Fiza menghela napas. Dia mengurungkan niatnya untuk menjalankan misi menakut-nakuti Raiga karena pekerjaan yang dia dapatkan semakin banyak.
"Lo kenapa, Za? Bosen kerja?" tanya Mbak Mila yang bersandar di dinding kubikel Fiza.
Fiza mendongak dan menggeleng cepat. "Enggak. Mana mungkin bosen kerja, kalau gue bosen kerja, gue enggak bisa makan dong," katanya bergurau.
Tiba-tiba sebuah ponsel yang menampakkan wanita berkerudung hitam berada di hadapan Fiza. Dia memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat orang yang melakukan itu.
Fiza langsung mengangkat kedua alisnya saat melihat Mas Gavin yang tersenyum mencurigakan. "Apaan sih, Mas? Mencurigakan banget," katanya kesal.
Mbak Mila yang masih nangkring di kubikelnya menyambar ponsel Mas Gavin karena penasaran. Senior perempuannya itu mengangguk-angguk mengerti ketika mengamati ponsel Mas Gavin.
"Lo juga Mbak, kenapa lihat ponsel Mas Gavin serius banget?" tanyanya heran.
Bukannya menjawab Mas Gavin malah merebut ponsel miliknya dari tangan Mbak Mila lalu menggoyang-goyangkan benda pipih itu. Fiza menatap ponsel itu, lalu menatap Mas Gavin dan Mbak Mila, sungguh dia tak mengerti maksud dari tingkah dua seniornya yang mengganggu pekerjaannya.
Mas Gavin berdehem keras. "Gini, tadi kan gue bilang, mau gue cariin cewek buat lo, dan gue minta bantuan istri gue. Katanya sepupu dia jomlo tuh. Nih, lihat fotonya," jelas Mas Gavin lalu menyodorkan ponselnya ke wajah Fiza.
Ponsel yang disodorkan ke wajah Fiza membuat dia merasa kesal, alhasil dengan terpaksa dia mengambil ponsel yang cahayanya menyilaukan mata itu. Dia menatap foto wanita cantik dengan hidung mancung dan kulit putih dari ponsel mas Gavin. Sayangnya, dia benar-benar tidak tertarik dengan perempuan untuk saat ini. Tentu saja dia normal, tetapi dia tak ingin berpacaran untuk saat ini.
"Namanya Selena. Dia seumuran sama lo deh. Kalo enggak salah dia juga kuliah di Bandung waktu S1," jelas Mas Gavin yang membuat Fiza mengangguk-angguk.
"Thanks Mas, udah mau cariin jodoh buat gue, tapi buat sekarang mending lo balik ke kubikel deh, kerja yang rajin," kata Fiza yang menampakkan giginya.
Mas Gavin mendengus lalu berbalik. "Gue kirim fotonya ke lo, ya, Za."
Fiza tak menanggapi perkataan Mas Gavin, dia memilih kembali fokus bekerja. Yang dia tahu, notifikasi ponselnya terdengar.
"Pemilihan kantor konsultan nomor satu katanya bentar lagi, ya," celetuk Mas Faris.
"Hooh, katanya sih gitu. Nanti dibahas bos pas rapat kali," sahut Mbak Tika.
Seketika Fiza tertarik dengan obrolan seniornya itu. "Tahun kemarin yang jadi kantor konsultan nomor satu siapa?" tanyanya menghentikan ketikannya pada keyboard.
Mbak Mila menatapnya. "Itu loh, Za, Ankara Company. Lo tahu perusahaan itu kan?"
Fiza mengangguk-angguk. Jelas dia tahu perusahaan itu, perusahaan yang akan diwariskan kepada pembunuh.
"Tahun kemarin kita nomor berapa? Dua, ya?" tanya Fiza yang mencoba mengingat kembali memorinya tentang tahun kemarin.
Para seniornya mengangguk. Lalu Mas Faris berkata, "Kayaknya tahun sekarang si bos bakalan minta kita kerja lebih keras deh. Udah empat tahun kita di posisi dua terus."
"Siap-siap pasang kuda-kuda dari sekarang," sahut Mbak Tika.
Fiza mengangguk setuju lalu menatap jam di pergelangan tangannya. "Ngobrolnya udahan. Bentar lagi rapat," katanya lalu bangkit dan mengajak para seniornya ke ruang rapat.
"Apa kan kata gue juga. Si bos minta kita kerja kayak kuda," kata Mas Faris setelah keluar dari ruang rapat.
"Selamat bekerja rodi, Mas," kata Fiza sambil menepuk-nepuk bahu seniornya itu.
Fiza melirik Mbak Tika yang tiba-tiba terkekeh. "Kenapa lo Mbak? Sehat?"
"Heh, justru lo yang paling junior yang bakalan kerja rodi," katanya yang langsung disetujui senior lain.
Fiza mengangguk-angguk. Dia sudah siap jiwa raga untuk membantu kerjaan para seniornya. Setidaknya, sebelum dia benar-benar turun untuk memperkenalkan diri pada Raiga, lelaki itu harus berusaha bekerja dengan keras di kantornya. Untuk membuktikan bahwa dia bekerja di kantor konsultan nomor satu dan mengalahkan perusahaan ayahnya pembunuh itu.
Melihat Fiza diam, Mas Gavin menepuk pundaknya. "Yang sabar, ya, Za. Nasib anak muda yang jomlo dari lahir kan gini," katanya lalu berjalan ke kubikelnya sendiri.
"Coba aja kalau lo punya pacar terus kasih kita alasan mau dinner, pasti kerjaan lo enggak banyak-banyak amat," kata Mbak Mila.
Mendengar itu Fiza mengangguk lalu tersenyum. "Ya sudah, kalau gitu, malam ini gue mau dinner sama doi, tolong diizinin ya, wahai senior yang budiman."
Mengatakan itu dia malah banjir bentakan dari para seniornya yang ingin hari ini pulang cepat. "Makanya jangan bahas pacar lagi, dong, bosen banget gue," katanya terkekeh.
Para seniornya pura-pura tidak mendengar dan langsung mengalihkan obrolan. Lelaki itu geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil.
Ketika sampai di halaman rumahnya, Fiza melihat mobil Raiga yang terparkir. Dia tidak memungkinkan untuk masuk ke rumah karena dia tak mau bertemu Raiga.
Lantas sebuah ide terpikir olehnya saat melihat Raiga kaget karena melihat seekor kucing hitam milik tetangga Fiza. Ia memamerkan giginya yang rapi karena merasa tak percaya. Dia lalu menyimpulkan bahwa Raiga penakut.
Lelaki itu tersenyum miring lalu memutar arah tujuannya. Dia harus pergi ke rumah lamanya yang ada di Bandung jika rencananya ingin berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Teen FictionAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...