal!" dia mendorong tubuh itu sampai jatuh ke lantai.
"Apa yang ada di dalam kepalamu itu?"
"Ini pilihanku, Kenapa kau marah padaku?" Naruto membalas berteriak. Berdiri sembari menepuk seragam sekolah. Ia tidak bisa berbicara dengan bebas karena rasai perih di sudut bibirnya.
"Aku ingin hidup sepertimu, tapi kau memutuskan untuk hidup sepertiku. Kau menyia-nyiakan hidupmu di sini! Aku tidak ingin kau sama sepertiku!"
Ia menarik dengan kasar kerah baju Naruto. Mengguncang tubuh pemuda itu, "Pergilah! Kumohon pergilah ..." gadis itu menangis, perlahan cengkeraman pada kerah baju itu mengendur.
"Aku jatuh cinta padamu, karena itu aku berada di sini," ada sesuatu yang harus aku lakukan untukmu. "Kau ingin hidup normal seperti orang lain, 'kan?" tidak ada respons, namun Naruto bisa mengetahui semuanya dari mata gadis itu. "Aku akan mewujudkan keinginanmu."
Hinata menatap lurus ke arah bola mata biru di depannya. Warna biru seperti laut, laut yang luas, luas yang tak terhingga dengan identik kebebasan di dalam sana. Ia tidak bisa menebak apa yang ada di dalam kepala Naruto. Dari mata itu menjelaskan bahwa pemuda itu menyimpan sesuatu di dalam sana.
"Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, namun aku berharap ... kau bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini."
◊◊◊◊
Womb, Shibuya.
"Dua anggur, please!" dua gelas jenis steam glass mendarat pada meja depan. Neji mengamati wanita itu tanpa minat. "Aku traktir." kata wanita itu sembari menunjukkan gelasnya.
Neji mematikan ponsel, lalu menyimpan balik di dalam saku celananya. Melempar senyuman, mulai tertarik dengan wanita asing di depan yang tiba-tiba mentraktir dirinya untuk minum. "Aku tidak mempunyai uang untuk menyewamu saat ini."
"Tidak masalah," Tenten tersenyum simpul, bahkan mulai berani meraba dada bidang pemuda di depannya. "Kau bisa bayar dengan tidur bersamaku, bagaimana?" tawarnya. Ia juga agak bosan dengan uang. Saat ini, dia membutuhkan sesuatu yang lebih.
"Kau ingin kita pergi dari sini?"
"Aku rasa tidak," wanita mengedarkan pandangan, mencari alasan. "Di sini mereka menyediakan ruangan khusus, bahkan lebih indah dari layanan di Hotel." Tenten mulai menarik tangan Neji, untuk segera mengikuti langkahnya. Pemuda itu tidak melawan dan itu semakin membuatnya senang.
Mereka berjalan ke arah sebuah lorong gelap, hanya ada satu lampu di sana. Melewati beberapa ruangan kaca yang menampilkan orang-orang penting di sana, bisa ditebak kalau mereka merupakan para pejabat yang sedang bersenang-senang dengan wanita sewaan mereka.
Setelah keluar dari lorong, mereka berhenti di depan pintu. Tenten menempel kartu di depan interkom, "Aku memiliki kartu ini dengan percuma, karena aku dekat dengan pemiliknya." pintu kemudian terbuka. Di dalam sana terdapat satu ranjang berukuran besar, sofa kecil, nakas, kamar mandi dan bahkan menyediakan mantel handuk di atas tempat tidur.
Neji tidak berkutik saat wanita itu mulai melepas kancingnya satu persatu. Kemeja putihnya jatuh di atas lantai. Tato di seluruh tubuh terlihat jelas sekarang, namun wanita di depannya memandang dengan biasa.
Tenten mendorong tubuh pemuda itu untuk segera di atas kasur. Ia duduk di atas perut atletis Neji. "Apa aku tidak membuatmu teransang?" dia tersenyum, menggigit jari-jarinya sendiri. "Kau benar-benar dingin, aku sudah berusaha di sini."
"Hentikan!" Neji menahan tangannya ketika wanita itu mulai berani membuka ritsleting celana. "Aku mempunyai adik perempuan, tentu ini membuatku kesal. Tiba-tiba aku teringat denganya, bagaimana jika suatu hari dia sama sepertimu saat ini?".
Pandangannya teralihkan ke arah choker di leher wanita itu. Neji menarik dengan paksa, "Kau targetku malam ini." mengepal choker itu dengan kuat. Suara retakan terdengar, pemuda itu membuang sembarang. Di dalam sana disembunyikan sebuah kamera kecil yang dirancang khusus. Alasan kenapa pemuda itu menerima tawaran Tenten adalah untuk menghancurkan kamera itu lebih dulu.
"Pergerakan yang mudah sekali dibaca. Kau juga tidak mendapatkan kartu pelanggan khusus dengan sembarang, mengingat statusmu di sini hanya pelacur. Mereka menjadikanmu alat hari ini."
Tenten bergeming, terlihat santai tanpa ada rasa takut sekali pun. Ini semakin membuat Neji berpikir, kalau wanita itu sering disewa untuk alat menjatuhkan lawan. "Jika kau ingin mengambil berlian itu," dia menjulurkan lidahnya, "Benda itu ada di dalam mulutku."
Neji membuang napas, ini merupakan sesuatu yang merepotkan baginya. "Kau ingin menggodaku agar aku menciummu, begitu? Kalau mereka tahu aku berhasil mengambil berlian itu di dalam sana. Mereka akan membunuhmu.
"Tidak masalah," dia menjawab tanpa ada rasa takut, "Aku bosan hidup. Tidak akan ada orang yang menangis untukku jika aku mati. Aku tidak suka rumah, ayah dan ibuku seorang pemabuk. Ketika mereka marah, mereka selalu melampiaskannya padaku."
"Apa boleh buat." Neji mengambil ciuman lebih dulu, tidak ada rasa iba pun kasihan pada wanita malang tersebut. Ia juga tidak ingin berlama-lama di sini, bagaimanapun juga dia lelaki normal.
Wanita itu lebih liar ternyata, bahkan mengambil kesempatan dengan beradu lidah dengannya. Ini hanya akan memperburuk dan memperlambat kerjanya. Neji menarik rambut panjang itu dengan kasar, alhasil dia lebih mudah mengambil berlian itu. "Dapat!" katanya.
"Kau benar-benar ingin menggodaku?" Tenten mengalihkan pandangan ke samping, menghindari tatapan mata pemuda itu. "Aku akan membuatmu tidak merasakan sakit selamanya." kata Neji, dia mengambil kemeja bajunya, merobek sedikit untuk menutupi mata wanita itu.
Dia membaringkan Tenten di kasur sembari berbisik lirih, "Tidurlah sayang, dunia terlalu kejam untukmu."
◊◊◊◊
Steam glass, gelas yang memiliki tangkai kaki. Stem Glass digunakan untuk minuman dingin tanpa es dimana diinginkan kondisi suhu yang tidak berubah, sedangkan Unstem glass digunakan untuk minuman yang dicampur es batu.
Choker, digunakan layaknya memakai kalung, tetapi lebih melingkari sekitar leher dengan erat
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Eyes
FanfictionSedari kecil, Hinata Hyuuga sudah terbiasa melihat darah dan pembunuhan di depan matanya. Hidup sebagai anak dari Ketua Yakuza, tentu tidak asing lagi dengan hal tersebut, dan tidak jarang pula ikut terlibat di dalamnya. Selama 16 tahun, tidak ada b...