22 ; Luka

134 13 1
                                    

Note!!

Kuat ya :))

ㅡㅡㅡ


















Seingat Anta, ia sudah sering melewati malam-malam yang dingin. Anta sudah sering melihat Millie membatu. Anta sudah sering melihat Millie menangis. Dan Anta ingat, Millie yang berdiam di sudut kamarnya saat ini adalah Millie yang hidup tetapi tak hidup.

Sama seperti musim-musim kala pertama Dena pergi.

Sudah seminggu berlalu setelah Anta, Millie, dan Millo kembali ke Jakarta. Dan gadis itu hanya diam di dalam kamar sejak hari itu. Ia bungkam, netranya sering kali terlihat kosong dan sesekali meneteskan linangan hangat.

Anta bahkan tidak tahu apa gadis itu menyempatkan diri untuk terlelap. Karena yang Anta tahu, gadis itu selalu termangu di sana, di atas kasurnya.

Entah sudah berapa kali Anta mencoba mengajaknya bicara, namun tidak ada sahutan. Tetap hening, seolah Anta tidak pernah ada di sana.

Dan malam itu, Anta menghela panjang usai menilik kondisi gadis itu. Inginnya bertanya, ada apa? Apa yang sedang mengusik pikiran gadis itu? Atau lebih dalamnya, apa yang terjadi di antara Millie dan Evan?

Anta meragu, takut-takut gadis itu akan menggila setiap kali ditanya, seperti yang sudah-sudah. Tapi, jika terus begini, Anta pun mati kutu. Ia ingin membantu, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Masih gak mau cerita?" tanyanya lesu di hadapan gadis itu.

Yang ditanya hanya diam memeluk lututnya. "Millie, kalo kamu kayak gini terus aku gak bisa bantu kamu." Penuturan laki-laki itu hangat, tetapi tidak cukup hangat untuk menghidupkan jiwa yang sudah kaku di dalam sana.

Lagi, laki-laki itu menghela. Hastanya terulur mengusap puncak kepala gadis itu, "Kamu ada masalah apa sama Papa?" ucapnya hati-hati.

Dan kala itu juga, napas Millie mulai tak beraturan, tersengal dan putus-putus. Isak tangisnya mulai terdengar. Kedua tangannya mulai gemetar selagi meremat selimut. Air matanya deras.

Tak ayal, Anta jadi panik. Demi apapun, Anta tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang Anta tahu, ada yang tidak beres di antara Millie dan Evan. Ada keretakan. Ada kehancuran yang meremukkan gadis itu. Terlampau remuk sampai Millie tak kuasa untuk bersuara.

Lalu, gadis itu mulai mengerang, tangannya mulai menarik surainya sendiri dengan liar. Anta lantas cepat menahan kedua tangan gadis itu, merengkuhnya. Membiarkan gadis itu menangis, meraung, dan berteriak sejadi-jadinya dalam dekapnya. Seperti yang sudah-sudah.

"Sakit, Bang. Sakit," eluhnya lirih.

"Iya, sakit kenapa? Apanya yang sakit?" Demi apapun, Anta bohong kalau ia berkata ia tidak panik. Gadis itu meraung-raung dalam dekapnya sambil masih terus berusaha menarik surainya sendiri walau terus dihalau Anta. "Millie. Kenapa? Apanya yang sakit?"

"Kepalaku sakit banget, Bang."

"Millo!! Dek!! Sini cepetan!!" Sudahlah, Anta tak kuasa menangani Millie sendirian. Jadi ia memutuskan untuk memanggil Millo.

Adik laki-laki Millie itu berlari tunggang langgang masuk ke dalam kamar Kakaknya. "Mbak kenapa lagi, Bang?" tanyanya cepat.

"Gini lagi, Dek. Ambilin obat sakit kepala coba," titah Anta cepat.

Jujur, Anta tidak mau seperti ini. Anta tidak mau membuat Millie jadi ketergantungan dengan bahan-bahan kimia itu. Anta tidak mau membuat tubuh gadis itu rusak juga menyusul jiwanya yang sudah rusak.

Tapi, selalu begini. Millie akan gemetar, mengerang, dan mengeluh kesakitan tiap kali Anta berusaha mengorek hatinya. Dan Anta tidak punya pilihan selain memberikan obat sakit kepala pada gadis itu. Anta tidak cukup tega untuk membiarkan Millie merintih kesakitan berjam-jam sampai terlampau lelah untuk bersuara dan lantas tertidur, seperti yang sudah pernah ia lihat beberapa hari yang lalu.

Dan malam itu, Millie terlelap usai menenggak tablet putih dan sedikit memakan roti atas paksaan Anta. Diam-diam, Anta hanya menatap gadis dengan surai berantakan yang tengah terlelap itu.

Anta lantas mengusap wajahnya kasar. Ia kalut.

Untuk pertama kali dalam sepanjang usianya, ia merasa tidak mampu mengatasi Millie sendirian. Ia merasa dikalahkan oleh tablet-tablet kimia yang dua hari ini rutin dikonsumsi Millie.

"Sebenernya ada apa sih, Dek, waktu di Surabaya?"

Millo menggeleng, hastanya jadi sibuk mengusap-usap tengkuknya. Bukan untuk mengusir gelisahnya, tapi untuk mengobrak-abrik isi kepalanya. Barangkali saja ada pecahan ingatan yang terabaikan olehnya selama ini. Namun, semakin ia mengingat, semakin ia bertemu dengan jalan buntu. "Aku pikir Mbak sama Papa udah baikan loh, Bang. Waktu Mbak Millie sakit itu."

Anta terdiam. Cukup lama. Rautnya tenang, tapi siapa yang tahu, kepalanya sedang berusaha keras mengumpulkan pertanda-pertanda yang mungkin mampu membawanya pada suatu titik terang.

Dan lalu, "Waktu berdua, kamu tau gak Papa sama Millie ngobrolin apa?"

Yang ditanya hanya diam. Sudah tidak tahu lagi harus memberi jawab apa, karena memang Millo tidak bersama dengan mereka pada saat itu. Anta jadi menghela panjang, ia kacau.

Senyap lantas jadi lebih tahu caranya mempermainkan perasaan Anta. Senyap itu bertiup lembut, terlampau lembut hingga lebih dari cukup untuk membuat Anta merasa tidak berguna. Detik terus berjalan, dan senyap berkata Anta tidak menemukan apapun. Senyap berkata, Anta membiarkan sang waktu terbuang sia-sia.

Di sisinya, Millo kemudian merebahkan diri di sisi Millie. Netranya terpejam, tapi isi kepalanya masih rajin mengurut setiap rentengan kejadian kala itu.

Hingga ia sampai pada satu titik, "Sebenernya ada yang ganggu pikiranku banget sih, Bang," tukas Millo.

Kini Anta yang tidak menjawab, tapi atensinya tertuju penuh pada seorang bocah laki-laki yang tengah terpejam gelisah itu. Beberapa sekon kemudian, Millo menoleh, menatap Anta yang diam menantikannya. "Waktu Mbah Ti ke rumah, Mbah Ti bilang ke Mbak Millie. Papa suka keinget sama Mama kalo liat Mbak Millie," tuturnya sejelas mungkin.

Millo memberi jeda dan lantas terduduk. Lalu, mengambil napas sebanyak yang ia bisa kala melihat Kakaknya sebelum netranya kembali beradu dengan sorot Anta yang menajam. "Abis itu Mbak Millie sakit."

Kala itu juga, Anta menegang. Dari sekian kemungkinan yang ia pikirkan, jujur saja, Anta tidak pernah sampai pada kesimpulan ini.

Dari sekian asa yang berusaha ia kumpulkan, Anta tidak pernah tahu bahwa asa itu sudah tidak ada sejak awalnya.

Dari sekian lama waktu yang ia habiskan untuk mengenal seorang Millie Juanita Charliven, Anta tidak pernah melihat kala gadis itu tengah membenci dirinya sendiri. Anta tidak pernah melihat Millie memusuhi dirinya sendiri. Anta tidak pernah melihat Millie begitu ingin menghancurkan dirinya sendiri.

Dan saat ini, di depan matanya. Ia melihatnya. Raga tanpa jiwa. Hidup tanpa makna. Hanya luka, luka yang terlampau besar sampai Anta hampir saja tidak bisa melihatnya.

Lalu, dari sekian frasa yang pernah dipelajarinya sejak lahir, Anta hanya mampu berucap, "Sialan."

TBC.
























ㅡㅡㅡ

Semangat ya!
Kamu akan baik-baik saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langit Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang