[2] MOON EYES

1K 156 19
                                    

Para bawahan dan pelayan bergegas menghampiri Hinata ketika sampai di kediaman rumah. Untuk menutupi status mereka yang merupakan yamaguchi-gumi, mereka tinggal di rumah yang besar dengan gaya Eropa. Namun masih meninggalkan kesan tradisional, dengan furnitur dan lukisan antik yang dipajang di dinding.

Rumah yang terletak di Prefektur Miyagi wilayah Tōhoku, Sendai, Jepang. Rumah tersebut memiliki halaman yang luas dengan puluhan hektare yang berada jauh dari lingkungan ramai, tanpa menimbulkan rasa curiga siapa yang tinggal di dalam sana.

"Beberapa orang sedang ditugaskan untuk mengejar sisa dari mereka, tindakan Anda gegabah dan terlihat sangat jelas," Anko membuka suara di saat para anggota lainnya memilih bungkam. "Saya akan mengirim beberapa orang untuk menutupi jejak."

Hinata melirik dari ujung matanya. "Kakak," panggilnya, "Kau tahu kalau kelab Muse banyak dikunjungi orang-orang. Tidak ada cara lain selain menyerang target secara langsung."

Kalau sudah seperti ini Anko tidak bisa membantah, terlihat dengan jelas jika gadis itu saat ini tidak ingin diganggu. Ia pun menghela napas, "Baiklah, saya permisi." wanita itu mengambil langkah mundur, diikuti oleh orang lainnya.

Dia menghela napas dengan berat. Mengambil buku yang disembunyikan dibalik hoodie-nya. Ia mengambil langkah untuk segera masuk ke dalam kamar, berjalan ke arah lemari untuk membuka laci ̶ ̶ ̶ tempat di mana biasanya menyembunyikan semua buku. Gadis itu tersentak, "Aku benar-benar yakin ada di dalam sini." mendadak panik, karena buku-buku itu tidak berada di tempatnya.

"Kau mencari ini?" suara berat Neji mengalikan perhatiannya. Lelaki itu memegang semua buku miliknya. "Sepertinya, kau harus belajar cara menyeludupkan barang-barang dengan benar."

"Apa yang kau lakukan?" Hinata buru-buru menghampiri, merampas semua buku itu, "Tidak sopan memasuki kamar anak perempuan tanpa izin." wajahnya merona, ia mengembalikan buku-buku itu semua ke dalam laci.

Neji membuang tawa, "Hei, aku melihatnya dengan jelas dari sini." padahal itu sepertinya buku-buku penting yang tidak ingin dilihat oleh siapa pun, namun sekarang sang adik malah terus terang menunjukkan padanya. "Ayah sudah mengetahuinya, kau tidak perlu takut." pemuda itu membuka suara, melihat bagaimana ekspresi sang adik.

Hinata bergeming di depan laci dan membuat semua buku yang dipaksa masuk ke dalam sana berserakan di lantai.

Helaan napas berat terdengar, Neji menghampiri adiknya untuk memberikan ketenangan. "Kau marah padaku?" tangannya ditepis kasar oleh Hinata sembari memberikan tatapan bengis di sana.

"Kau tidak perlu menahannya, untuk apa kau menyembunyikan semua ini? Jelaskan pada Ayah jika kau memang ingin bersekolah. Kau selalu menyelesaikan tugas dengan baik, permintaanmu pasti akan dikabulkan Ayah."

Benar. Tapi itu merupakan hal yang sulit dilakukan, mengingat bagaimana mereka dari dulu tidak pernah memasuki lingkungan sekolah. Tidak ada buku pelajaran yang harus dipahami, hanya ada buku yang berisi nama-nama orang yang harus dibantai.

Mereka berdua kakak-adik, tetapi memiliki pikiran yang berbeda satu sama lain. Memiliki pandangan yang berbeda. Neji tidak pernah sekali pun merasa ingin keluar dari dunianya saat ini dan memilih hidup dengan normal seperti kebanyakan orang, serta tinggal di rumah yang nyaman.

Berbeda dengan Hinata, gadis itu memilih hidup seperti kebanyakan orang. Merasakan pelukan hangat orang tua, makan di satu meja yang sama dan berbagi cerita, dan yang lebih penting yaitu ̶ ̶ bersekolah seperti remaja lain di usianya saat ini. Namun, tidak ada sekali pun pemberontakan di hati kecilnya untuk meninggalkan dunianya. Ia tetap patuh dan tunduk pada perintah Hiasi.

Tentu sebagai seorang kakak, Neji sangat mengetahui sifat adiknya itu. Meskipun mereka berdua tidak pernah berbagi cerita satu sama lain tetapi, pemuda itu selalu memperhatikansemuanya. "Ayah ingin bertemu denganmu, temuilah segera. Setelah ini kau akan mengucapkan terimakasih padaku."

◊◊◊◊

Hal yang paling selalu dihindari olehnya adalah bertemu dengan Hiasi. Sedari kecil, interaksi antara anak dan Ayah tidak begitu cukup baik. Hinata dirawat dan dibesarkan dengan para kobun.

Hiasi hanya memanggil mereka untuk masalah penting, dan bertemu untuk melihat perkembangan latihan. Sangat jarang para anak ketua yakuza berkomunikasi dengan anak mereka. Tidak memiliki waktu bersantai di rumah.

Tidak ada Ibu di sisinya untuk mencurahkan isi hatinya, Hinata selalu mengabaikan ingatan masa lalu yang hanya akan membuatnya semakin berkabung. Selama almarhum hidup, ia hanya mengingat almarhi yang selalu berada di samping ayahnya, menemani pria itu ke mana pun, bahkan tidak jarang terlibat dalam tugas ̶ ̶ menjadi simpanan para pejabat.

Sebagai seorang istri dari ketua yakuza, memiliki perintah mutlak yang wajib diikuti oleh bawahan lelaki atau suaminya. Para istri baik perempuan, mereka memiliki perintah yang wajib dituruti oleh bawahan ̶ ̶̶ suami atau lelaki mereka. Peraturan yakuza menempatkan wanita pada prioritas terakhir, sehingga mereka tidak boleh menentang apa yang dilakukan para lelaki. Maka dari itu, wanita-wanita itu tidak bisa berkutik meski suaminya membawa perempuan lain di hadapan mereka, atau pun melakukan hal yang lebih.

Saat itu, Hinata pernah melihat ayah membawa seorang wanita di kediaman mereka. Para kobun dan pelayan begitu terkejut melihat ketua mereka membawa wanita lain, mengingat bagaimana mereka sangat mengetahui bahwa Hiasi begitu mencintai istrinya.

Bahkan Hinata sampai berniat dan berlari ingin membunuh wanita asing itu, namun Neji menghentikan dirinya yang terus memberontak kesetanan seperti orang gila. Ia merasa bahwa Ayah telah mengkhianati almarhum. Sebenarnya, bukan hal yang asing, ketika para laki-laki atau anggota yakuza membawa wanita untuk menyenangkan mereka.

Tetapi baginya, apa yang dilakukan oleh Hiasi sudah kelewatan batas. Perlahan, komunikasi mereka buruk karena Hinata memilih menjaga jarak dan membangun tembok besar di antara keduanya.

Tidak jarang ketika tugas yang didapatkan olehnya, hampir mendapatkan pelecehan. Jika menceritakan bagaimana perjalanannya selama bertugas, Hiasi tidak akan peduli tentang apa yang sebenarnya terjadi di setiap kesempatan yang mana tubuhnya hampir disentuh oleh para laki-laki. Pria itu hanya ingin mendengar hasil yang diperoleh, tanpa usahanya selama bertugas.

Mungkin dia terlalu berharap, ingin mendengar dan melihat ayahnya yang murka ketika putrinya hampir mendapatkan pelecahan dan mulai memperketat keamanan untuknya.

"Aku sudah mendengar cerita dari Neji," Hinata duduk bersimpuh di depan Hiasi, tanpa ada niatan untuk menyela pembicaraan itu. "Bagaimana dengan tugasmu?"

Hinata tersentak, "Ti-tidak ada," mendadak gugup, seperti ada sesuatu yang menggelitik hatinya. "Aku sempat memancing perhatian sekitar, karena tidak ada pilihan lain. Maafkan aku, Oyabun."

Hiasi memberikan kode pada para pendampingnya untuk memberikan beberapa barang yang sudah dimasukkan ke dalam kotak. "Kau bisa bersekolah seperti anak lainnya, aku sudah menyiapkan beberapa keperluanmu."

Sungguh sesuatu yang mengejutkan, Hinata bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya saat ini. Ketika membuka kotak itu, di dalamnya terdapat perlengkapan sekolah dan beberapa seragam resmi sekolah yang terlihat cantik.

"Kau tidak pernah mengecewakanku dalam bertugas. Sekali pun kau mengubah arah rencanaku, tetapi kau tetap berhasil mendapatkan targetmu."

Degupan jantung tidak karuan, Hinata menahan diri untuk tetap tenang, sebab dia menahan diri untuk tidak teriak senang. "Terimakasih karena telah mengizinkanku untuk bersekolah."

"Tidak secepat itu," Hiasi menyela. "Kau bisa bersekolah, tapi tetap melakukan tugas seperti biasanya. Sekali pun itu merupakan jadwal sekolah. Kau harus mengutamakan tugas daripada sekolah."

Hinata mengangguk setuju, tidak masalah masih terikat dengan tugas. Setidaknya dia bisa merasakan sekolah seperti yang diinginkan olehnya selama ini. "Aku akan melakukan yang terbaik!" dia membungkuk, mengambil langkah mundur keluar dari ruangan.

"Seharusnya Oyabun memberikan ucapan selamat Nona."

Seharunya seperti itu. Tidak ada yang salah dikatakan oleh Ibiki Morino padanya, niat awal memberikan itu semua adalah sebagai hadiah ulang tahun putrinya yang ke tujuh belas.

"Tidak akan mudah bagiku mengatakan hal itu, karena aku tidak pernah memiliki komunikasi yang baik dengan anak-anakku."



CATATAN

Kobun (こぶん) kaki tangan atau pengikut. Merupakan bawahan oyabun.

Moon EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang