[9] MOON EYES

708 120 15
                                    

Keluar dari ruangan, Neji mendapati Hinata sedang bersandar di dinding. Meneliti dengan tatapan datar. Pemuda itu menghela napas, terlihat dengan jelas bahwa saat ini tidak ingin berdebat. Ia pun memilih berjalan, mengabaikan adiknya di sana.

"Aku sedang tidak ingin berdebat." mengangkat telapak tangannya, seakan pemuda itu benar-benar menyerah. Namun ia tahu, bahwa adiknya itu akan tetap bersikeras meminta penjelasan saat ini.

"Kak Neji, tunggu!" gadis itu mengikuti langkah yang sedang terburu-buru. "Kenapa kau menggantikan aku?"

Teriakan itu berhasil menghentikan langkah kaki Neji. Ia melirik sekitar, tidak ada para kobun dan pelayan. "Aku khawatir padamu," memberanikan diri melirik dari ujung matanya, bisa dilihat bagaimana ekspresi terkejut Hinata. "Jika aku meminta persetujuan denganmu untuk menggantikan tugas, aku tidak yakin bahwa kau akan benar-benar setuju."

Hinata bergeming, memandang punggung di depannya. "Bagaimanapun juga, mungkin Ayah sekarang akan menganggap bahwa aku melalaikan tugas." ia mengepalkan tangannya dengan kuat sembari memejamkan matanya beberapa saat.

"Tidak perlu khawatir, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan saat ini." pemuda itu berbalik, menghadap ke depan Hinata, lalu mengambil langkah untuk mendekati gadis itu. "Semua akan baik-baik saja, kau sudah melakukan yang terbaik. Percaya padaku, karena aku adalah kakakmu." memberikan tepukan pada pundak di sana, lalu Neji mengambil langkah untuk segera pergi.

Hinata mematung di tempat, memandangi punggung Neji itu dari tempatnya berdiri. Dia tidak akan berada di sini untuk menemui kakak, jika Ibiki tidak memberitahu yang sebenarnya tentang apa yang terjadi. Vas bunga, furnitur antik pada pecah dan berserakan di ruang tamu.

Benar-benar tidak menduga bahwa kakaknya akan membelanya di depan Hiasi, hanya untuk menggantikan tugas. Dua orang itu sampai bertengkar karena masalah kecil seperti ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana dua laki-laki itu berkelahi dan berdebat, sebab dua orang itu sangat keras kepala dan membela mati-matian pendapat mereka.

◊◊◊◊

"Terjadi sesuatu?"

Hiruzen melirik tangan kanan yang diperban pun masih meninggalkan bekas darah di sana. "Sebagai seorang pemimpin, Anda tidak akan terlibat tugas di lapangan." dia meletakkan cangkir di atas meja dan berhasil membuat suara dentingan cukup kuat.

"Mau berbagi cerita?"

Pria di depannya menghela napas, terlihat agak berat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. "Hanya pertengkaran kecil, itu saja." Hiasi membuka suara, matanya memandang tangan kanannya yang diperban. Luka didapatkan dari putranya sendiri, tidak menyangka bahwa perdebatan itu berhasil membuat perkelahian di antara mereka.

Kemampuan putranya semakin meningkat,bahkan sampai membuatnya lengah. Hiasi tidak bisa membayangkan bagaimana kalau suatu hari ia dibunuh oleh putranya sendiri.

"Mungkin pertengkaran kecil yang Anda maksud adalah pertengkaran antara anak dan Ayah, begitu?" Hiruzen membuang tertawa, "Senang rasanya karena tebakanku benar."

Hiasi menghela napas kembali. Entah sejak kapan anaknya itu sangat sangat kepala. Sulit berinteraksi dengan baik bersama dengan kedua anaknya. Mereka berdua diasuh oleh para kobun dan dididik oleh guru mereka masing-masing.

Ia tidak akan bisa berinteraksi dengan baik, terlihat dengan jelas bahwa kedua anaknya sama-sama membangun tembok besar, salah satunya adalah putrinya sendiri. "Seharusnya aku tidak akan terkejut mendapati sikap anak-anakku yang menyebalkan." mencicipi teh kemudian, berharap rasa di sana mungkin bisa menenangkan hati.

"Aku melihat putramu, kalau dia tidak terlihat seperti apa yang kau katakan. Anak itu terlihat pendiam dan berwibawa sama sepertimu," Hiruzen mengingat-ingat sosok laki-laki yang dikenalkan langsung oleh Hiasi. "Anak laki-laki memang tidak memiliki komunikasi yang baik dengan Ayah mereka. Itu hal yang biasa terjadi, dulu aku memiliki putra yang penurut tapi aku merasa masih ada tembok di antara kami."

Moon EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang