12. Persiapan

29 8 8
                                    

"Za, lo yang takut-takutin Raiga sama boneka santet, ya?"

Fiza begitu kaget ketika membuka pintu rumahnya dan langsung ditanyai oleh Zeta. Lelaki itu mengangkat kedua alisnya sambil menutup pintu.

Dia hendak melangkah menuju kamarnya, tetapi dihadang oleh Zeta. "Za, jawab dulu pertanyaan gue!" pintanya.

Fiza hanya menanggapi dengan gumaman. "Minggir! Gue capek, mau istirahat," katanya dingin.

"Jadi beneran lo yang kirim boneka santet itu, Za?" Zeta masih menanyakan hal yang sama. Membuat Fiza memutar bola mata malas.

Lelaki itu menatap Zeta, berharap adiknya segera bergeser supaya tak menghadang langkahnya. "Kalau bukan gue siapa lagi emang?"

"Banyak yang enggak suka Raiga, Za."

Fiza mengangguk-angguk. "Dia banyak yang benci juga, ya?"

Zeta bersedekap. Matanya seakan menantang Fiza. "Raiga kacau banget tadi, Za. Lo yang terparah diantara musuh Raiga."

"Ya, itu bukan urusan gue." Fiza memicing sebentar lalu berkata, "Gue rasa ada banyak orang yang benci si Raiga daripada gue."

Zeta seketika bergeser. Dengan spontan Fiza melangkah menuju kamarnya.

"Lo keterlaluan, Za."

Ucapan Zeta berhasil menghentikan langkahnya. Lelaki itu seketika mematung lalu menatap adiknya sengit.

"Lo bilang gue keterlaluan?" Kilatan amarah terpancar dari mata lelaki itu. "Yang keterlaluan itu Raiga, Ta. Dia udah bunuh kembaran kita gara-gara cemburu!" geramnya.

Zeta balas menatap mata Fiza. "Raiga enggak sengaja, Za. Enggak sengaja," jelasnya dengan penekanan di setiap kalimat.

Fiza menatap Zeta murka. Dia kemudian memalingkan wajahnya dengan cepat lalu bergegas menuju kamarnya sambil membanting pintu.

Zeta terlonjak kaget mendengar suara itu. Dia lalu terdiam lama. Merenungkan apa yang barusan dia lakukan pada Fiza.

Fiza yang berada di balik pintu mengatur napasnya. Dia hampir tak bisa mengendalikan emosi kalau-kalau tak ingat pesan ayahnya yang menyuruh dia menjaga adiknya.

Baru kali ini dirinya dan Zeta hampir adu mulut hebat. Ia bahkan tak menyangka adiknya membela pembunuh kakak kembarnya sendiri. Lelaki itu tak habis pikir dengan jalan pikiran Zeta.

Fiza menjadi bertanya-tanya siapa kakak yang paling disayangi Zeta. Dirinya, sebagai kakak kembar pertama, atau mendiang Vian sebagai kakak kembar keduanya.

Tak mau berlarut-larut menebak isi pikiran adiknya, Fiza langsung meletakkan tasnya di meja kerja lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Adu mulut di hari Jumat malam setelah bergelung dengan pekerjaan yang menumpuk ternyata benar-benar membuatnya lelah. Sampai-sampai ia ingin memasukkan kepalanya ke dalam lemari pendingin.

Weekend yang membosankan bagi Fiza akhirnya berakhir. Dia menyambut hari Senin dengan begitu banyak harapan. Apalagi hari ini sangat ditunggu-tunggu lelaki itu karena akan ada pengumuman spesial.

Fiza tersenyum kecil setalah kembalinya dari ruang rapat. Usahanya tak sia-sia. Lelaki itu siap menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya pada Raiga.

"Mentang-mentang kantor kita ngalahin kantor sebelah, si Fiza seneng banget," mata Mbak Mila.

"Seneng kali gara-gara dipuji kerjanya extra miles." Mbak Tika ikut-ikutan bersuara.

"Besok-besok kayaknya di-promote, ya, Za." Fiza tertawa mendengar perkataan Mas Faris, sekaligus dalam hati ia mengharapkan hal itu terjadi.

"Harap-harap sih gitu," katanya di sela-sela tawa sambil berjalan ke kubikel.

"Si Fiza patut dikasih penghargaan, loh." Fiza menatap Mas Gavin ragu.

"Penghargaan apa coba? Enggak perlu kali."

"Penghargaan si bontot yang bersinar kayaknya." Gelak tawa langsung terdengar di antara senior-seniornya.

Fiza hanya tersenyum kecil. Pikirannya memikirkan hal lain.

Salah satu tujuannya kini tercapai, yaitu menjadikan kantor tempatnya bekerja mengalahkan perusahaan ayahnya Raiga. Ia menatap monitor dengan serius. Pembalasan yang sesungguhnya baru dimulai sekarang.

Bagaimana pun juga, dia harus siap untuk membalaskan kebenciannya. Tubuhnya yang jarang olahraga itu harus mampu dibawa bekerja bagai kuda tiada henti.

Dia tahu betul, siapa lawannya. Ia juga tahu, siapa dirinya. Maka, melebihi Raiga dalam berbagai hal bukan hak yang mudah untuk dilakukan.

"Za, ayo maksi di luar," ajak Mbak Tika.

Fiza tak mendongak dari layar di hadapannya sedikit pun. Dia enggan beristirahat karena merasa masih kenyang ditambah pekerjaannya masih jauh dari kata selesai.

"Lo duluan saja Mbak. Gue masih kenyang kok. Apalagi kerjaan belum beres," jelasnya.

Lawan bicara Fiza menghela napas. "Sekarang waktunya makan siang, Za, bukan kerja."

"Tahu, Mbak. Lo kalau mau makan sana saja duluan. Nanti ditinggal yang lain," ujar Fiza yang masih fokus menatap layar monitor.

Mbak Tika mengangguk. Ia tahu, akan percuma untuk mengajak Fiza yang memiliki sifat keras kepala. Juniornya itu tak akan bisa diganggu jika tengah mengerjakan hal yang dia suka.

Kadang-kadang, kebiasaan gila kerja Fiza membuat para seniornya khawatir. Orang-orang seperti itu tak akan bisa menjalankan hidup dengan tenang karena selalu ingin bekerja lebih meski sudah hidup berkecukupan.

Para seniornya tak tahu pasti apa yang ingin Fiza raih. Yang mereka tahu hanyalah Fiza bekerja keras untuk membuktikan dirinya pada seseorang. Sebagai senior mereka hanya bisa mendukung Fiza.

Sekembalinya para senior dari makan siang di luar, Fiza masih belum mengisi perutnya. Dia hanya beranjak untuk membuat kopi di pantry, dan setelah itu dia kembali bekerja.

"Za," panggil Mbak Mila.

Dengan terpaksa, Fiza mendongak. "Kenapa?"

"Lo punya adik, Za?" tanyanya tiba-tiba.

"Iya, punya. Kenapa?"

"Gue tadi lihat cewek yang mirip lo. Terus gue inget kalau lo itu punya adik kembar, ya."

Fiza mengangguk sambil memberitahu kalau dia memiliki adik perempuan yang mirip dengannya.

Tak lama dari itu Mbak Mila meminta foto Zeta dari ponselnya. Tanpa tahu apa tujuan Mbak Mila, Fiza menyerahkan ponselnya.

"Ini beneran adik lo?" tanya Mbak Mila memastikan.

Fiza mengangguk dan lelaki itu melihat Mbak Mila memperlihatkan ponselnya ke senior yang lain.

"Kenapa si Mbak? Siniin lagi ponsel gue," pintanya tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaan.

"Tadi kita lihat orang ini loh, Za. Sama cowok, banyakan pula," kata Mbak Mila yang membuat jari-jari Fiza berhenti menyentuh keyboard.

Altamura ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang