19 ; Kala Rupa

127 22 32
                                    

Note!!

Contain Javanese Language, I give the translation on the comment section.

ㅡㅡㅡ




























Pagi itu, kala surya masih baru saja terbangun dari lelapnya, Millie sudah sibuk sendiri di dapur. Uap panas dari atas wajan pun juga panci cukup untuk membuat Millie gerah. Ia lantas menarik seluruh surainya ke belakang kapala, lalu ia lilitkan asal pada sumpit, dan lalu menusukkan sumpit itu pada simpul surainya sendiri.

Setelah dua jam bergelut di dapur, Millie tersenyum sendiri melihat piring, sayur, dan beberapa lauk sudah tersaji rapi di atas meja makan. Niatnya, ia ingin mengadakan sarapan bersama keluarga yang cukup hangat sebagai ganti keinginan Millo yang belum terlaksana.

"Pa! Sarapan dulu, Pa! Millie abis masak sayur rebung." Gadis ini tersenyum manis kala melambai pada Evan yang baru saja keluar dari kamar dengan setelan kerjanya.

Sejenak, Evan melirik anaknya tajam dan berlalu begitu saja. Tidak ada jawaban. Agaknya sekali lagi Millie harus menelan kecewanya. Senyum cerahnya kini luntur berganti dengan mendung yang siap berlomba dengan kelabu di angkasa pada Sabtu Pagi ini.

Hingga bayangan Evan hilang melewati pintu depan, gadis ini hanya tercenung.

Sudah tiga hari, dan hubungan Millie dan Evan tak kunjung membaik. Masih kaku, masih tegang, masih dingin. Demi apapun, Millie ingin memperbaikinya. Tapi, Millie tidak tahu bagaimana cara memperbaiki hubungan yang baik dan benar dengan sang Ayah. Millie terlalu takut untuk bicara, dan Evan terlalu keras untuk melunak.

"Mbak! Ayo sarapan." Millie mengerjap kala tetiba Millo menepuk pundaknya.

Tanpa bicara lebih lanjut, Millo sudah beranjak mendahului Millie ke meja makan. Jujur saja, Millie tersenyum samar melihat sosok Millo yang begitu tangguh untuk berdiri di atas keretakan pijakannya.

Hening adalah satu-satunya hal yang menemani sarapan mereka pagi itu. Entah karena memang tidak ada hal yang ingin diperbincangkan, atau justru karena terlalu banyak perkara yang berputar dalam kepala masing-masing. Terlalu penuh, terlalu sesak, hingga tidak tahu bagaimana cara mengurainya.

Dalam keadaan seperti ini, entah kenapa jadi lebih mudah untuk berdiam ketimbang harus berkeluh.

"Mbak." Ada jeda dalam kalimat Millo. Ia lalu menatap Millie yang mulai menghentikan gerak sendoknya. "Jangan dipikirin. Papa emang gitu. Nanti juga baik-baik sendiri," tukasnya.

Kalau boleh jujur, Millie jadi makin merasa bersalah pada Adiknya itu. Bagaimana tidak? Bukan seperti ini suasana keluarga yang ingin dihantarkannya untuk Millo untuk hari ulang tahunnya, meski pun sudah lewat beberapa hari yang lalu.

"Gak apa-apa, Mbak. Kan kita masih bisa makan berdua." Laki-laki itu terkekeh di akhir kalimatnya sementara Millie hanya melengos kecut.

"Ya kalo makan sama Mbak tiap hari juga makan sama Mbak, Dek," tukas Millie.

"Ya dari pada makan sendirian kan?" Kali ini Millie melengos sebal. Kalau sudah begini, Millie tahu, Adiknya itu sudah baik-baik saja.

"Makan nih, makan semuanya! Awas ya udah susah-susah dimasakin malah beli makan di luar!" Millie lalu menuangkan banyak sayur lagi ke atas piring Millo.

Adiknya itu terbahak, "Iya, iya, udah, Mbak! Kebanyakan ini!" Lalu, keduanya terbahak. Menciptakan hangat dalam dingin.

Pagi itu, mentari masih belum berani keluar dari balik kelabu. Semestanya masih membiru. Namun, Millie mulai menyadari satu hal kala menatap bahu Millo yang masih berdiri kokoh walau diterjang badai.

Langit Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang