6 ; Puing Asa

183 21 102
                                    

Danger!!

Agak panjang. Update-nya sengaja malem, biar masook aja bacanya. But, let's try to know what you need :"))

ㅡㅡㅡ




























Surabaya.

Sudah jadi kegiatan rutin bagi Millie untuk pulang ke tanah kelahirannya tiap akhir pekan. Terlebih lagi, ini sudah liburan semester, Millie jadi punya banyak waktu untuk berlama-lama di sini, setidaknya sampai tahun ajaran baru dimulai, sampai awal tahun depan, mungkin.

Dan lagi, Millie ingin menemani Evan, setidaknya agar Ayahnya itu tidak merasa kesepian sendirian di rumah.

Millie menghela panjang kala ia terduduk di ruang tengah. Netranya menyapu tiap sudut rumahnya. Rumah yang menyimpan kenangan tentang Dena dalam tiap sentinya.

Letak perabotannya masih sama. Persis seperti saat terakhir kali Dena membereskanya, mungkin. Hanya saja, sekarang terlihat sedikit lebih berantakan. Berdebu.

"Mbak." Suara rendah Millo memecah hening, membuat Millie menoleh.

Di sisinya, Millo pun melakukan hal yang sama. Netra bening laki-laki itu mulai berair. Lalu, Millie bisa mendengar helaan berat Adiknya itu. "Aneh ya, Mbak. Rasanya Mama masih ada di sini. Rasanya kayak ditinggal pergi ke pasar tapi kok gak balik-balik."

Millo lalu mendengus heran. Ia menggeleng tipis tatkala air matanya menetes. Laki-laki itu lalu mengusap cepat linangan di pipinya, ia tertunduk menahan kepala dan sedikit menjambak surainya.

Hampir tiga bulan sepeninggal Dena, dan untuk pertama kalinya Millie melihat Millo begini. Millo bahkan tak menangis di hari Dena pergi, setelahnya Millo justru sibuk sendiri entah bermain basket, pergi dengan kawannya, pun juga online hingga subuh pada game-nya hanya sekadar untuk push rank, katanya.

Dan kini, laki-laki itu menangis. Millie lantas menarik laki-laki itu dalam dekapnya, membiarkan Adiknya melepas segala topeng pura-pura kuatnya.

"Aku sering gak nurut sama Mama, Mbak." Suara Millo terdengar serak. Millie menepuk-nepuk bahu laki-laki itu. Air matanya turut luruh.

"Anak laki-lakinya Mama, katanya kalo udah gede mau ngelindungi Mbak sama Mama. Masa gini aja nangis? Cemen!" Millie mencibir. Niatnya, Millie ingin menghibur atau kalau bisa memancing emosi Millo agar adiknya itu ribut seperti dulu. Tapi, bahu Millo semakin bergetar.

"Dek." Millie memberi jeda selagi tangannya masih rajin menepuk lembut bahu Adiknya. Ia menghela panjang dan tersenyum getir kemudian, "Jangan pura-pura kuat lagi, nangis kalo emang harus nangis. Biar Mbak tau kalo kamu butuh Mbak, kalo Mbak harus ada buat kamu, pun juga sebaliknya."

Millie mendorong tubuh Millo memberi jarak. Gadis itu menatap Millo teduh lalu mengusak surai Adiknya itu. "Harus inget kalo kita ini keluarga, harus saling menyembuhkan. Sekarang jangan nangis, bantuin Mbak masak buat makan malem, ya? Keburu Papa pulang kerja nanti." Dengan patuhnya, Millo mengangguk. Ia mengusap matanya kasar, Millie jadi terkekeh seraya mengusap puncak kepala Millo.

Jujur saja, Millie tidak pernah menyangka, ternyata, laki-laki seberisik, seusil, dan sekokoh Millo bisa sehancur ini juga.

Beberapa sekon berikutnya, keduanya sudah sibuk di dapur. Tidak banyak yang bisa Millo lakukan selain membantu Millie mengupas bawang dan mencuci peralatan bekas memasak. Tapi setidaknya, membantu Millie memasak membuatnya melupakan keterpurukannya, walau pun sejenak saja.

Lalu, dentingan bel rumah membuat dua Kakak-Beradik itu menoleh kompak ke arah pintu depan. "Jagain bentar, Dek. Kalo udah mendidih, matiin aja kompornya." Millo mengangguk selagi Millie berjalan keluar.

Langit Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang