11. Step 2

34 11 9
                                    

Jalanan mulai lengang. Lampu-lampu yang menerangi jalan tak membuat suasana malam menjadi ramai. Temaram hanya menambah kesunyian malam yang semakin mencekam. Tiba-tiba angin berembus menusuk tulang. Membuat seorang lelaki yang tengah berjalan seorang diri menggeletuk.

Dia merapatkan jaketnya lalu melihat sekeliling. Lelaki itu merasa tengah diawasi. Dia bergidik ngeri saat suara langkah yang berjalan cepat terdengar.

Kantung plastik yang berisi makanan semakin ia genggam. Lelaki itu berusaha kuat agar tak berlari karena tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Ia mendengar suara langkah kaki itu semakin dekat. Dengan takut-takut, dia menoleh.

Tak ada siapa-siapa. Hanya ada angin yang kembali berembus semakin kencang. Sambil bergidik dia berjalan semakin cepat.

Meski tak ada siapa-siapa, lelaki itu terus mendengar suara langkah kaki. Kali ini, suara kaki itu terdengar semakin cepat. Seperti orang yang berlari.

Lelaki itu, Raiga, melihat ke sekeliling sambil berjalan cepat. Lagi-lagi tak ada siapapun. Dia kemudian berhenti.

Mengamati sekelilingnya yang temaram dengan serius. Takut-takut ada penjahat yang akan merampoknya. Namun, nihil. Telinganya masih menangkap suara langkah dengan jelas.

Raiga membulatkan tekad untuk tak takut. Sekelebat, ia teringat dosanya di masa lalu. Membunuh orang lain karena cemburu. Dengan cepat dia membuang pikiran-pikiran itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Lo siapa?" Suara ketakutan itu berasal dari mulut Raiga.

Tak ada sahutan. Ia menelan saliva sambil lagi-lagi mengamati sekitar. Setelah dia meyakinkan dirinya tak ada siapapun, lelaki itu menatap jam yang kini menunjukkan pukul 12.00 WIB.

Raiga membuang napas lewat mulut lalu kembali berjalan. Seluruh indranya siaga, takut-takut ada yang menyerang dari belakang. Di saat seperti ini, otaknya malah membayangkan adanya sosok jahat yang memukulnya dari belakang sampai pingsan. Lalu membawanya ke tempat sepi dan saat sadar dia langsung dihabisi dengan pisau tajam yang siap merobek arterinya.

Ia kembali bergidik dan secara impulsif, dia langsung lari ketika kembali mendengar langkah kaki.

Raiga merasa lega saat dirinya sudah berada di depan pintu apartemen. Ia tak langsung masuk. Lelaki itu tengah mengatur napas, dan lagi-lagi sambil mengamati sekitar.

Saat dirasa sudah tenang, dia langsung membuka kunci pintunya. Akan tetapi, suara langkah kaki kembali terdengar. Dengan cepat ia langsung memutar kenop pintu lalu masuk dengan tergesa.

Sesampainya di apartemen miliknya, Raiga merasa tenang. Dia langsung berjalan ke kamarnya, tetapi sebuah suara mengusik lelaki itu. Kali ini, ia menangkap suara pintu yang diketuk berulang kali.

Dia langsung mengusir pikiran negatif. Ia meletakkan kantung belanjaan terlebih dahulu sambil meyakinkan dirinya bahwa orang yang mengetuk pintu adalah salah satu temannya.

Dengan tekad bulat, Raiga membuka pintu. Dia tak melihat siapa pun, tetapi dia melihat sebuah kotak kado yang dihias pita merah.

Raiga takut untuk meraihnya, dia takut itu bom. Namun, karena penasaran, dengan tangan gemetar ia meraih kotak itu dan membawanya masuk.

Ketika pintu benar-benar tertutup, Raiga membuka kotak itu perlahan sambil menutup mata. Pikirannya terus meyakinkan kalau itu bukan sesuatu yang berbahaya.

Saat membuka mata untuk mengetahui apa isi kotak tersebut, ia langsung terbelalak. Kemudian teriakannya yang memekakkan telinga terdengar.

***

"Morning all." Fiza menyapa seniornya dengan senyum merekah.

Hari ini ia tidur dengan pulas dan bangun pagi dengan semangat. Lelaki itu berjalan ke kubikelnya sambil melambai-lambaikan tangan.

"Si Arfiza sinting," kata Mbak Mila sambil terbahak. Pasalnya Fiza yang dia kenal tak mungkin bersikap seperti itu.

"Urat malu lo hilang, Za?" tanya Mbak Tika yang juga tengah tertawa.

Fiza menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum penuh arti. "Tolong, ya, jangan nyangka gue gila. Gue masih waras kok."

"Lo mau tiba-tiba sebar undangan makanya pura-pura gila, ya?" Suara Mas Gavin terdengar. Hal itu membuat Fiza menghentikan senyumnya.

"Tolong, ya, Mas, jangan bahas dulu cewek atau undangan, apalagi pernikahan. Lo malah buat mood gue hancur deh," katanya pura-pura kesal.

Mas Gavin malah tersenyum mencurigakan. "Lo kerjain kerjaan gue, ya."

"Bisa aja lo Mas. Mentang-mentang gue anteng kalau lagi kerja," gumamnya. "Ya sudah, kirim ke email gue." Meski pekerjaannya sendiri banyak, Fiza tak akan menolak jika disuruh membantu pekerjaan para seniornya.

"By the way, Mas Faris ke mana? Tumben enggak ikut-ikutan ledekin gue?" Fiza mendongak mengamati sekelilingnya. Dia baru tersadar kalau salah satu seniornya absen.

"Businnes trip, Sayang," jawab Mbak Mila yang membuat Fiza langsung mengangguk.

"Businnes Trip ke Padang, ya? Baru inget gue," katanya sambil duduk dan menyalakan komputer.

"Sabar, Za, lo juga bakal dikirim jadi TKI bentar lagi," ujar Mas Gavin sambil terkekeh.

Fiza hendak membalas perkataan Mas Gavin, tetapi ponselnya berbunyi. Tertera nama Gia pada benda pipih itu. Dengan cepat Fiza langsung ponselnya dan menggeser panel hijau.

"Lo hebat, Za." Terdengar suara tawa renyah Gia. "Hebat banget nyampe bisa buat si bos datang ke kantor kayak gembel."

"Itu semua juga berkat lo. Gue enggak tahu gimana jadinya kalau enggak ada lo. Mungkin, balas dendam itu enggak bakal terlaksana deh."

Selama ini, Fiza sering kali ragu untuk membalas perbuatan Raiga. Dia memilih berusaha melupakan perbuatan Raiga dengan bekerja sangat keras sampai membuat ia kecanduan. Namun, karena ada Gia yang selalu berada di sampingnya dan meyakinkan kalau dirinya akan membantu Fiza menyalurkan rasa bencinya, akhirnya dia setuju.

"Santai kali. Kan gue yang bilang mau bantuin lo."

"Thanks banget, Bro. Liatin si brengsek itu lagi, ya."

Setelah itu telepon berakhir. Fiza kembali bekerja sambil tersenyum-senyum. Sungguh, lelaki itu tak bisa menyembunyikan rasa senangnya yang membuncah.

Dalam hati dia terus berterima kasih kepada Gia. Dia juga mendoakan Vian supaya ditempatkan di tempat terbaik.



Altamura ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang