Note!!
Sakit.
ㅡㅡㅡ
"Mbak, makan malem dulu yuk! Udah ditunggu Papa juga di meja."
Petang itu, kala Millie tak kunjung keluar dari dalam kamarnya, Millo memutuskan untuk menerobos masuk ke dalam kamar Kakaknya.
Ruangan persegi itu gelap. Sunyi. Gundukan selimut tebal di atas kasur dengan juntaian surai legam menjadi satu-satunya tanda kehidupan di dalam sana.
"Tidur, Mbak?" tanya Millo.
Hening. Tak ada jawaban selain deruan napas putus-putus. Millo lantas mengeryitkan dahinya kala ia terduduk di sisi kasur.
"Mbak sakit?" Lagi. Masih tidak ada jawaban.
Yang Millo tahu, suhu tubuh gadis itu meninggi. Netra gadis itu basah. Mulutnya meracau dan merintih pelan, terlampau pelan, lebih terdengar seperti bisikan yang bahkan tak dapat didengarkan Millo.
"Mampus!" Panik, Millo akhirnya melompat keluar kamar Millie. Tanpa berlama-lama, Millo cepat mengobrak-abrik kotak obat yang tergantung di sudut dapur.
Evan lantas bertanya, "Kenapa, Mas?"
"Kita nyimpen stok Paracetamol gak ya, Pa? Mbak demam tinggi."
Biar bagaimana pun, orang tua tetap punya nalurinya untuk melindungi. Dan seorang Ayah akan tetap menjadi seorang Ayah yang ingin menaungi anak-anaknya.
"Kamu beliin bakso dulu, Mbak biar makan berkuah yang anget-anget. Biar Papa yang cariin obatnya." Dengan tenang, laki-laki paruh baya itu memberikan ketegasan, dan Millo yang dengan suka hati mengikuti.
Dan dengan jelas, Evan masih mengingat anak gadisnya itu tidak bisa makan makanan tanpa kuah jika sedang sakit. Biar hanya nasi dengan kuah bakso, setidaknya Millie tidak akan kesulitan menelan makanan keringan.
Millo kemudian terburu keluar dari rumah, dengan langkah setengah berlari laki-laki ini menghampiri gerobak bakso ujung jalan rumahnya.
"Mas, dibungkus satu. Putihan aja, bakso halus sama tahu putih aja. kuahnya banyakin," tukasnya cepat.
"Millo? Ngebakso juga?" sapa Anta ringan.
"Loh, Bang Anta!" Selagi menunggu pesanannya dibungkus, Millo lantas mengambil duduk di hadapan Anta yang sedang asik melahap semangkuk baksonya. "Enggak, Bang. Buat Mbak Millie," jawab Millo menganggapi pertanyaan Anta.
"Oh." Anta menyahut ringan, tanpa tahu, gadis yang belakang ini mendadak jadi prioritasnya itu sedang tak baik-baik saja.
Hingga akhirnya Millo menyampaikan, "Mbak Millie panas tinggi." Kala itu juga netra Anta membola. Bakso yang dikunyahnya mendadak terasa hambar. Panas kuahnya mendadak jadi dingin. Lalu, ada resah yang pandai sekali menyusup dalam hatinya.
Laki-laki itu lalu cepat menenggak es teh, dan lalu berucap, "Bukannya tadi pagi sehat-sehat aja ya? Tadi pagi masih minta aku anterin ke pasar," tandas Anta tidak percaya.
"Iya, abis sarapan tadi Mbak masuk kamar. Terus udah gak keluar sama sekali. Terus pas aku mau ngajakin makan malem ini tau-tau udah panas tinggi, terus ngigo-ngigo gitu." Millo menyahut selagi berdiri dan menerima bungkusan pesanannya.
"Kebiasaan banget kalo sakit nggak mau bilang." Laki-laki itu jadi panik. Cepat ia berdiri dan membayar semangkuk baksonya walau belum tuntas dilahap, sudah tidak lapar lagi.
"Papa ada di rumah?" tanya Anta lagi.
Dan lalu, Millo hanya mengangguk. Anta lantas menghela berat. Kalau boleh jujur, ia ingin bertandang ke kediaman gadis itu. Ia ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Tapi Anta tahu diri, ada pintu yang tidak boleh asal di dobraknya. Ada batas yang tidak boleh asal didahuluinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Merah Jambu
General Fiction[Baca Senja Warna Biru dulu] Ini cerita tentang kamu. Orang terhebat yang mampu mengumpulkan setiap keping pecahan lukaku dan membentuknya menjadi semesta yang utuh. Orang terhebat yang melengkapkan aku. ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ Author : Gulaliloly G...