Lelaki yang berada di samping Zeta itu terdiam. Lalu terbahak dengan mengamati wajah Fiza.
Zeta yang tak sepenuhnya sadar menatap heran pada Raiga. Begitu pun dengan Fiza yang merasa keheranan.
"Ta, kakak kamu yang saya tusuk itu bangun lagi, ya?" tanyanya di dekat telinga Zeta.
Zeta hanya membalas dengan gumaman dan menatap Fiza. Kakaknya itu menatap kesal pada Raiga saat dia kembali berbicara dan menjelek-jelekkan adiknya.
"Si tukang ikut campur itu ternyata hidup lagi, ya, Ta. Terus gimana dong nasib kita kalau dia hidup lagi?" tanya Fiza lalu tertawa.
Tatapan Fiza semakin tajam, tangan lelaki itu pun mengepal kuat. "Sinting," gumam Fiza pelan. Lalu lelaki itu mengambil alih Zeta dengan paksa saat Raiga hendak menuntunnya ke kamar.
"Pulang!" titah Fiza pada Raiga yang kesal.
Raiga mengangkat kedua alisnya. "Lo kali yang pulang, masa arwah gentayangan."
Fiza mengabaikan Raiga yang mabuk meski tak terlalu parah, kemudian menarik Zeta ke kamarnya. Setelah dari kamar Zeta, Fiza masih menangkap sosok Raiga yang ada di ruang tamu.
Lelaki berambut cepak itu melangkah semakin dekat menuju Raiga. Dia tersenyum miring lalu bergumam, "Pembunuh bisa berkeliaran, ya, enak banget."
Raiga tak menanggapi apa-apa. Dia hanya menatap Fiza dengan keheranan. Sungguh, Fiza rasanya ingin mencekik leher cowok di hadapannya sampai mati. Namun, dia tidak segila itu meski sangat marah.
Karena Raiga tak mau pergi, Fiza menyeret paksa Raiga. "Lo, jangan gangguin adik gue," ujarnya serius.
Orang yang diajaknya bicara hanya bergumam lalu masuk mobil sedan BMW M4 miliknya. Tak lama dari itu, mobil berwarna mineral white tersebut meninggalkan rumahnya.
Fiza melangkah kakinya menuju rumah. Dia membanting pintu dengan keras. Tubuhnya ia sandarkan pada pintu dan tangannya memijit keningnya pelan.
***
Esok harinya, Fiza menunggu Zeta keluar kamar. Dia ragu adiknya tahu kejadian semalam atau tidak. Yang dia herankan kenapa adiknya itu bisa mabuk dan diantar laki-laki.
Pikiran Fiza terputar pada perbincangannya dengan Vian untuk yang terakhir kali lewat telepon. Vian sebelumnya pernah berkata bahwa Raiga sering mengajak Zeta ke klub malam.
Dia menyesali perbuatannya yang memilih belajar ke luar negeri. Jika saja waktu itu Fiza ada di Bandung, dia pasti akan mencekik Raiga duluan sebelum mengayunkan pisaunya. Karena Vian sendiri hanya akan melakukan perlawanan tanpa bisa menghajar Raiga lebih kuat. Mendiang adiknya itu tak tegaan, berbanding terbalik dengan dirinya.
Pintu kamar Zeta terbuka. Fiza langsung menatap Zeta untuk bertanya tentang semalam. "Duduk," pinta Fiza yang langsung dituruti Zeta.
Di kursi, Zeta langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tak menatap wajah Fiza yang kini tengah kesal.
"Kemarin dari mana saja?" tanya Fiza tanpa basa-basi.
Zeta menurunkan tangannya dari wajah lalu berkata, "Kan udah gue bilangin, gue jalan sama temen."
"Terus kenapa nyampe pulang malam banget sambil mabuk?" tanya Fiza dengan alisnya yang mengangkat.
"Gue cuma shopping aja kok, enggak ke klub," katanya menatap Fiza yakin.
"Terus mana belanjaan lo?" Seingat Fiza, semalam adiknya itu tak membawa belanjaan. "Lo tahu enggak, kalau semalam lo diantar pulang Raiga?"
Zeta tak langsung menjawab, dia menunduk meremas kepalanya. Dia tak sepenuhnya ingat kejadian semalam.
"Raiga anterin lo pulang dan ketemu sama gue. Sayang banget, gue enggak rekam kalau dia jelek-jelekin Vian. Padahal bagus ya, kalau lo tahu percakapan kita."
"Ah," gumam Zeta pelan, "belanjaan gue ketinggalan di mobil Raiga."
Fiza menatap kesal. Lalu tangannya dengan spontan menjitak kepala Zeta. "Lo pura-pura enggak ingat atau bener-bener enggak ingat tentang semalam?"
Zeta menatap Fiza kesal. "Lo apaan sih tanya-tanya gue?"
Lelaki di hadapan Zeta itu tersenyum kecil. Kali ini adiknya telah sepenuhnya sadar. Fiza yakin, adiknya itu tengah berusaha mengingat kejadian semalam.
"Lo pikirin aja kejadian semalam, nanti gue tanya lagi. Harus jawab sejujur-jujurnya." Fiza langsung bangkit lalu menuju kamarnya.
***
Outing kantor akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Di sela-sela pekerjaan Fiza dan senior-seniornya itu membahas outing.
"Eh, waktu kemarin kita outing ke mana?" tanya Fiza yang lupa akan acara tahun kemarin.
"Pulau Seribu, Za. Masa sih, anak muda udah pikun?" balas Mas Faris setengah meledek.
"Terus sekarang kemana? Kayaknya sekarang ke tempat yang agak jauh, ya?" tanya Fiza.
Mbak Mila bergumam. "Iya, sekarang agak jauh. Ke Bali. Pantai Seminyak katanya."
"Tahun depan ke Lombok, ya," celetuk Mas Gavin sambil meraih camilan dari drawer.
"Gue maunya ke Singapura, atau enggak ke Malaysia," kata Fiza yang diangguki seniornya dengan cepat.
"Kali aja pendapatan tahun ini lebih gede, ya," ujar Mas Faris yang diangguki semuanya.
***
"
Ta, gue mau ke Bali, ya, outing kantor. Lo jaga rumah, jangan keluyuran malam, apalagi pergi ke klub," kata lelaki itu sebelum berangkat.
Setelah mendapat gumaman dari Zeta, Fiza langsung pergi. Dia berharap Zeta tidak akan nakal saat ditinggal.
Di Bali, Fiza menolak saat diajak ke klub malam. Dia juga tidak ikut senior perempuannya yang berbelanja. Pasalnya dia tidak suka belanja. Lelaki itu menolak pergi ke klub karena dia sudah puas selalu clubbing saat masih kuliah di Melbourne. Apalagi setelah kematian Vian, yang membuatnya semakin sering ke klub malam.
Lelaki itu memilih berjalan-jalan di pantai. Tubuhnya yang dibalut jaket tebal masih merasakan dinginnya angin malam. Meski begitu, dia menikmati suara deburan ombak.
Dia menyusuri tepi pantai, sampai langkahnya terhenti pada dua manusia yang tengah berciuman. Spontan Fiza langsung memalingkan wajah ke arah pantai. Namun, sosok perempuan itu mengusik pikirannya karena menyerupai Zeta.
Fiza melangkah menuju pantai. Membiarkan kakinya disapa air yang dingin. Lalu melihat kembali dua orang itu yang masih di sana. Karena merasa itu adiknya, Fiza langsung menelepon Zeta.
Suara telepon dari belakangnya membuat Fiza terkejut. Nada dering panggilan itu mirip dengan ponsel adiknya. Akan tetapi, Zeta tak mengangkat telepon.
Saat Fiza berbalik, dua orang itu sudah pergi. Namun, suara samar-samar nada dering itu masih terdengar.
"Lo di mana, Ta?" gumamnya dengan pikiran khawatir sambil menatap laut yang tak berujung.
Fiza
KAMU SEDANG MEMBACA
Altamura ✔
Roman pour AdolescentsAwalnya, tujuan Arfiza adalah membahagiakan keluarganya. Namun, itu semua berubah saat orang lain merusak keluarganya. Membunuh adik lelakinya karena alasan cemburu tanpa merasa bersalah. Setelah itu, hanya ada satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memb...