Fiza menuju kantor dengan amarah memuncak. Dia hanya bisa menunduk sembari berjalan ke kubikelnya.
Lelaki itu mendaratkan tubuhnya di kursi. Dia mencoba memisahkan urusan pribadi dan urusan kantor. Dia tak mau kinerjanya menjadi buruk karena memikirkan Raiga si pembunuh.
Fiza mendongak saat bosnya menyuruh para karyawan bekerja lebih keras untuk minggu sekarang. Pasalnya, outing kantor akan segera dilaksanakan.
Fiza menghela napas berat lalu mencoba mendinginkan kepala dengan menundukkan kepalanya pada kedua tangan yang dilipat. Sebuah suara membuat lelaki itu mendongak.
"Kenapa, Za? Sakit?" tanya Mbak Mila sambil menengok lelaki itu.
Fiza bergumam pelan. "Enggak kok, Mbak. Thanks udah care," katanya lalu menyunggingkan senyum manis.
Mbak Mila mendelik sebal. "Lo kepedean banget jadi orang, Za. Pantesan saja ya, lo jomlo dari lahir." Tawa Mbak Mila langsung meledak melihat wajah cemberut Fiza.
"Udah, sana! Gue enggak bakal bantuin kerjaan lo lagi deh, Mbak. Jadi, cari partner baru saja, ya!" kata Fiza dengan wajah yang dibuat serius.
Mbak Mila menyilangkan dada. "Ya elah, baperan banget jadi orang. Pantesan jomlo, ya, Za."
"Ah, elah, lo jangan gangguin si Fiza deh, Mbak." Suara Mas Faris terdengar. Membuat Fiza menoleh ke sosok seniornya itu. "Biasanya yang ganteng kayak si Fiza ini suka tiba-tiba sebar undangan tahu."
Fiza terbahak mendengar ucapan seniornya itu. "Ya ampun, Mas. Gue aminin jangan, ya?" tanyanya setelah tawanya mereda.
"Aminin aja, Za. Jodoh enggak ada yang tahu," celetuk Mbak Tika yang mulai nimbrung.
Fiza membalasnya dengan gumaman singkat. "Kalian ini, ya, udah bersikap kayak senior yang enggak butuh bantuan junior saja." Fiza memasang wajah serius. "Kalau bisa, jangan cuma tanya kapan punya pacar atau enggak wahai Mbak-mbak dan Mas-mas sekalian, sekalian dong cariin gue pacar," ujarnya panjang lebar.
"Beneran mau dicariin, Za?" Mas Gavin yang baru kembali dari ruangan bos terdengar.
Fiza berpikir sejenak. "Jangan dulu, deh. Gue malas pacaran buat sekarang. Ada yang lebih penting soalnya," kata cowok itu yang malah diledek oleh senior-seniornya.
"Udah, pada kerja sana. Tuh lihat, dilihatin bos, tahu," ujar Fiza menatap ke depan.
Sedetik kemudian, lelaki itu banjir umpatan karena dia berbohong. Kemudian para seniornya itu fokus bekerja.
Malam harinya, setelah semua pekerjaan kantor beres, Fiza menggeleng-gelengkan kepala. Dia memukul-mukul kepalanya yang terasa berat. Hari sudah benar-benar larut. 00.05 WIB dan dia masih di kantor bersama bosnya.
Dengan cepat Fiza membereskan barang-barang kantornya dan bergegas pulang sebelum tumbang di perjalanan. Lelaki itu berusaha mengabaikan rasa sakit kepala yang tiba-tiba menyerang. Fiza mencoba memfokuskan pikirannya pada jalanan.
Butuh beberapa menit untuk mengendarai mobil dari kantor sampai rumahnya. Ketika sudah sampai di rumah, Fiza langsung turun dengan cepat. Dia tak menyadari kalau adiknya belum pulang karena lelaki itu langsung pergi ke kamarnya.
Saat di kamar, Fiza menyadari bahwa dia melewatkan jam makan siang dan malamnya. Matanya terus-menerus menatap layar monitor karena pekerjaannya segunung.
Fiza tak menyalahkan para seniornya yang memberikan tugas tambahan. Karena dia sangat menikmati pekerjaannya. Hanya saja, sakit untuk saat ini sangat ingin ia hindari.
Lelaki itu mencari-cari obat sakit kepala lalu pergi ke dapur untuk makan. Namun, tak ada makanan. Dia menggedor-gedor pintu adiknya tapi tak ada sahutan.
Dia beranggapan bahwa Zeta tertidur. Jadi, Fiza hanya duduk di kursi dan menyandarkan kepala. Obat masih ada dalam genggamannya. Nafsu makannya hilang. Padahal jika lelaki itu minum obat, harus selalu makan.
Dia berbaring dan meletakkan obatnya di meja tanpa niatan untuk memakannya. Karena yang dia butuhkan sekarang adalah istirahat. Fiza berharap kalau sakit kepala biasa seperti ini bisa langsung sembuh tanpa obat. Tanpa sadar, lelaki yang kelelahan itu terlelap di kursi.
***
Zeta melambaikan tangan pada Raiga yang mengantarkannya pulang. Dia kelelahan akibat lembur sampai pukul 02.15 WIB.
Saat membuka pintu, Zeta dikejutkan dengan kakaknya yang terbaring di kursi dengan pakaian kerja. Zeta mengabaikan itu lalu menuju kamarnya.
Di kamarnya, Zeta merasa tak tenang karena biasanya Fiza tak pernah seperti itu. Dia bangkit lalu berjalan menuju kursi setelah berganti pakaian.
"Za, bangun!" Tangan Zeta mengguncang tubuh Fiza.
Lelaki itu tak merespons, membuat Zeta kesal. "Za, pindah ke kamar. Di luar dingin," ujarnya dengan guncangan lebih keras.
Zeta mengembuskan napas kesal. Lalu menyentuh dahi Fiza. Dia terkejut karena Fiza panas. Perempuan itu langsung beraksi kembali untuk memaksa Fiza pindah tempat tidur.
Karena melihat Fiza tertidur di kursi membuat Zeta tak tega. Dia sangat yakin kalau sakitnya Fiza akan semakin parah.
Setelah usahanya membangunkan Fiza berhasil. Zeta berdiri. Namun, ketika dia hendak melangkah, ucapan Fiza menghentikannya.
"Lo baru pulang atau kebangun?" tanya Fiza.
Zeta menatap mata Fiza yang kelelahan. "Gue enggak kebangun kok. Gue emang baru pulang. Barusan banget. Kenapa?" tanyanya.
"Oh, lembur, ya?" Zeta mengangguk sebagai respons pertanyaan Fiza. "Pulang dianterin siapa?" tanya lelaki itu dengan tangan menyentuh dahinya.
Zeta melangkah menuju dapur. Lalu berteriak, "Dianterin bos."
Mendengar itu, Fiza langsung membenturkan kepalanya yang sakit pada kursi. Dia kesal, ingin marah, tapi dia tak bisa karena raganya sedang tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Teen FictionAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...