18 ; Derai

121 21 32
                                    

Danger!!

(masih) sakit.

ㅡㅡㅡ


























Angkasa masih gemar sekali bergaul dengan sang mega. Rintiknya berderai membentuk buliran-buliran yang bergelayutan di jendela kamar Millie. Mentari jadi takut, ia tidak punya cukup nyali untuk menampakkan rupanya sore itu.

Tidak ada kemilau, tidak ada pendar kuning, hanya gelap yang menguapkan aroma petrikor. Menambah basah pada pipi ayu sang gadis yang masih betah termangu.

"Mbak." Lalu, suara alus sang Adik menyerang hening. Millie lantas tergopoh mengusap saksi pilu di pipinya.

Millo mendekat, mengambil duduk di sebelah Millie. Laki-laki itu lalu turut menghela, "There's no family dinner I guess," tukasnya.

"Maaf ya, Dek."

"Bukan salah Mbak. Kita semua salah." Lalu hening. Baik Millie pun juga Millo sibuk sendiri dengan sakitnya. Berdiam menatap rinai selagi karsanya berdialog dengan semesta, mendengar suara sang bayu yang bertutur alus dalam tiap embusannya.

Maunya apa? Harus bagaimana? Setelah ini, apa lagi? Setidaknya begitu yang sedari tadi berputar-putar dalam kepala Millie.

"Mau makan apa, Mbak? Udah mau makan malem ini. Aku cariin ke luar aja," tanya Millo kemudian.

Millie lalu beranjak, kakinya melangkah ke arah kasur dan lalu menyambar dompet yang digeletakkan asal di sana. "Apa aja yang bisa dimakan," sahut Millie selagi menyodorkan satu lembar uang berwarna biru.

"Pecel ya?" Millie mengangguk, Millo lantas bergegas keluar dari ruang pribadi Kakaknya itu.

Lalu, si gadis memutuskan untuk kembali termangu. Hanya saja, kini di atas kasurnya. Sejenak, ia merebahkan punggungnya. Netranya menatap langit-langit kosong kamarnya, hingga tanpa sadar, air hangatnya meleleh, lagi.

Beberapa saat kemudian, suara ketukan di pintu depan membuat Millie meninggalkan kamarnya. Selagi kakinya melangkah, Millie sekali lagi mengusap pipinya, sekadar memastikan ia tidak akan terlihat begitu memprihatinkan.

Payung abu-abu yang masih terbuka dan digeletakkan di teras adalah hal pertama yang menyita perhatian Millie saat ia menengok keluar dari jendela depan rumahnya.

Ia lantas menarik napas panjang. Ia harus terlihat baik-baik saja, setidaknya begitu yakinnya.

"Kenapa, Bang?" sapanya usai menarik pintu terbuka, menampilkan sosok Wonanta Satryadinaga dengan kaus putih dan celana pendek selutut. Ada basah di ujung-ujung surainya.

"Mau ngasih ini. Mama masak rawon banyak." Anta lantas menyodorkan rantang yang masih terasa hangat saat diterima Millie.

"Yah, Millo baru aja ke pasar beli pecel buat makan, Bang."

"Ya gak apa-apa. Kan bisa dipanasin, disimpen buat sarapan besok."

Millie hanya mengangguk samar. Selebihnya, keduanya terdiam. Millie sibuk tertunduk, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Anta. Dan gelagat gadis itu justru membuat Anta memicing heran.

"Mil?"

"Hhm?" Millie menyahut, tapi masih enggan mendongak.

"You know you can tell me." Anta menatap gadis itu lamat-lamat.

Millie berkilah, ia menggeleng cepat dan tertawa. "Apa yang mesti diceritain?"

Millie masih memasang senyum palsunya selagi Anta masih menatapnya. Tak kunjung mendapat jawab setelah beberapa sekon, Anta menghela. "I know you've cried."

Langit Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang