20 ; Dua Kutub

84 14 5
                                    

Note!

Maaf ya, terabaikan. Cuma, agak susah aja nulis cerita ini. Bukan karena bingung mau dibawa kemana. Sudah tau kok. Cumaaaa, ...... Berat.

Semangat!!

ㅡㅡㅡ















Sudah dibilang kan, waktu itu cepat berlalu tidak terasa. Maka dari itu, kalau kau hanya diam saja, akan semakin banyak waktu yang terbuang sia-dia, akan semakin banyak penyesalan yang tertimbun, akan semakin banyak kecewa yang tertumpuk, dan akan semakin banyak kebencian yang merajai hati.

Iya. Kebencian pada diri sendiri untuk jadi semakin lemah, dan tidak berguna.

Untuk itu, kini Millie memberanikan dirinya. Sudah cukup malam demi malamnya habis untuk meratap. Lintang sampai tak punya keberanian untuk bermain-main di kolong langit. Mendung.

Waktunya di tanah kelahirannya ini sudah semakin tipis, ia harus segera kembali ke Jakarta. Pendidikan Millo juga tidak bisa ditunda lebih lama lagi.

"Pa, aku sabtu besok mau balik ke Jakarta." Dengan takut-takut, Millie memberanikan diri.

Pagi itu, masih kaku. Meja makan bahkan jadi terasa makin mencekam usai Millie mengucap hal itu. Padahal, baru saja dua hari ini Evan mau duduk di meja makan untuk makan bersama, walau masih tanpa obrolan.

Millie diam-diam bertukar pandang dengan Millo. Adiknya itu hanya menggigit bibir bawahnya. Kalau boleh jujur, ini jadi terasa lebih horor ketimbang masuk ke rumah hantu.

Evan diam sejenak, mencerna salam pamit anaknya yang masih berdengung dalam rungunya. Tidak ada jawaban sampai akhirnya laki-laki paruh baya itu beranjak begitu saja sambil menenteng ransel kerjanya dan melangkah keluar.

Setelahnya, Millie menghela lelah. Gadis ini menaruh kepalanya di atas meja makan. Nafsu makannya hilang seketika. Sementara Millo masih meneruskan sarapannya. "Harusnya jangan bilang dulu, Mbak. Baru juga orangnya mau makan bareng kan!"

"Lusa itu udah Sabtu, Dek!"

"Ya kan masih ada besok."

Millie jengah. Gadis ini lantas menghela kasar dan segera beranjak. "Kalo udah, beresin!" titahnya yang hanya diangguki oleh Millo.

Langkah lesunya membawa gadis ini untuk kembali merebahkan punggungnya di atas kasur. Netranya menerawang kosong pada langit-langit putih kamarnya.

Sungguh, Millie tidak pandai mencairkan dingin. Millie tidak pandai memecah canggung. Millie tidak pandai mengalahkan egonya sendiri.

Dan lagi-lagi, air hangat itu lebih pandai dari Millie untuk menyusup keluar. Sakit itu lebih pandai dari Millie untuk diam-diam meremat hatinya sampai remuk.

Lalu, denting-denting ringan mulai mengisi hening. Gadis ini lantas bangkit dan meraih ponselnya dari atas nakasnya. Millie lantas mengeryit. Ada pesan masuk di sana. Pesan masuk yang sudah lama sekali tidak mengisi lembaran kehidupannya. Pesan yang entah harus disyukuri atau tidak kedatangannya.










FISIP 16 - Juniar
Online

ㅣCha.....
ㅣLagi di Surabaya, Cha?

Tau dari mana?ㅣ

Langit Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang