Turun dari tangga, berlari dengan tergesa-gesa bahkan menabrak beberapa orang dengan sengaja demi menerobos jalan. Naruto tidak ingin jalannya dihalangi hari ini, pemuda itu terus berlari seperti atletik demi mencapai garis finish di depan.Sasuke dan Shikamaru melempar pandangan satu sama lain. Mereka saling pandang seakan minta penjelasan masing-masing, namun sepertinya mereka juga tidak mengerti apa yang Sedang terjadi dengan sahabat mereka..
"Aku tidak tahu apa-apa, sungguh!" Sasuke agak kesal karena Shikamaru terlihat memaksa untuk menjelaskan. "Sekarang dia mendadak gila seperti orang kesetanan."
Di tengah koridor, Naruto terus berlari membawa tasnya. Sebuah alasan kenapa aku selalu ingin berada di sisimu, ternyata ada suatu hal yang menarikku ke dalam sana. Aku tidak boleh lari setelah semua yang terjadi, tidak peduli siapa kau sebenarnya. Karena aku hanya jatuh cinta pada Hinata.
"Hinata!" sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan. Ia mengambil langkah lebih dekat, menahan gadis itu yang ingin masuk ke dalam mobil. Anko di dalam mobil memperhatikan mereka. "Aku ingin bersamamu." wajahnya sangat serius, bahkan mencengkeram pergelangan tangan itu dengan kuat.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu." Hinata menepis tangan, tetapi Naruto menarik kembali bahkan mencengkeram dengan kuat.
"Biarkan aku mengenalmu lebih dalam lagi. Perasaan ini mungkin tidak akan kau mengerti, tapi aku sangat yakin. Kalau ayahku dulu merasakan perasaan ini ketika jatuh cinta pada ibuku.".
Hinata meneliti tatapan mata itu. "Kau ingin membawaku lari dari rumah, begitu?"
Itu bukanlah suatu tindakan yang mudah dilakukan. Lagi pula, Apa yang membuat Naruto berpikir seperti itu. Dia juga tidak akan bisa melawan ayahnya sendiri. Berhadapan langsung dengan ketua yakuza. Oh, pemuda itu akan menyia-nyiakan sisa hidupnya, demi menolong dirinya.
"Bukan seperti itu!" Naruto menegaskan kembali, berusaha menjelaskan. "Kau akan mengerti, apa yang akan aku lakukan untukmu." dia mengambil langkah mundur, meninggalkan gadis itu yang masih mematung di tempat ̶ ̶ tidak mengerti apa maksud dari ucapan si pirang.
Anko segera keluar dari mobil, mendekati Hinata. Ia menatap punggung Naruto yang mulai menjauh, memicingkan mata demi melihat lebih jelas. "Apa dia jatuh cinta padamu?"
Tidak ada respons, tapi dia itu tahu apa yang sedang terjadi. Anko bahkan menatap bergantian ke arah Hinata dan Naruto.
◊◊◊◊
Kediaman rumah Hiruzen dikejutkan dengan kedatangan Hiasi Hyuuga. Pria itu tidak sendirian, selalu ada kobun di sisi kanan dan kirinya yang setia menemani
"Tuan Sarutobi sedang menunggu Anda di ruangannya, beliau sudah menunggu dari tadi." Aoba menuntun jalan, menaiki beberapa anak tangga. Lalu berhenti di depan pintu, membukakan pintu dan mempersilahkan Hiasi segera masuk ke dalam. Sementara Aoba memilih mengambil langkah mundur untuk tidak ikut bersama dengan mereka yang tentunya menyangkut hal privasi.
"Sudah aku katakan untuk tidak memberikan apa-apa padaku," Hiasi mengambil duduk di depan Hiruzen, satu cangkir teh mendarat di depannya. "Kau bahkan menyambutku dengan formal dan membawaku ke ruangan pribadimu."
Jika kedatangannya ke mari, hanya karena Hiruzen memiliki rasa curiga padanya, seperti mengusik cucu kesayangan Hiruzen. Demi apapun, Hiasi mungkin tidak akan segan-segan mengacaukan pertemuan ini karena merasa difitnah. Ia bahkan belum menyentuh atau mencari informasil lebih tentang Uzumaki Naruto.
"Katakan padaku apa yang sedang terjadi?" tidak merasa nyaman. Ini semakin membuat pemimpin yakuza saat ini mendadak gelisah. "Jika kau pikir, aku mengganggu cucumu itu. Kau menyatakan perang dengan kami."
"Tidak," sanggah Hiruzen. "Kau mendapatkan apa yang kau inginkan." nada suara itu terdengar agak lirih.
"Kau ingin menawar berapa?"
Hiasi tersentak, begitupun dengan kedua pengawalnya, Ibiki dan Shinobu. Ia mengerti ke mana maksud arah pembicaraan ini. Tidak menyangka bahwa pria tua itu ingin menjual cucunya sendiri.
"Aku memberitahu semuanya pada cucuku, termasuk ayahnya yang merupakan seorang mantan yakuza. Semakin lama, ini semakin menyiksa diriku karena terus menyembunyikan kebohongan. Tidak ada gunanya lagi untuk menutupi semuanya." Naruto mulai menjaga jarak, tidak seperti biasa yang selalu membuatnya naik darah. Pemuda itu benar-benar berbeda ketika bersikap dingin. Mengingatkan dengan anak tirinya Minato Uzumaki. Ia masih mengingat bagaimana pertama kali pria itu memasang wajah dingin karena tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Namun, dibantu dengan bimbingan Kushina, pria itu menjadi lebih percaya diri dan bisa berinteraksi dengan baik.
"Kami tidak berbicara selama beberapa hari ini. Dia juga tidak hadir di meja makan keluarga seperti biasanya," sungguh kenyataan yang begitu pahit, satu kursi di meja makan mampu membuat pria berumur itu merasakan kesepian. "Kemarin malam, dia datang padaku. Anak itu begitu mirip dengan Minato saat itu."
Hiruzen memejamkan matanya, mengingat kembali pada kejadian kemarin malam. Naruto datang menemui dirinya untuk meminta penjelasan lebih tentang komunikasi yakuza. Ia menjelaskan semuanya ̶ ̶ alasan kenapa ingin duduk di kursi tahun ini dan meminta bantuan dengan para yakuza, bahwa dia harus berada di sana demi melindungi beberapa orang yang pernah berhubungan dengan Minato.
Minato bukan merupakan anak kandungnya, tapi dia begitu menyayangi pria itu. Apa pun akan dilakukannya demi pria Minato. Ia bercerita pada Naruto tentang permintaan terakhir almarhum, untuk menjaga orang-orang tersisa yang masih begitu berarti padanya saat menjadi yakuza dahulu.
Meskipun menentang politik dan hukum, cara yang tepat agar aman adalah duduk di kursi. Lalu menarik beberapa yakuza lain untuk menjadi benteng pelindung untuknya.
"Dia mengatakan padaku, bahwa dia ingin mencari jawaban." Hiruzen tidak mengerti maksud perkataan cucunya saat itu. "Entah jawaban apa yang dimaksud olehnya. Lalu dia mengatakan padaku kalau dia ingin melakukan hal yang sama seperti ayahnya."
Melakukan seperti apa yang dimaksud oleh Naruto. Beliau tidak mengerti, yang dilakukan ayahnya adalah menjadi seorang yakuza, membunuh banyak orang, melakukan banyak transaksi legal. Lalu keluar dari yakuza karena jatuh cinta dengan seorang wanita.
Melakukan hal yang sama seperti ayahnya.
Hal yang sama itu seperti apa? Menjadi pembunuh? Atau yakuza? Itu semakin membuatnya pusing dan terjaga sepanjang malaman. Namun saat cucunya mengatakan, "Aku ingin menjadi seorang yakuza. Ada suatu hal yang harus aku lakukan."
Itu bukanlah hal yang sama. Tatapan mata yang tidak asing di mata Hiruzen, hal itu membawanya kembali melihat Minato saat sedang menatap Kushina. Tentu membuatnya menyimpulkan bahwa Naruto sedang jatuh cinta dengan seorang yakuza, lalu memilih masuk ke dunia yang sama dengan perempuan itu.
Sungguh kebalikan yang menyebalkan. Minato keluar dari yakuza karena jatuh cinta pada Kushina dan memilih membuang jauh-jauh jati dirinya yang mengerikan. Sementara Naruto memilih masuk ke dalam dunia yakuza, menjadikan dirinya sebagai pembunuh bayaran, atau hal gelap lainnya yang berhubungan dengan yakuza.
"Aku menyerah," helaan napas terdengar berat. Usianya yang sudah tua lebih rentan terhadap penyakit. Dia tidak ingin mempercepat kematiannya, hanya karena memikirkan Naruto saja. "Aku mempercayakan dia padamu, Hiasi."
Hiasi tersenyum tipis di sana. "Berapa uang yang harus aku keluarkan untuk anak itu?" pria itu menopang dagunya, sembari mengetuk pinggir kursi dengan jarinya. Ini akan lebih menguntungkan, karena dia akan mendapatkan anggota baru.
Gen Minato ada di dalam anak itu, meskipun belum terlihat untuk saat ini. Tapi ia percaya bahwa bakat Minato tersimpan di sana.
"Aku tahu kalau itu hanya lelucon. Kau hanya perlu membayar dirimu sendiri, menjadi wali Naruto. Kupercayakan hidupnya padamu."
Pria itu tersenyum, seperti baru memenangkan judi dan mendapatkan bonus besar-besaran. "Selamat datang ... semoga kau memiliki umur yang panjang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Eyes
FanficSedari kecil, Hinata Hyuuga sudah terbiasa melihat darah dan pembunuhan di depan matanya. Hidup sebagai anak dari Ketua Yakuza, tentu tidak asing lagi dengan hal tersebut, dan tidak jarang pula ikut terlibat di dalamnya. Selama 16 tahun, tidak ada b...