Danger!!
Super panjang. Actually, I wrote this as the Special Chapter. I don't think to wrote this one before, so it's really rushed up to make it done right on time. I tried to remember her a lot. So, I wish you would appreciate how hard I tried to tell you this story.
ㅡㅡㅡ
Kata orang, malam selalu jadi waktu paling tepat untuk membongkar semua kenangan. Hening dan dingin menjadi kombinasi paling tepat untuk jadi melankolis.
Lalu, tenggelam dalam nostalgia akan menjadi alasan paling tepat bagi Millo untuk lupa caranya beristirahat. Seperti hari yang sudah-sudah, laki-laki ini punya masalah susah tidur sejak Dena pergi.
Kepalanya jadi lebih sering merasakan pening dan sakit yang berdenyut tanpa ampun. Tak peduli seberapa banyak obat yang ditelannya, itu tidak mempan. Yang Millo tahu, menyibukkan diri ternyata lebih ampuh untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya ketimbang menelan obat.
Sebenarnya Millo hanya termangu di atas tempat tidurnya. Netranya mengedar pada tiap sudut kamarnya, menatap sosok Dena yang berjalan kian kemari membereskan barang-barang yang ia taruh sembarangan sambil mengomel, lalu Dena datang membawakan makanan untuknya yang sedang belajar, pun juga Dena yang sibuk memeriksa termometer dan memeras kain kompres sembari terduduk di sisi kasur.
Sungguh, bayangan itu masih terasa begitu nyata bagi Millo. Lalu, tanpa permisi. Sesak dan sakit kepala itu kembali menyerang kepalanya. Laki-laki itu bergegas meraih mineral di atas nakasnya dan meneguknya rakus. Ia menggeleng keras-keras mengusir semua bayangan Dena yang sempat meraja dalam otaknya itu.
"Gak bisa gini terus." Millo bergumam sendiri. Setelahnya, ia segera turun dari atas kasurnya. Lalu, ia mulai bergerak ke sana dan kemari. Mengeluarkan semua buku dari rak, menarik kasurnya ke sudut lain, pun juga memindahkan rak sepatu. Millo pikir, penataan perabotan yang lama terlalu menyakitkan untuk dilihat, semua sudutnya menyimpan perihal Dena. Jadi, Millo butuh suasana yang baru.
Millo begitu berhati-hati tiap kali harus menggeser perabotan besar. Setidaknya, ia tidak boleh menimbulkan suara yang terlampau keras. Biar bagaimana pun ini sudah malam, Millie dan Evan pasti sudah tidur.
Namun sia-sia saja, koper di atas lemarinya itu justru dengan tidak tahu dirinya terjun bebas ke lantai ketika Millo menarik lemarinya untuk digeser ke posisi yang baru. "Dek! Ada apa?" Millo lantas menyeringai saja ketika Millie menerobos masuk dalam kamarnya. Kamar Millie bersebelahan dengan Adiknya itu, pantas saja Millie langsung terbangun ketika suara debuman keras merayap dalam rungunya.
"Gak ada apa-apa, Mbak. Cuma mau ganti suasana." Millie mengedarkan netranya, menatap tiap sudut yang kini terlihat begitu berantakan.
Gadis ini lantas menghela. Ia menatap Millo yang masih menyeringai sungkan usai tak sengaja membangunkannya. "Mbak bantuin ya?" Sejatinya, Millie tahu, Millo hanya sedang berusaha keras melawan hancurnya. Dan Millie tidak ingin Millo berusaha sendirian.
Millo tersenyum, cerah. Seperti senyum yang sudah lama tak pernah Millie lihat. Laki-laki itu mendadak terlampau bersemangat untuk mendekorasi ulang kamarnya.
Lalu, sekon demi sekon mulai berkumpul mendatangkan jam-jam yang terlewati dengan selingan canda. Millie membantu Millo menggeser lemari, menata sprei kasur, lalu menata buku-buku kembali ke dalam rak.
"Aku ambil minum dulu, sama cari cemilan di dapur. Mbak mau juga?"
"Iya, boleh deh," sahut Millie yang masih sibuk dengan buku-buku dan rak di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Merah Jambu
General Fiction[Baca Senja Warna Biru dulu] Ini cerita tentang kamu. Orang terhebat yang mampu mengumpulkan setiap keping pecahan lukaku dan membentuknya menjadi semesta yang utuh. Orang terhebat yang melengkapkan aku. ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ Author : Gulaliloly G...