Fiza bersyukur sakitnya tidak parah. Ditambah hari ini adalah hari Sabtu yang artinya dia tidak masuk kerja.
Lelaki itu kemudian berjalan menuju halaman rumah untuk berjemur. Tak lupa dia juga melakukan beberapa peregangan. Saat Zeta melintasinya, dia memfokuskan pandangan pada adiknya yang akan menyiram tanaman.
Sambil melakukan peregangan, lelaki itu bertanya, "Ta, Raiga orangnya kayak gimana?"
Zeta menatap Fiza sekilas lalu tatapannya beralih pada tanaman. "Kayak orang dewasa pada umumnya kok," balasnya santai.
Fiza mendelik, napasnya dibuang dengan keras. "Kalo ditanya sama yang lebih tua itu jawab yang bener."
Zeta menatap Fiza dengan mengerutkan kening. "Cuma beda sepuluh menit saja lo udah belagu, ya, Za," balasnya kesal. "Lagian buat apa sih tanya-tanya Raiga ke gue?"
Lawan bicara Zeta menghentikan aksi peregangannya. Dia menatap Zeta lurus-lurus dengan menyilangkan tangan. "Lo kan bawahannya, biasanya bawahan bakal jujur kalau ditanya tentang atasan, apalagi kalau atasannya nyebelin. Jadi, lo jawab saja pertanyaan gue, kalau mau jelek-jelekin bos lo itu juga enggak apa-apa," sahut Fiza.
Perempuan yang tengah menyiram itu memicing ke arah Fiza. Lalu dia balas menatap Fiza setelah selesai menyiram tanaman.
"Lo mau tahu banget?"
Fiza mengangguk. "Ya, siapa tahu informasi dari adik sendiri bermanfaat gitu," katanya.
Tanpa berpikir panjang Zeta langsung berkata, "Dia itu orangnya egois, antisosial, enggak peduli orang lain, pendendam, nyebelin, pokoknya banyak sifat dia yang jelek."
Fiza ingin merespons perkataan adiknya, tetapi Zeta kembali membuka suara. "Tapi, sejelek-jeleknya sifat Raiga, lebih jelek sifat lo, Za."
Lelaki itu mematung menatap Zeta yang melewatinya. Dia berdecak kesal lalu menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju rumah.
"Kalau mau tahu tentang orang itu, jangan tanya-tanya gue. Cari tahu sendiri apa yang pengen lo ketahui." Suara Zeta terdengar saat Fiza baru mendudukkan tubuhnya di kursi.
Dia hanya bergumam pelan sebagai respons. Lalu membaringkan tubuhnya di kursi.
Menjelang siang, Fiza terbangun. Dia baru menyadari bahwa dirinya tidur di kursi. Lelaki itu bergegas mandi dan bersiap menuju ke suatu tempat. Sebelum berangkat, Fiza memanggil-manggil adiknya.
"Apa, sih? Berisik tahu!" bentak Zeta yang membuka pintu kamarnya.
Zeta melangkah ke luar kamar dan memperhatikan pakaian Fiza yang rapi. "Lo mau pergi? Mau pacaran, ya? Enggak perlu izin kok," katanya dengan menatap tajam Fiza yang menganggu aksi menontonnya.
"Gue ada urusan, jagain rumah. Jangan keluyuran," titahnya yang dibalas kerutan dahi oleh Zeta.
Zeta menggeleng kuat-kuat. "Enggak bisa. Gue ada acara sama temen-temen. Lagian siapa lo nyuruh-nyuruh gue?" tanyanya sengit.
"Gue keluarga lo satu-satunya," katanya dengan nada sedih. Setelah mengatakan itu Fiza langsung pergi.
Perempuan itu menatap punggung Fiza dengan kesal. Dia terdiam lama memikirkan perkataan kakaknya. Pikirannya berkelana memikirkan keluarganya yang telah tiada. Perkataan lelaki itu benar. Hanya Fiza keluarga yang dia punya, dan itu membuatnya sangat sedih. Tiba-tiba cairan bening ada di pelupuk matanya, dia mendongak untuk mencegah air mata itu turun.
Angin berembus pelan, saat itu juga, setetes air mata berhasil meluncur membasahi pipinya. Sebelum air mata itu semakin deras, dia langsung mengusapnya dan menggeleng-gelengkan kepala. Lalu kembali ke kamar dengan membanting pintu sangat keras.
***
Fiza menatap sosok di depannya. "Gimana kabar lo, Gi?" tanya lelaki itu saat teman kuliahnya baru saja duduk.
"Seperti yang lo lihat," balasnya. "Lo sendiri gimana? Lama banget ya, kita enggak lunch bareng."
"Enggak bener-bener baik. Lo kan tahu gue," katanya diiringi kekehan. "Hooh, sama-sama sibuk, ya."
Lelaki itu mengangguk kecil. Lalu mengajak Fiza untuk memesan makanan.
"Gimana kerjaan? Bos lo gimana?" tanya Fiza kembali membuka obrolan.
"Lo kayaknya lebih pengen tahu bos gue kayak gimana daripada kerjaan gue, deh," kata lelaki itu yang membuat Fiza terkekeh.
"Kan, lo yang mau bantuin gue makanya masuk perusahaan itu."
Gia, sosok si hadapan Fiza itu mengangguk kecil. "Meski perkataan lo enggak seratus persen benar, tapi gue akuin itu. Selain gajinya di perusahaan itu gede, gue bantuin lo."
Fiza mengangguk. "Thanks banget, Bro. Gue berutang banyak, ya, kayaknya ke lo."
"It's oke. Santai saja kali." Gia menatap makanan yang baru tiba. "Omong-omong tentang bos gue, dia itu sifatnya nyebelin, loh."
Fiza menyeruput minumannya lalu menatap Gia, teman kuliahnya, dengan mengerutkan kening. "Nyebelin gimana? Semua bos juga nyebelin kali. Bos tempat gue kerja juga gitu. Lanjut cerita saja deh," katanya.
Fiza menyimak setiap perkataan yang keluar dari mulut Gia dengan serius. Tangannya kadang tiba-tiba mengepal lalu tanpa sadar bernapas lega.
Setelah temannya itu bercerita selesai, Dia langsung menyimpulkan satu hal. Dia lalu bertanya untuk meyakinkan. "Jadi maksud lo, dia itu sosiopat gitu?"
***
Fiza sampai di rumah pukul 18.15 WIB. Dia langsung mengecek keberadaan adiknya. Ternyata belum pulang.
Lelaki itu kemudian membawa laptop menuju ruang tamu. Sambil menunggu Zeta pulang, dia mengecek pekerjaan karena dia merasa bosan. Untung saja, dia mendapat email dari bosnya yang mengirim pekerjaan untuk segera diselesaikan.
Dia berkutat pada file yang harus direvisi sebelum dipresentasikan hari Senin. Lelaki itu mensyukuri perkerjaan yang dikirimkan bosnya, karena dengan itu dia tidak terlalu mengkhawatirkan adiknya.
Hanya butuh waktu dua jam untuk lelaki itu menyelesaikan pekerjaannya. Dalam waktu dua jam itu juga belum ada tanda-tanda kemunculan Zeta.
"Semoga lo enggak sama Raiga, Ta," gumam lelaki itu lalu bersandar pada kursi.
Selama beberapa jam Fiza menghabiskan waktu dengan menonton film thriller. Selama itu pula Zeta belum kembali.
Dia terus berpikir positif meski hari menunjukkan tengah malam. Lelaki itu mulai mengantuk, tetapi menahan sekuat tenaga kantuk itu karena ingin menunggu adiknya pulang.
Saking lamanya Zeta pulang, Film yang dia tonton sudah tak menarik lagi, beberapa kali dia memejamkan mata dan terbangun tiba-tiba.
Ketika suara mobil berhenti terdengar, Fiza langsung menegakkan badan. Pintu rumah terbuka.
Fiza terkejut saat melihat Zeta mengalungkan tangannya pada leher seorang pria. Dia langsung bergerak mendekat dan mencium bau alkohol dari kedua manusia itu.
Fiza hendak mengambil alih Zeta dari lelaki itu, tetapi tangannya ditepis dengan keras. Lelaki itu langsung berjalan sempoyongan menuju kamar Zeta. Karena tangan Fiza bergerak cepat, dia menghentikan aksi lelaki itu.
"Lo siapa?" tanya lelaki yang membawa Zeta dengan kepala mendongak.
"Gue kakaknya Zeta," balas Fiza yang langsung menangkap keterkejutan di wajah lelaki itu. Lelaki yang mengantar Zeta pulang adalah si brengsek Raiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Teen FictionAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...