Tatapan Fiza terfokus pada kedua sosok yang tengah berbincang di pintu masuk. Dua orang itu adalah adiknya dan Raiga. Dia tak bisa menangkap pembicaraan keduanya, karena mereka berbicara setengah berbisik, ditambah jarak dirinya dan mereka juga cukup jauh.
Fiza bertanya-tanya kenapa bisa ada Raiga bersama Zeta. Tatapan lelaki itu tak sengaja bertubrukan dengan Raiga. Hanya sekilas. Kemudian Raiga langsung pergi setelah berbincang sekilas dengan Zeta.
Seperginya Raiga, Zeta berjalan ke arahnya. Dia baru menyadari bahwa Zeta menenteng plastik yang dia yakini berisi buah-buahan. Akan tetapi, Fiza lebih tertarik pada kehadiran Raiga yang bersamanya.
"Kenapa lo bisa bareng Raiga?"
Zeta tak langsung menjawab, dia meletakkan plastik itu di samping brankar kakaknya. Lalu berjalan ke sofa.
"Gue enggak bawa mobil. Si Raiga juga lagi ada meeting di dekat sini," katanya sambil mengamati Fiza yang duduk di kasur sambil memangku laptop.
"Kenapa lo enggak bawa mobil?" Fiza kembali bertanya. Dia yakin, jika adiknya tidak membawa mobil, berarti dijemput Raiga.
"Males," jawabnya singkat.
"Lo habis ini mau balik lagi ke kantor?"
"Iya. Kerjaan banyak. Lagian lo enggak parah-parah amat sampe harus operasi, kan?"
Fiza menghembuskan napas kesal. Dia ragu kalau perempuan yang ada di ruangan yang sama dengannya saat ini adalah kembarannya.
"Lo sebenarnya anggap gue kakak enggak, sih?" Fiza menatap adiknya penuh tanya. "Kayaknya lo lebih nurut kalau disuruh Raiga daripada disuruh jagain gue si sini."
"Iyalah. Gue lebih nurut sama Raiga daripada lo. Dia yang kasih gue gaji, bukan lo," ucap Zeta terlampau jujur. "Lagian gue perlu hidup pake uang, bukan perlu lo."
"Kok gue enggak berasa dianggap sebagai kakak, ya?" Pertanyaan itu tak ditanggapi oleh Zeta. Adiknya malah fokus pada ponsel.
Dua orang dalam satu ruangan itu tak berkata lagi. Hanya hening yang menyelimuti keduanya. Fiza memilih melanjutkan pekerjaannya. Dia perlu mengalihkan perasaan kesalnya lewat pekerjaan.
"Lo masih kerja pas sakit?"
Fiza menoleh sekilas pada Zeta lalu mengangguk. "Cuma cari data buat bikin slide, enggak banyak juga."
Suasana kembali hening. Zeta tak bertanya lebih lanjut. Fiza memilih meminta atasannya supaya memberikan dia pekerjaan tambahan. Minimal sekalian membuat slide setelah data yang dicarinya terkumpul.
"Za," panggil Zeta yang membuat lelaki itu mendongak.
Dia tak menyahut, hanya menatap Zeta. Menunggu adiknya berbicara lebih jauh. Adik yang dipandangnya masih menatap ponsel, lalu dengan cepat memasukkan ponselnya ke tas.
"Kemarin yang telepon gue kasih tahu kalau lo ada di rumah sakit Gia, temen kantor gue, kan?"
Fiza menelan ludah. Dia lupa kalau Zeta tak tahu bahwa selama ini Gia adalah temannya yang kadang mengawasi gerak-gerik Zeta. Sepertinya kemarin temannya itu tak berpikir panjang karena langsung menghubungi adiknya.
"Iya. Kenapa?" Tak mau berbohong, Fiza memilih berkata jujur.
"Kok lo bisa kenal Gia?"
"Dia temen gue waktu kuliah."
Zeta terdiam. Matanya menatap Fiza curiga. "Lo suka tanya-tanya tentang gue ke Gia, ya?"
"Begitulah."
Suara telepon dari ponsel Zeta terdengar memenuhi ruangan. Adiknya itu langsung mengangkat telepon tanpa mempedulikan Fiza.
Tak lama, panggilan itu berakhir. Zeta langsung bangkit sambil membawa tasnya.
"Gue balik lagi ke kantor. Raiga udah beres meeting." Tanpa menunggu jawaban Fiza, dia langsung pergi.
Fiza sangat berharap kalau hubungan adiknya dengan Raiga hanya sebatas atasan dan bawahan, bukan hal yang lainnya. Setelah mengusir pikiran negatif dari otaknya tentang Zeta, Fiza kembali fokus pada pekerjaan.
Menjelang sore, pintu ruangan Fiza terbuka. Dia mendapati sosok Gia yang berpakaian santai. Sepertinya lelaki itu pergi ke rumah terlebih dahulu sebelum menemuinya.
"Lo kenapa ke sini? Emang enggak banyak kerjaan?" tanya Fiza saat mengingat ucapan Zeta yang memberitahukan bahwa dirinya banyak kerjaan.
Gia melangkah sambil mengangkat bahunya. "Enggak tuh. Malah hari ini karyawan pada pulang cepat."
"Zeta balik lagi ke kantor enggak?"
Gia tampak mengingat-ingat, lalu menggeleng. "Enggak kayaknya. Dia tadi ikut bos meeting. Kayaknya sambil ke sini, ya?" tanyanya saat melihat plastik berisi buah segar dan kulit jeruk yang terletak di samping plastik.
Fiza mengangguk sambil menyerahkan plastik berisi buah-buahan. Tanpa Fiza berkata apa-apa, Gia mengerti dan dia langsung mengambil satu jeruk.
"Dia tadi bilang katanya banyak kerjaan. Gue kira itu benar," katanya sambil mengambil sebuah apel dari plastik.
"Jangan diambil pusing dulu. Kita bahas dulu rencana lo yang mau investasi," kata Gia setelah menelan jeruknya.
Fiza berniat berinvestasi jangka panjang. Kebetulan, saudara Gia ada yang berpengalaman di bidang itu.
"Lo udah tahu tujuan kenapa pengen investasi kan?"
Fiza mengangguk. Dari dulu, dia sudah menyiapkan niat yang kuat kenapa dirinya harus berinvestasi. Dia juga merasa dana yang dimilikinya cukup untuk berinvestasi. "Udahlah. Gue juga sudah berpikir berkali-kali," katanya yakin.
"Mau investasi apa? Properti atau saham?"
"Dua-duanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Fiksi RemajaAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...