Haku mendesah kesal, "Ini membuatku lelah, kau tahu? Aku ingin segera lulus sekolah lalu mencari uang untuk diriku sendiri. Tinggal di rumah mewah, memiliki lemari khusus yang berisi pakaian mahal." dia mulai berimajinasi secara bebas. Tersenyum senang tanpa ada beban. Bahkan berdiri di atas kursi beton, berputar-putar kegirangan seperti orang tidak waras.
"Hei," panggilnya. "Bagaimana denganmu? Apa yang akan kau lakukan ketika kau sudah lulus?" dia mengambil duduk lebih dekat dengan Hinata. Terlihat antusias untuk mendengar jawaban di sana.
Hinata tersentak. Ia tidak pernah berpikir tentang masa depan, mengingat dirinya merupakan penerus kedua yamaguchi-gumi. Tentu setelah lulus SMA, dia akan sibuk dengan tugas yang lebih banyak diberikan oleh ayahnya.
Tidak penah sekali pun berpikir untuk menjadi seorang guru, dokter, atau pergawai kantoran. Lagi pula, semua sudah jelas di depan mata. Tidak bisa lari dari kenyataan.
Ini membuatnya agak kecewa. Ia berwajah murung, mencoba untuk tersenyum di depan Haku. "Aku tidak pernah berpikir tentang apa yang harus kulakukan," Hinata menunduk, lalu menengadah menatap awan. "Tapi aku memiliki keinginan untuk hidup tenang, berkumpul bersama keluarga di meja makan."
"Oh, maksudmu menikah?" sahut Haku. "Aku yakin kau akan menjadi ibu rumah tangga yang baik, tapi aku sarankan kalau kau juga harus bekerja" dia mengedikkan bahunya. Seolah terdengar mudah.
"Bukan seperti ̶ ̶ "
"Bagaimana kalau kau tinggal bersamaku?" Haku menarik kedua tangan Hinata, menatap penuh harap. "Aku tidak berkeinginan untuk menikah, kita bisa tinggal berdua bersama. Pasti akan lebih menyenangkan."
"Tapi ... kau laki-laki."
"Apa?"
Hinata mengatup bibirnya, seolah dia salah bicara. Kemudian menjelaskan, "Bukan begitu maksudku. Tinggal bersama tanpa ada ikatan itu benar-benar buruk."
"Sejak kapan kau tahu?" Haku mendadak panik, bahkan berteriak yang membuat orang-orang menatap mereka bingung. "Siapa yang memberitahumu? Katakan padaku!" lelaki cantik itu mengguncang tubuhnya kuat.
"Aku sudah tahu," Hinata menahan pergerlangan tangan Haku untuk berhenti mengguncang tubuhnya. Kepalanya benar-benar pusing sekarang. "Bajumu tipis dan ketat, tidak ada bra tercetak di sana." meskipun beberapa anak perempuan memiliki dada datar, tentu berbeda bidang dengan anak laki-laki. Ia mencoba menjelaskan, meskipun agak malu karena dia sendiri merupakan seorang perempuan.
Haku spontan memegang dadanya yang datar. "Kau benar," tangannya menepuk-nepuk untuk memeriksa. "Aku lupa memakainya. Aku menyimpan di dalam loker." Hinata menganga tidak percaya, barang penting perempuan begitu mudahnya disimpan di dalam sana. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, jika seseorang membukan loker di sana.
Haku pergi meninggalkan dirinya. Hinata tidak bisa menahan orang itu. Ia menghela napas. Padahal dia ingin Haku lebih lama di sini untuk menemani dirinya.
"Akhirnya ... dia pergi juga." Naruto melompat dari belakang kursi untuk mengambil duduk di sebelah Hinata.
"Kau menguntit?"
"Tidak," pemuda itu menyela agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka. "Kebetulan lewat dan melihat kau di sini, jika aku itu nimbrung di antara kalian. Lagi-lagi kau akan menghindar." Naruto bersandar pada kursi, duduk di bawah pohon rindang membuat dirinya merasa ngantuk. Ia memejamkan matanya, menikmati angin yang berhembus pelan.
Hinata memperhatikan wajah pemuda itu. Ia tersentak saat Naruto tiba-tiba membuka matanya, spontan, gadis itu mengalihkan wajah. "Hei," panggilnya. "Neji mengatakan padaku, kalau aku harus memasang tato."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Eyes
FanfictionSedari kecil, Hinata Hyuuga sudah terbiasa melihat darah dan pembunuhan di depan matanya. Hidup sebagai anak dari Ketua Yakuza, tentu tidak asing lagi dengan hal tersebut, dan tidak jarang pula ikut terlibat di dalamnya. Selama 16 tahun, tidak ada b...