Ini benar-benar menyebalkan. Ia tidak berhenti menghela napas karena merasa frustrasi. Hinata membangunkan dirinya tepat pukul 01.00 dini hari. Padahal saat ini, Naruto benar-benar ingin istirahat. Menenangkan pikiran, menikmati hari libur dengan tenang sebelum dalam beberapa jam lagi kembali ke sekolah menghadapi berbagai mata pelajaran yang membosankan.
Namun tiba-tiba, Hinata mengetuk pintu kamar, suaranya benar-benar mengganggu dan membuat sakit kepala sampai ke ubun-ubun. "Aku mencoba mengetuk pintu, tapi tidak ada sahutan dari dalam." sama halnya dengan gadis itu, dia juga merasa kesal setengah mati. Karena Naruto tidak kunjung membuka pintu.
"Bukan berarti kau harus mengetuk dengan cara seperti itu," Naruto menguap. Menjatuhkan kepalanya pada meja bartender. "Astaga ... aku benar-benar mengantuk." dia mengedar pandangan, menatap suasana kelab malam yang begitu ramai. Ia menoleh, memandang wajah Hinata yang terlihat begitu santai.
Mereka berdua mendapatkan tugas dari Hiasi. Salah satu klien meminta mereka untuk membunuh seorang pria yang tengah membawa lari uang dan beberapa berlian. Targetnya terlihat mudah, namun anak buah yang berada di sekeliling pria itu, yang menjadi masalah mereka.
Naruto teringat dengan perkataan Neji sesaat, pemuda itu meminta untuk menjaga Hinata. Tentu, tanpa diberitahu dia akan melakukan hal itu. Tetapi Neji memperingati dengan mengatakan, "Dengar. Di dalam tugas tertentu, ada hal yang mau tidak mau dilakukan Hinata demi mempercepat kerjanya. Jangan biarkan adikku disentuh keparat itu!
Itu membuatnya tidak habis pikir. Belum lagi saat Neji menjelaskan bagaimana sebenarnya kehidupan asli perempuan yakuza. Sungguh miris, namun Hinata beruntung kalau dia memiliki status yang teramat penting bagi mereka.
"Aku akan berperan sebagai pelacur untuk menarik perhatian pria itu," Naruto tersentak. "Saat berada di kamar, kau harus berada di sana. Sisanya, aku serahkan padamu."
Pergelangan tangan Hinata dicengkeram saat gadis itu berdiri. "Kita pikirkan cara lain," Naruto mulai panik, padahal di baru saja memikirkan hal tersebut, untuk tidak sampai terjadi. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bagaimana kalau aku tidak bisa berada di ruangan yang kau maksud? Kalau aku terlambat ̶ ̶"
"Aku percaya padamu," gadis itu menyela, menatap teduh wajah Naruto. "Kau mengatakan padaku, kalau kau ingin menjadi kuat untuk melindungi dan menjagaku. Sekarang, ini waktunya untuk menunjukkan seberapa kuat dirimu." Hinata mulai berjalan ke arah sofa panjang, menghampiri pria yang dari penampilannya berusia tiga puluh tahunan.
Naruto memasang wajah khawatir. Bisa dilihat bagaimana Hinata merasa tidak nyaman namun mencoba memaksakan diri sendiri, saat pria itu mulai merayu.
◊◊◊◊
Sudah satu jam, namun dia belum berhasil berada di ruangan tempat Hinata berada bersama pria tersebut. Naruto mendesah frustrasi. Ini begitu sulit, melawan dua orang dengan tangan kosong. Ia bahkan hampir menyerah, kalau tidak mengingat perkataan Hinata padanya.
Ia menatap dua orang yang sudah tidak sadarkan diri sekarang. Mulai berlari ke lantai atas, berlari ke arah kamar yang sudah diyakini olehnya kalau Hinata berada di sana. Pintu tidak terkunci.
Naruto menatap tidak percaya, pemandangan di depannya. Namun dia lebih fokus ke arah Hinata yang terlihat seperti memakai bikini. Ia menggeram kesal.
"Tunggu!" Hinata mencoba menahan. Naruto akan memancing perhatian sekitar jika mendengar suara pistol tersebut. Agar hal itu tidak terjadi, dia buru-buru menendang pria asing di atasnya, dan berhasil tersungkur ke belakang.
"Jangan ̶ ̶ "
Telat. Suara tembakan menggema di ruangan kamar tersebut. Hinata memejamkan matanya. Ia bahkan mengintip ke arah pria yang sudah tidak sadarkan diri, rasa mual menggelitik perut. Darah merembes keluar, bahkan seperti ingin menenggelamkan tempat ini.
Naruto memilih mengutip baju Hinata yang berserakan di lantai. Memberikan pada gadis itu, "Jangan katakan apa pun!" dia memilih menyela lebih dulu sebelum Hinata melempar pertanyaan padanya. Untuk saat ini yang terpenting adalah keluar dari ruangan sebelum orang lain mulai melihat mereka.
Mereka keluar dari jendela, beruntung ada tangga kecil yang terbuat dari besi. Meskipun terlihat berkarat, setidaknya bisa menahan mereka untuk sementara sampai kaki menginjak tanah.
Hinata mulai menyambar dengan umpatan kasar pada pemuda itu. "Jangan gegabah, bagaimana jika ̶ ̶ " dia berhenti melanjutkan kalimatnya. Ia memandang Naruto yang mematung di tempat, pistol di tangan pemuda itu jatuh ke bawah.
Mual. Naruto terduduk di sana, memegang perutnya yang terus mengguncang. Hinata beranggapan bahwa pemuda itu merasa syok.
Gadis itu menghela napas, merasa bahwa tidak ada gunanya marah. Memilih untuk menenangkan pemuda itu, memijit leher di sana. Pemuda itu terbatuk-batuk, sudut matanya berair, jari-jari tangannya gemetar.
"Ini baru awal," dia mencoba menenangkan, menggosok punggung pemuda itu. "Kau mungkin akan menghadapi hal lebih berat lagi. Aku juga sama sepertimu, bahkan aku belum terbiasa melihat darah itu." Naruto mengelap sudut bibirnya, melirik Hinata yang tengah tersenyum padanya. Wajah pemuda itu benar-benar pucat,
Ini tidak mudah dari apa yang kupikirkan.
Ia menghela napas kemudian, Hinata menyandarkan diriya pada tembok. Kejadian barusan seperti mimpi bagi Naruto.
"Kau baik-baik saja?" dia menggapai pipi gadis itu. Sekilas, ingatan saat di kamar membuat rasa pusingnya hilang. "Aku tidak terima. Tanpa pikir panjang aku langsung melubangi kepala pria itu. Tidak boleh ada yang menyentuhmu ̶ ̶" kecuali aku.
"Aku baik-baik saja ..." Hinata mencoba menghilangkan rasa khawatir pemuda itu. Justru dia yang saat ini takut pada Naruto. Tatapan mata yang berbeda dipancarkan pemuda itu saat mulai membidik target. Sekarang, dia mengerti ̶ ̶ kenapa ayahnya menginginkan Naruto. Sisi gelap pemuda itu ada di dalam sana, mengingat Minato merupakan seorang mantan yakuza, gen laki-laki itu ada di dalam putranya.
"Boleh aku menciummu? Aku benar-benar tidak nyaman sekarang. Bayangan laki-laki itu masih terlintas dalam pikiranku. Meskipun kau tidak mengatakan apa-apa, tapi aku merasa khawatir jika dia sudah menyentuhmu."
Hinata tersentak, memandang lurus ke arah mata biru di depannya. Ia tidak merespons. Tapi Naruto mulai memberikan ciuman di bibirnya, seolah pemuda itu tidak ingin tanggapan atau pun yang berujung penolakan.
Meskipun bibir keduanya hanya menempel. Tetapi Hinata bisa merasakan, kupu-kupu menggelitik perutnya. "Terimakasih ..." Naruto melepasnya, menarik gadis itu ke dalam pelukan. Mendekap dengan erat sembari berkata, "Aku mencintaimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon Eyes
FanfictionSedari kecil, Hinata Hyuuga sudah terbiasa melihat darah dan pembunuhan di depan matanya. Hidup sebagai anak dari Ketua Yakuza, tentu tidak asing lagi dengan hal tersebut, dan tidak jarang pula ikut terlibat di dalamnya. Selama 16 tahun, tidak ada b...