Sasuke melirik sahabarnya yang selalu berwajah murung. Makanan yang ada di depan mereka juga tidak disentuh sama sekali. Padahal hari ini begitu banyak pertanyaan yang ingin dilempar olehnya.
Kenapa meninggalkan kelab tiba-tiba? Kenapa bolos di bimbingan?
Belum lagi Naruto yang biasanya agak agresif ketika bertemu dengan Hyuuga. Hari ini, jauh lebih tenang. Tidak ada bertegur sapa atau berlari, berteriak memanggil nama gadis itu. Bahkan, di saat mereka berpapasan di tengah koridor. Keduanya terlihat saling menghindar.
Helaan napas terdengar berat, rasanya benar-benar membosankan ketika mendapati si pirang yang selalu berwajah murung. Ia akui kalau sifat anak itu agak menyebalkan. Namun di saat tertentu sifat menyebalkan itu sangat dibutuhkan untuk mencairkan suasana.
"Biar kutebak," pemuda itu meletakkan sendok makan di atas meja dengan kasar, sampai membuat suara dentingan cukup kuat. "Kau bertengkar dengan Hyuuga?"
Naruto terlihat begitu malas menanggapi, tiba-tiba suasana hatinya mendadak buruk. Dia memilih mengambil minuman di atas mejanya. "Kau tahu? Kau seperti sedang patah hati di sini." Sasuke berdecak lidah sembari memutar bola matanya.
"Apa kau baru saja ditolak?" Sasuke memejamkan matanya saat mendaparkan semburan air dari Naruto. "Dasar sinting!"
Naruto bergeming, di tempat. Tidak berani melawan saat mendapatkan makian dari sahabatnya itu. Bagi Sasuke, sifat si pirang benar-benar aneh, kalau sudah mendapati seperti ini, maka diam adalah pilihan yang terbaik.
"Tidak heran kalau kau ditolak, terlihat jelas kau kau memang bukan tipe si Hyuuga itu. Jadi ... rumor mengenai simpanan suami orang itu benar?"
Suara pukulan meja membuat seisi kantin memandang ke arah meja mereka. "Tenanglah," kata Sasuke. Ia juga tidak gentar dengan tatapan bengis di sana, "Aku tidak serius." berbicara dengan santai, berharap pemuda itu benar-benar segera dapat mengontrol emosinya saat ini.
"Jangan katakan seperti itu, seakan kau tahu segalanya tentang dirinya!"
◊◊◊◊
Jarang-jarang mendapati mood-nya buruk seperti ini. Tidak ingin melakukan apa-apa, bahkan saat bel sekolah sudah berbunyi. Naruto bahkan memilih membolos kelas di jam-jam terakhir.
"Kebetulan sekali." Kiba datang dari arah belakang, pemuda itu menggunakan kemeja putih sekolah agak kotor. Ia mengambil langkah lebih dekat untuk berdiri di samping Naruto.
Pemuda itu melirik tanpa minat. Mengingat sifat mereka sama-sama keras kepala dan suka mencari kegaduhan. Mungkin akan memperburuk suasana hati jika mereka tiba-tiba berkelahi, Kiba merupakan orang yang sangat emosional..
"Ekspresimu sama dengan Hinata saat ini," baik, sekarang pemuda itu mulai terpancing. Kiba juga mengerti akan tatapan mata di sana. "Dia bercerita padaku, tentang apa yang terjadi di antara kalian."
Ia menoleh, melotot ke arah pemuda di sampingnya yang bersifat tenang. "Jangan- jangan kau juga ̶ ̶ "
"Ya. Aku juga merupakan seorang yakuza," Kiba berdiri menghadap Naruto, menatap dengan serius di sana. "Aku berani mengakui ini padamu, karena Hinata sudah mengakui lebih dulu. Tidak ada pergerakan yang mencurigakan darimu. Aku percaya karena kau adalah temanku." untuk membuktikan ucapannya, dia membuka kemejanya. Menunjukkan tubuhnya yang penuh dengan tato..
"Dia bercerita kalau kau menyatakan perasaan padanya. Tentu, untuk anak seperti dia yang selalu terkurung di dalam dunia yakuza, akan bingung harus menjawab seperti apa."
"Tapi kau ̶ ̶ "
"Jangan samakan aku dengan Hinata." sanggah Kiba, "Dia berasal dari organisasi yamaguchi-gumi yang merupakan organisasi nomor satu yakuza di Jepang. Tentu peraturan yang dibuat oleh pemimpin mereka begitu ketat."
Naruto menundukkan wajahnya, hari ini dia kembali syok. "Ayahku ... seorang mantan yakuza."
"Hinata sudah menceritakannya padaku."
Naruto bungkam. Rasa pusing menjalar begitu cepat ke ubun-ubun kepalanya. Yakuza. Yakuza. Kata-kata itu terus mengusik dirinya, sekarang ia merasa begitu banyak dikelilingi oleh orang-orang yakuza.
"Kau mungkin lebih terkejut, karena selama ini kau hidup tenang. Lalu tiba-tiba mendapatkan kabar seperti itu," Kiba menghela napas, sembari menyisir rambut ke belakang dengan jari-jari tangannya. "Tapi Hinata berbeda, dari apa yang aku lihat. Dia anak yang ingin keluar dari kehidupannya, merasakan hidup normal tanpa ada kekerasan. Kau jangan membencinya atau takut padanya, itu semakin membuatnya begitu tertekan. Dia sudah berani mengatakan dengan jujur padamu."
Kiba menyenggol lengan Naruto, "Jangan anggap kalau itu merupakan hal yang mudah. Kau tahu? Dia butuh tekad yang kuat untuk memberitahu semua itu padamu."
Benar. Namun bagi Naruto, saat ini dia masih tertekan , tidak tahu apa yang harus dilakukan. Setelah Hiruzen menceritakan semuanya tentang mendiang ayahnya, lalu saat ini Hinata, dan kemudian Kiba. "Adakah yakuza lain di sekolah ini?" gemas, geram, tentu saja. Lama-lama ia merasa hidupnya di kelilingi yakuza.
"Ya, tapi aku tidak akan memberitahu padamu. Karena itu merupakan identitas rahasia kami. jika kau ingin tahu, carilah sendiri. Tapi aku menyarankan padamu, untuk tidak ikut campur. Karena kau orang biasa, dan kami yakuza."
Kiba mencoba memperingatkan. Sekali pun dirinya merupakan anak dari seorang mantan yakuza. Itu tidak akan membuktikan dirinya untuk diakui orang lain.
◊◊◊◊
Hinata tidak menduga, bahwa dia akan kembali ke ruangan guru. Menemui wali kelasnya, Ibu Nohara untuk mendengarkan nasihati wanita itu. "Berinteraksilah seperti anak-anak lain. Aku mendengar kabar yang tidak baik dari anak-anak, aku percaya kalau itu hanya gosip murahan."
"Saya akan mencoba yang terbaik." dia menundukkan wajahnya, sembari mengucapkan kata-kata maaf.
Nahara Rin menghela napas, "Kau tidak perlu minta maaf." sedikit ada rasa kesal di dalam hatinya, anak muridnya saat ini suka sekali meminta maaf.
"Bisa aku berbicara dengan Hyuuga?" Obito berdiri dari duduknya, pria itu menepuk pundak kekasihnya untuk meyakinkan. Nohara menatap bergantian ke arah mereka, lalu mengangguk setuju untuk keluar dari ruangan.
"Cukup berat, bukan?" Hinata bergeming, memandang punggung Nohara yang mulai menjauh. "Tentu ini akan sangat berat bagimu, mengingat ini pertama kalinya kau bersekolah." Sepertinya dia mulai paham sekarang. .
"Aku keluar dari yakuza, karena aku jatuh cinta pada Rin."
Alasan kenapa Hinata tidak pernah takut dengan Obito seperti anak lainnya adalah, karena pria itu merupakan mantan yakuza dari organisasi sumiyoshi-kai. Luka di mata Obito menjadi saksi atas pemberontakan dirinya kepada pemimpin, hal itu merupakan bayaran yang harus diterima olehnya.
"Rin mengetahuiku lebih dulu sebelum aku mengakuinya. Orang tuanya dibunuh karena membawa lari uang dan terus menghindari kami. Aku merupakan salah satu orang yang membunuh orang tuanya." masa lalu kelam yang tidak akan pernah bisa dihindari, bahkan bayangan-bayangan itu masih menghantui dirinya sampai saat ini.
"Aku memutuskan untuk keluar dari yakuza, meyakinkan Rin bahwa aku jatuh cinta padanya. Sebagai bayaran, aku bersedia menjadi orang yang selalu ada di sisinya ̶ ̶ menjaga dan melindunginya dengan taruhan nyawaku. Anggap saja sebagai permintan maafku padanya."
Ini kedua kalinya, bagi Hinata mendengar cerita yang serupa. Keluar dari yakuza demi hidup bersama dengan orang yang dicintai. Dan ini semakin membuatnya berharap, namun sepertinya itu hanya imajinasi belaka.
"Pulanglah ..." Hinata tersentak, nada suara lembut di sana membuat matanya berkaca-kaca. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Ini mungkin awalan yang begitu berat, namun aku percaya ... suatu hari nanti kau bisa menemukan jalan keluar untuk dirimu sendiri. Karena setiap orang berhak untuk bahagia, meskipun risiko yang diambil terkadang begitu berat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Eyes
FanfictionSedari kecil, Hinata Hyuuga sudah terbiasa melihat darah dan pembunuhan di depan matanya. Hidup sebagai anak dari Ketua Yakuza, tentu tidak asing lagi dengan hal tersebut, dan tidak jarang pula ikut terlibat di dalamnya. Selama 16 tahun, tidak ada b...