Meski perang hebat antara dirinya dan Zeta mengusik pikiran lelaki itu sampai membuatnya tak bisa tidur, ia berusaha berpenampilan seperti biasa ke kantor. Dia menatap pantulan dirinya di cermin sambil merapikan rambut.
Fiza lalu teringat akan kejadian sebelum dirinya dan Zeta saling berteriak. Sebelum Zeta berkata bahwa dirinya ingin menikahi Raiga, dia sempat bertelepon dengan Gia. Ia lekas menyambar ponselnya dan melihat notifikasi panggilan tak terjawab dari sahabatnya.
Dia langsung menelepon kembali Gia sambil mengambil tas kerjanya. Dia menatap kamar Zeta yang tertutup, untuk saat ini dia tak ingin bertatapan dengan Zeta. Karena jika sampai dia melihat Zeta, dia akan lupa pada apa yang dikatakannya kemarin sebelum pergi ke kamar.
Suara Gia terdengar dari seberang sana, hal itu menyadarkan Fiza dari lamunannya. Dia lalu berderap keluar sambil berharap Zeta tidak kabur dari rumah gara-gara tak diizinkan olehnya untuk menikah.
Fiza menjalankan mobil sambil memasangkan handfree. Dia mendengarkan ucapan Gia dengan serius.
"Kemarin, gue mau bilang kalau Zeta sama si Raiga punya hubungan. Soalnya gue lihat pas makan siang, mereka balik ke kantor sambil gandengan."
"Maksud lo mereka jalan ke ruangan sambil gandengan gitu?" Fiza menggenggam kemudi lebih kuat.
"Bukan, bego! Adik lo bakal jadi gosip kalau kayak gitu ceritanya."
Ucapan Gia ada benarnya. Jika hubungan adiknya itu sudah tersebar di kantor, dia akan menjadi trending topik. Bahkan, akan banyak omongan jelek di belakang Zeta. "Terus?"
"Mereka justru kepergok gue yang lagi nunggu lift."
Fiza mengangguk-angguk mengerti. "Jadi intinya, lo lihat mereka pegangan tangan waktu di lift?"
"Iya, Za. Terus gue sadar kalau mereka pake cincin yang sama."
Fiza menginjak rem seketika. Untungnya tak ada mobil di belakang saat lelaki itu melirik kaca spion. Dia baru tahu dari Gia jika adiknya memakai cincin yang sama dengan Raiga. Kemarin, dua terlalu emosi sampai tak menyadari itu.
"Kemarin dia bilang mau nikah sama Raiga, terus ...." Fiza menceritakan kejadian kemarin lewat telepon.
Dia tak merasa tak nyaman karena membicarakan hal besar seperti itu lewat telepon. Gia sangat memahaminya meski mata mereka tak saling bertatapan. Lagi pula, jika saja semalam Fiza menemui Gia untuk bercerita, dia pasti diajak ke klub malam.
Sahabatnya itu kadang masih clubbing–kegiatan yang sangat sering dia lakukan di Melbourne dan susah untuk dihentikan. Namun, dirinya sudah berhenti saat kembali ke tanah air. Dia tak mau Zeta meniru kelakuan buruk dirinya. Meski dia tahu kalau dirinya tidak pernah mengajarkan Zeta untuk mabuk-mabukan pun Zeta tetap melakukan clubbing bersama teman-teman yang banyak memberi pengaruh negatif.
Bagi Fiza, Gia bukan sekadar sahabat. Dia telah menganggap Gia saudara, karena hanya Gia yang selalu menemani masa suka dan dukanya. Gia berteman dengan Fiza sejak SMA, tetapi karena Fiza tak satu SMA dengan kedua adiknya, membuat Zeta tak tahu siapa Gia. Berbeda dengan Vian yang suka dia ajak pergi ke rumah Gia, hingga mereka akrab. Saat Gia tahu Vian meninggal, dia menjadi benci keluarga Ankara, dan dia juga berjanji akan mendukung Fiza untuk membalaskan dendamnya.
Tak terasa Fiza sudah sampai di kantor. Sepanjang perjalanan, dia terus mengobrol dengan Gia. Saat Gia juga tengah kesal setengah mati. Fiza hanya terkekeh dan menyuruhnya untuk mengawasi Zeta dan Raiga. Kemudian panggilan berakhir dan lelaki itu keluar dari mobil untuk berderap menuju kantornya.
Fiza bekerja seperti biasa. Dia kali ini melipat gandakan pekerjaannya. Membantu para seniornya yang ingin pulang cepat dan membiarkan dia terlena pekerjaan sampai pulang larut. Bahkan kali ini lelaki itu membuat heran para seniornya karena terlalu semangat menyuruh membagi pekerjaan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Fiksi RemajaAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...