Setelah satu hari dirawat di rumah sakit, Fiza memutuskan untuk pulang. Dia harus bekerja. Rasanya berada di rumah sakit meski sambil bekerja membuatnya bosan.
Dia suka mengerjakan pekerjaan sendiri, tetapi dia juga rindu ocehan para seniornya yang membahas segala hal. Minimal jika dirinya berada di kantor, dia bisa mendengar gosip apapun dari seniornya. Dia juga bisa dengan mudah menambah pekerjaan.
"Sehat, Za?" Mas Faris menyambutnya dengan pertanyaan.
Lelaki yang ditanya itu mengangguk singkat. "Alhamdulillah. Seperti yang lo lihat, Mas." Fiza langsung menyimpan tasnya lalu bersandar ke kubikelnya.
"Tumben lo enggak Starbucks?" Mas Faris bertanya sambil terkekeh.
Fiza tersenyum miring. Dia menatap Mas Faris kesal. Seniornya itu malah mengingatkan dirinya kalau dia tak membawa kopi. Minuman yang saat ini ingin dia hindari. "Lo jangan gitu deh, Mas. Gue sengaja enggak beli kopi. Gue takut pingsan di kantor tahu," jelasnya yang malah membuat Mas Faris tertawa keras.
"Lo ...." Mas Faris sekuat tenaga menahan tawanya. "Lo bisa pingsan juga?"
"Ya, bisalah."
Percakapan berlanjut. Mas Faris bertanya lebih jauh bagaimana juniornya itu bisa sakit sampai perlu dirawat. Berhubung tahun kemarin Fiza tak jatuh sakit meski diberi pekerjaan yang mengharuskannya tidur sebentar karena perlu pulang dini hari dan kembali ke kantor lebih pagi.
"Mentang-mentang masih muda jangan terlalu dipaksain, Za." Mas Faris, selaku seniornya yang paling kalem diantara yang lain memberi nasihat. "Lo kudu sering-sering olahraga. Harusnya pas weekend lo lebih banyak habisin waktu buat diri lo sendiri, bukan malah urusin kerjaan yang udah beres."
Akhir pekan, Fiza lebih asyik mengecek pekerjaan yang telah selesai sebelum dikirim ke klien. Dia kadang merapikan folder-folder pekerjaan. Fiza sendiri tak tahu kapan terakhir dia olahraga. Pergi ke tempat gym saja sepertinya dia tidak pernah. Paling-paling lelaki itu pergi berenang jika ada yang mengajak, itu pun waktu kuliah.
"Lo kapan terakhir olahraga?" tanya Mas Faris yang membuatnya membisu.
Fiza menggeleng pelan. "Enggak tahu. Kayaknya waktu kuliah deh."
Mas Faris melongo tak percaya. "Seriusan? Tapi perut lo kok enggak buncit, ya?"
"Enggak kelihatan kali," katanya sambil tertawa kecil. "Keseringan stres kali, makanya gue enggak buncit."
"Anak muda mikirin apaan emang?"
"Mikirin cewek kali, kan si Fiza jomlo."
Kedua orang yang tengah berbincang itu menatap pada sosok yang baru datang. Mas Gavin yang hobi banget membahas cewek pada Fiza itu tersenyum penuh arti. Fiza berusaha menebak isi pikiran seniornya itu, tetapi tak membuahkan hasil. Dia hanya beranggapan kalau Mas Gavin akan membahas keponakan istrinya lagi padanya.
"Enak saja, ya." Sejenak Fiza tak melanjutkan perkataannya. Perkataan Mas Gavin ada benarnya!
"Eh, tapi kayaknya bener, deh," ujar Fiza yang tiba-tiba ditatap tak percaya oleh Mas Faris. Berbanding terbalik dengan Mas Gavin yang merasa tebakannya benar.
"Lo pikirin siapa, Za?" tanya Mas Faris. Seniornya yang satu itu jarang ingin tahu masalah pribadi koleganya, tetapi entah kenapa hari ini dia terkesan ingin tahu.
"Adik gue. Siapa lagi memangnya?"
Mas Faris terbahak melihat ekspresi Mas Gavin yang berubah kesal. Dia menepuk-nepuk pundak Mas Gavin sambil berusaha menahan tawa. "Besok-besok jangan bahas cewek lagi sama si Fiza, ya!" titahnya yang kembali terbahak melihat sorot mata kesal Mas Gavin.
Mas Gavin memilih mengabaikan Mas Faris lalu berjalan ke kubikelnya. Dia mengambil camilan sambil mengamati Fiza dan Mas Faris yang masing-masing bersandar pada kubikel.
"Suara kalian kedengaran sampai keluar, loh. Gue saja langsung bisa masuk obrolan," kata Mas Gavin tiba-tiba.
Fiza saling pandang dengan Mas Faris. Dia merasa diantara keduanya tak ada yang memiliki suara keras. "Lo saja kali Mas pendengarannya terlalu tajam," sanggah Fiza.
"Iya deh, terserah lo."
Tiga orang itu berhenti bicara. Hanya terdengar suara kunyahan Mas Gavin yang tengah memakan keripik. Lalu tak lama dari itu terdengar dua perempuan yang tengah berbincang mendekat.
Dua senior perempuan Fiza mendekat. Mereka sedikit terkejut mendapati Fiza telah berada di kantor dan bukan di rumah sakit.
"Lo sudah sembuh, Za?" Mbak Mila langsung mengeluarkan pertanyaannya.
Fiza mengangguk yakin. "Gue rasa sudah. Kenapa? Lo kangen gue, ya, Mbak?"
Tanpa ragu Mbak Mila mengangguk. "Iya! Gue malah senang banget lo sudah kerja lagi. Hari ini gue mau pulang cepat, jadi bersyukur banget karena ada lo yang bisa handle kerjaan gue."
Percakapan tak berlanjut karena Mbak Tika memberitahukan bos datang. Semua orang yang tengah berkumpul itu bergerak cepat ke tempatnya masing-masing.
Pak bos menanyai Fiza apakah anak buahnya yang paling suka bekerja itu baik-baik saja atau tidak, lalu melangkah ke ruangannya setelah meminta bekerja dengan sungguh-sungguh pada anak buahnya.
Siang menyapa dengan cepat. Fiza mendapat email untuk melanjutkan pekerjaan Mbak Mila. Seniornya itu akan cuti setengah hari karena katanya hendak pergi shopping.
"Mentang-mentang suaminya yang jarang balik baru pulang sekarang, bawaannya mau shopping mulu," cibir Mas Gavin.
"Serah gue kali!" kata Mbak Mila cepat.
"Sekalian kita juga maksi!" ajak Mbak Tika.
"Gue berasa pengen yang pedas-pedas," kata Fiza tiba-tiba. "Kalian makan duluan saja. Gue pengen rujak berkaret dua."
"Lo baru sembuh, Za." Mbak Mila mengingatkan.
"Enggak masalah," katanya santai.
Karena disarankan-lebih tepatnya dipaksa-makan terlebih dahulu sebelum membeli rujak oleh para seniornya, Fiza menurut. Dia akhirnya mengikuti seniornya ke restoran terdekat. Minus Mbak Mila yang ternyata sudah ditunggu suaminya di parkiran.
Entah kenapa hari ini Fiza ingin sekali rujak. Rasanya dia ingin makan makanan super pedas. Jadi selepas makan siang, dia langsung pamit pada seniornya untuk membeli rujak.
Sambil menunggu rujak pesanannya, Fiza mengecek ponsel. Dia mendapati Mbak Mila yang mengirim foto.
Fiza langsung membuka chat dari Mbak Mila, dan mengamati foto kiriman seniornya yang langsung terunduh. Mbak Mila mengirim foto punggung seorang perempuan yang telah melihat-lihat tas bermerek. Punggung itu tak asing di mata Fiza.
Perkiraannya diperkuat dengan sebuah pesan dari Mbak Mila.
Adik lo yang kata gue juga high class lagi lihat-lihat tas bermerk. Bener kan itu adik lo? Soalnya agak mirip.
Fiza tertegun. Adiknya bukan orang yang termasuk golongan kelas atas. Bahkan Fiza ragu jika gaji Zeta bisa membeli beberapa barang-barang mahal seperti produk yang diluncurkan Chanel.
Mbak Mila kembali mengirim foto dengan wajah Zeta yang tampak jelas. Fiza baru tersadar kalau jam makan siang hampir habis. Harusnya Zeta tengah makan siang dan dirinya juga harus segera kembali ke kantor.Fiza tak langsung membalas chat dari Mbak Mila karena rujak yang dipesannya telah selesai. Dia lalu membayar dan pergi sambil mengamati ponsel.
Dia pergi sama siapa Mbak?
Kayaknya sendirian, Za.
Fiza berusaha keras untuk berpikir positif tentang adiknya. Dia sangat berharap agar Zeta pergi berbelanja sendiri tanpa Raiga. Jika adiknya pergi dengan Raiga, dia berada dalam masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Ficção AdolescenteAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...