9 ; Selasar Rindu

155 20 96
                                    

Danger!!

Miris tapi manis.

ㅡㅡㅡ


























Malam itu makin dingin. Udara makin terasa basah dengan embun yang mulai rapat. Millie dengan keresahannya masih betah saja terjaga walau ini sudah lewat tengah malam.

Berkali-kali ia mengigit bagian dalam bibirnya, ia pikir dengan begitu gelisahnya boleh sedikit sirna hingga akhirnya berujung pada helaan panjang.

Terhitung sudah kesekian kalinya ia keluar kamar hanya untuk sekadar mengintip keluar dari jendela depan rumahnya. Masih hening, masih sepi, masih gelap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar pagar rumahnya, deruan suara motor pun tak samar didengarnya.

Sekali lagi Millie menilik ruang obrolannya. Masih tak ada jawaban, pesan terakhirnya masih teronggok tak terbaca.

"Millo kok belom pulang sih?" gumamnya.

"Udah kamu tidur aja. Biar aku yang nungguin Millo pulang. Gak capek apa kamu? Besok katanya kerja masuk pagi." Pun Anta sedari tadi terduduk di ruang tengah, menonton film di layar kaca sembari menunggu Millo.

"Padahal udah aku bilang jangan pulang malem-malem loh." Bertepatan dengan itu, ponsel Millie berdering. Nama Millo yang terpampang pada layar ponselnya membuat Millie bersiap sedia mengumpati Adiknya itu. "Millo! Kamu kemana aja sih?"

Lalu, satu sekon berikutnya, Millie jadi lupa caranya mengucap sumpah serapah. Mendadak, udara malam membius dingin, membekukan rasa tanpa asa. Bahkan sampai sambungan telponnya terputus, Millie tak mengucap banyak hal selain terima kasih.

Bukan suara Millo yang didengar Millie dari sambungan telpon itu, tapi suara wanita yang katanya seorang perawat. Dan Millo sedang membutuhkan wali untuk segera dilakukan penanganan yang lebih intensif.

"Bang, bisa anterin aku?" Raut Millie tegang. Suaranya bergetar, pun juga hastanya. Anta terdiam, memberi ruang untuk Millie melanjutkan kalimat yang bergelayut di kerongkongannya.

"Millo kecelakaan, sekarang di rumah sakit." Netra Anta membola sementara Millie masih berdiri tegang di tempatnya.

"Tunggu bentar." Lalu, tergopoh-gopoh Anta beranjak dari sofa. Kakinya setengah berlari masuk ke dalam kamar, menyambar jaket dan kunci motornya.

Beberapa sekon berikutnya, Millie dan Anta sudah menyusur jalanan ibukota menyusul Adiknya. Menembus dinginnya malam selagi hati masih merapal doa agar Millo baik-baik saja.

Setibanya di rumah sakit, Millie berlari mencari bayangan Adiknya itu. "Kamu sehari aja gak bikin masalah, bisa gak sih, Dek?" Jujur saja, Millie geram. Bukan karena Millie merasa direpotkan, tapi karena Millie terlampau khawatir.

Millie tidak ingin Millo terlalu jahat pada dirinya sendiri. Millie tidak ingin Millo melukai dirinya sendiri.

"Aku ngantuk, Mbak. Gak sengaja nabrak," sahut Millo tak acuh.

"Kalo udah tau ngantuk itu jangan ngebut! Lagian kan udah Mbak bilang gak usah main keluar tadi."

"Mbak, kan udah aku bilang gak sengaja sih! Lagian cuma nongkrong sama temen di warkop, Mbak! Mbak pikir di rumah terus gak stress? Aku kangen Mama, Mbak! Iya kalo Mbak Millie, kerja, sibuk, gak mikir."

"Kamu pikir Mbak kerja buat siapa?!" Suara Millie meninggi.

"Aku gak pernah minta Mbak cari uang buat aku!"

Sial! Anta jadi miris sendiri mendengar perdebatan kakak-beradik ini. Lalu, agaknya penuturan Millo terlalu kasar di rungu Millie. Emosi Millie jadi meletup-letup di ubun-ubunnya.

Langit Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang