20. Terlalu Sibuk

36 8 4
                                    

Semenjak Mbak Mila mengirim foto adiknya yang tengah berbelanja, Fiza belum berbincang lagi dengan Zeta. Adiknya selalu tertidur saat Fiza pulang. Saat pagi pun, Fiza berangkat lebih cepat dari biasanya. Seminggu ini, dia bahkan tak melihat adiknya meski mereka masih tinggal dalam rumah yang sama.

Kerjanya kali ini seperti tahun lalu. Dia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang dini hari. Untungnya, dia tidak sendiri. Kadang ada seniornya yang menemani, meski keseringan dia lembur bersama bos.

Mereka sibuk seperti itu karena tengah merencanakan pembangunan kantor cabang. Mau tidak mau, para karyawan harus lembur. Karena ini proyek yang sangat besar.

"Lo masih hidup, Za?" Mbak Mila melangkah gontai ke kubikelnya. Kantung mata seniornya yang satu itu hitam seperti panda.

Kantung mata yang berubah menjadi hitam tak dialami Mbak Mila seorang. Semua karyawan di divisi Jarvis memiliki kantung mata yang menghitam karena jatah tidur yang berkurang.

"Masih kok, Mbak. Lo sendiri gimana? Jadi wanita karier kan enggak selalu enak," katanya.

Mbak Mila tersenyum kecil. "Seperti yang lo tahu, waktu sama keluarga jadi berkurang kalau kerjaan lagi banyak-banyaknya. Lo juga pasti ngerasa kayak gitu, kan?"

Fiza mengangguk cepat. Hubungan dirinya dan Zeta tidak terlalu baik apalagi jika ditambah Fiza jarang berinteraksi dengan adiknya karena terlalu sibuk. Dia yakin, jika terus-terusan seperti ini, hubungan dirinya dan Zeta akan seperti orang asing yang tinggal dalam satu bangunan.

"Kayaknya hari ini enggak bakal lembur sampai jam dua pagi, deh." Mbak Mila kembali bersuara.

Beberapa hari terakhir, saat baru sampai di kantor, karyawan langsung duduk di kubikel. Paling-paling mengobrol sebentar menunggu komputer panas. Itu pun sambil merapikan kubikel yang tak sempat dirapikan sebelum pulang. Waktu santai-santai sebelum jam kerja kini raib.

"Beneran Mbak?" tanya Fiza. Dalam nadanya tak ada semangat sama sekali, karena jika sudah jarang lembur, waktu santai akan banyak dan dia tak suka itu. Namun, dia juga tak memungkiri kalau dirinya selalu mengantuk saat bekerja karena kurang tidur, ditambah lagi dia tak mengkonsumsi kopi sesering dulu.

Dia akhir-akhir ini menjaga pola makannya. Meski kerap tak ikut makan siang jika masih banyak pekerjaan. Hanya delivery itu pun saat para seniornya telah kembali.

"Iya. Gue jamin sih, kalau lo kali ini enggak makan siang, kita bakal pulang jam delapan malam," jelas Mbak Mila yang membuat Fiza menatapnya keheranan.

"Kok gue?" celetuknya.

"Ya, kan yang di kantor cuma kita berdua sama si bos."

"Mbak Tika sama dua Mas-mas emang pada ke mana?" Sedetik setelah menanyakan itu, Fiza terdiam.

"Si Tika kan sakit. Terus si Faris sama si Gavin lagi terjun ke Lampung buat liat seberapa persen progres yang lagi kita kerjain." Mbak Mila mengamati Fiza yang masih terdiam. "Ingatan lo mendadak tumpul gara-gara kerja kayak kuda, Za?"

Fiza terkekeh sambil menggeleng. "Enggak, ya, enak saja!"

"Terus?"

"Gue cuma baru ingat saja, padahal kemarin kan dibahas si bos pas rapat," jelasnya yang telah mengingat isi rapat kemarin.

Perusahaan cabang akan dibangun di Lampung, dan Mas-mas senior lelaki itu ditugaskan pergi ke sana. Sedangkan Mbak Tika yang sering tumbang saat disuruh kerja lembur nonstop tengah berada di rumah sakit.

"Lo perlu banyak refreshing, Za. Otak lo kayaknya emang lagi enggak mood dibawa kerja rodi," saran seniornya itu yang langsung tenggelam dalam pekerjaan.

Fiza salut pada perkiraan seniornya yang suka banget mengulik kehidupan koleganya itu. Dugaan Mbak Mila ternyata benar.

Tadi siang, dua orang itu tak turun untuk membeli makanan. Mereka sepakat untuk delivery. Jadi saat jarum jam pendek menunjuk angka delapan dan jarum panjangnya tepat pada angka dua belas, mereka langsung membereskan peralatan kantor. Pekerjaan telah selesai.

"Lo sudah ada yang jemput, Mbak?" tanya Fiza saat mereka berada di lift.

"Gue bawa mobil kok, jadi enggak suruh jemput. Kasihan anak gue kalau disuruh jemput malam-malam kayak kemarin," ujarnya.

Jika suami seniornya itu tengah bekerja, Mbak Mila kadang meminta anak sulungnya yang masih sekolah SMA kelas tiga untuk menjemputnya. Dia jarang meminta bantuan pada Fiza karena tahu rumahnya beda arah.

"Gue duluan, ya, Za!" Mbak Mila langsung masuk mobilnya yang diparkir tidak jauh dari mobil Fiza.

Fiza mengangguk dan berkata hati-hati pada seniornya itu. Setelahnya dia masuk mobilnya sendiri.

Di perjalanan Fiza menimbang-nimbang apakah dirinya harus bertemu Gia hari ini atau akhir pekan saja. Dia perlu bertanya beberapa hal pada temannya itu.

Ketika mengingat Zeta yang seharusnya sudah pulang, jika tak lembur, akhirnya Fiza memutuskan supaya bertemu dengan Gia di akhir pekan saja. Dia perlu memperbaiki hubungan dengan adiknya untuk saat ini.

Sesampainya di rumah, Fiza tak menemukan mobil Zeta. Lelaki itu mengembuskan napas karena perkiraannya meleset, lalu berderap masuk ketika menyadari angin berembus menusuk kulit dengan hebat.

Sehabis membersihkan badan, Fiza makan malam lalu menuju ruang tamu dengan segelas kopi dan beberapa camilan. Dia menunggu kepulangan Zeta dengan laptop di pangkuannya. Dia perlu memeriksa hasil pekerjaannya supaya tak ada kesalahan.

Ketika sedang larut pada apa yang tengah dikerjakannya, suara notifikasi ponsel terdengar. Mbak Mila mengirimnya pesan.

Gue lupa banget mau kasih tahu lo, Za.

Fiza mengernyit. Jarang sekali Mbak Mila mengirimnya pesan malam-malam seperti ini.

Kasih tahu apaan, Mbak?

Mbak Mila mengirim foto. Fiza mengamati gambar itu dengan teliti. Tidak ada yang aneh sampai Mbak Mila kembali mengirimnya pesan.

Waktu itu lo tanya adik lo belanja sama siapa, kan?
Nah gue lupa enggak langsung kasih tahu lo kalau adik lo itu pergi sama cowok.

Cowok ini, Za.

Mbak Mila mengirim foto seorang lelaki yang dia kenal. Fiza menahan napas karena tak percaya. "Mati gue! Sialan! Gue dalam bahaya!" geramnya. Fiza meletakkan ponsel begitu saja lalu memukul-mukul kepalanya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu fokus bekerja sampai tak peduli pada adiknya. Dia berharap supaya hal terburuk yang dia perkirakan tidak terjadi- lebih tepatnya tidak akan pernah terjadi, sampai kapan pun.

Altamura ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang