3. Kecewa

62 18 12
                                    

Sejak sehabis meeting, suasana hati Fiza tak tenang. Pekerjaan yang dia kerjakan tak membuatnya lupa akan kejadian tadi yang tak terduga. Dua Starbucks pun tak berefek apa-apa.

Lelaki itu menghela napas, lalu mengacak rambutnya. Dia butuh pelampiasan. Matanya menatap jam yang menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Karena pekerjaannya telah selesai, dia langsung membereskan barang-barangnya. Dia harus menuju ke suatu tempat untuk menenangkan pikirannya.


Setelah mengendarai mobilnya beberapa jam, akhirnya lelaki itu berhenti di tempat tujuan. Fiza menghentikan mobilnya di sebuah tempat temaram dan hening. Wilayah itu hanya diterangi beberapa lampu.


Saat lelaki itu turun dari mobil, angin malam menusuk kulitnya. Seakan angin itu menyambut kedatangannya.

Lelaki itu berjalan menuju tempat pembaringan terakhir dua orang yang sangat dia sayangi. Saat melihat tulisan di nisan yang dia tuju, ia berhenti.

Fiza terduduk di antara gundukan tanah. Tangannya mengusap dua makam di kiri dan kanannya. Tanpa disadari, air mata langsung mengucur dengan deras.

Angin kembali berembus. Hanya terangnya bulan yang membuat malam itu tak terlalu gelap. Suara binatang malam terdengar. Dalam kegelapan itu, tangis Fiza semakin deras.

Dia merindukan dua orang yang terbaring di sana. Dua orang itu adalah ibunya, dan adik lelakinya.

Setelah bisa mengendalikan tangisnya, Fiza membuka suara. "Gue tadi ketemu sama pembunuh lo, Yan. Gue pengen bunuh dia kalau ingat lo. Tapi, gue juga tahu, bunuh dia enggak bakal buat lo balik lagi." Fiza berhenti bicara, lalu air matanya kembali mengucur dengan deras.

Setelah tangisnya mulai reda, dia kembali berkata, "Gue tadi lihat Zeta lagi sama bajingan itu. Gue pengen tarik dia, dan bilang jangan deketin orang brengsek itu. Tapi gue enggak lakuin itu. Gue malah pura-pura enggak kenal Zeta."

Fiza menunduk, ada rasa keinginan kuat dalam dirinya yang terpendam. Tangannya mengepal kuat. "Gue enggak mau si brengsek itu rendahin gue yang seorang karyawan biasa. Gue bakal tunjukin siapa gue sebenernya, kalau tujuan gue sudah tercapai," katanya dengan yakin.

"Arvian, kalo gue inget lo, gue selalu dihantui rasa penyesalan. Andai, waktu itu gue enggak pernah pergi ke luar negeri buat kepentingan gue sendiri. Andai waktu itu gue selalu jagain kalian berdua sesuai permintaan bunda, mungkin ini enggak akan pernah terjadi." Fiza menarik napasnya dalam penuh penyesalan.

"Coba aja waktu itu yang pergi ke luar negeri itu, mungkin yang sekarang ada di samping bunda itu gue, bukan lo." Dia mendongak menatap langit malam yang semakin gelap. "Rasa marah selalu ada di diri gue. Gue pengen banget bunuh si bajingan itu, Yan, pengen banget. Tapi gue tahan, gue biarin hidup gue enggak pernah tenang buat sementara."

"Gue lakuin itu semua buat balas budi ke lo, yang udah rela mati demi jagain Zeta. Meski gue tahu, itu semua enggak sebanding sama jasa lo."

Lelaki itu mengembuskan napas, lalu menatap jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan dini hari. Namun, dia enggak pergi.

"Arvian, maafin gue karena enggak bisa jadi kakak yang baik buat lo dan Zeta. Bunda, maafin Fiza yang enggak bisa jaga adik-adik Fiza dengar benar," ujarnya dengan tangan mengusap-usap batu nisan keduanya.

Dengan enggan lelaki itu bangkit. Air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Dia menatap dua makam itu dengan hati yang mulai merasakan ketenangan. Lalu dia berjalan menuju mobilnya.

***

Semenjak pertemuan tak sengaja dengan Raiga dan Zeta di Grand Indonesia, Fiza belum sempat berbicara dengan adiknya. Zeta selalu berangkat kerja pagi, lalu pulang cepat dan langsung tertidur. Zeta yang menghindar dan dirinya yang semakin sibuk bekerja membuat hubungan keduanya merenggang.

Hari ini pun, lelaki itu tidak menemukan adiknya di rumah. Fiza berusaha keras untuk mengabaikan keadaan adiknya, tetapi gagal. Dia hanya bisa berharap adiknya selalu baik-baik saja meski dia bekerja di perusahaan Raiga. Ia pun memutuskan untuk berangkat kerja tanpa sarapan terlebih dahulu.

Setibanya di kantor dengan Starbucks di tangan, Fiza langsung dihadapkan dengan pekerjaan yang tak habis-habisnya. Beberapa hari ini kantornya sangat sibuk. Berdampak pada karyawan yang selalu pulang larut.

"Morning all," sapa Jarvis yang langsung dibalas oleh orang-orang di divisinya. "Bulan ini harus melebihi target, jadi banyakin kerja kurangin gosip, ya." Setelah mengatakan itu, Jarvis pergi dan semua stafnya menghela napas pasrah.

Sehabis makan siang, Fiza langsung ditarik untuk ikut rapat oleh bosnya. Karena dia kompeten ditambah belum berkeluarga, para seniornya dengan giat memberikan dia pekerjaannya. Alhasil, hari ini pun dia kembali lembur.

Namun, dibalik kesibukannya itu, pikirannya tak pernah berhenti memikirkan Zeta. Dia takut sesuatu terjadi pada adiknya. Dia tidak mau sampai kehilangan seorang adik untuk kedua kalinya.

Fiza menyeruput kopi kelimanya. Perutnya mulai kembali lapar. Pekerjaannya tak kunjung usai. Namun, seberapa banyak pekerjaannya, dia tak pernah bosan. Dia merasa senang saat merasa di andalkan.

"Akhirnya beres juga," kata lelaki itu lalu menghabiskan kopinya.

Fiza menghentikan mobilnya ketika melihat sebuah mobil berhenti di halaman rumahnya. Mata lelaki itu fokus menatap seorang lelaki yang keluar dari pintu kemudi. Lelaki itu Raiga.

Raiga membuka pintu untuk seseorang yang Fiza yakini adalah adiknya. Ketika dugaannya benar, Fiza mengepalkan tangan.

Raiga tak langsung pergi. Dia malah berbincang dengan adiknya. Membuat Fiza memukul stang dengan tangannya yang semakin kuat mengepal.

Dirinya ingin segera turun, tetapi dia tak bisa. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tak menghajar cowok itu. Melihatnya tertawa dengan Zeta membuat dia marah. Fiza marah karena pembunuh adiknya bisa bahagia, tetapi adiknya malah terbunuh mengenaskan.

Dia juga kecewa pada Zeta yang sepertinya bisa melupakan kejadian beberapa tahun yang lalu dengan mudah. Padahal dia sendiri terjerat dalam rasa bersalah dan amarah selama bertahun-tahun. Sedangkan Zeta malah dengan santainya tertawa dengan seorang pembunuh.

Ketika bekerja bagai kuda di kantornya, dia selalu memikirkan Zeta yang sibuk menghindar, sampai dia lupa untuk balas dendam pada Raiga. Namun, kali ini dia malah semakin semangat untuk balas dendam melihat Raiga yang begitu dekat dengan adiknya.

Altamura ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang