Bagian 3

2K 166 8
                                    

Malam mulai tiba, suara jangkrik kian riuh, di tambah hujan tipis yang menemani perjalanan.

Septa menghela nafas panjang, saat kabut membuat jarak pandang kian pendek. Apalagi jalanan setapak jauh dari kata mulus.

"Sepi Mas" gumam Mirah, sembari melilhat sepanjang jalan. Jalan yang sangat sunyi, kanan dan kiri jalan juga tidak ada rumah, hanya pohon-pohon besar yang dapat Mirah nikmati di sepanjang jalan.

"Namanya juga desa terpencil" jawab Septa seadanya.

"Tapi, desa yang dulu rasanya juga padat Mas, gak hutan belantara begini"

"Itu kan pas udah di desanya. Ini, sepi juga karna kita masih di jalan, belum sampai tujuan"

Mirah mengangguk kecil, lalu kembali memandang jendela, sibuk memandangi jalan. Sampai segerombolan anak kecil terlihat diantara rimbunya semak.

"Mas, ada bocah" ucap Mirah dengan intonasi tinggi, berharap suaminya berhenti sejenak.

"Hah? Di hutan kaya gini? Ga mungkin lha Mir" ucap Septa tanpa mengalihkan pandanganya.

"Beneran Mas, orang banyak kok, segerombol gitu" jawab Mirah meyakinkan suaminya.

"Mungkin kamu kecapean, jadi salah lihat. Ga mungkinlah ada orang tua yang ngebolehin anaknya main jam segini, apalagi ini sudah jam sembilan malam."

Mirah menghembuskan nafas panjang, sekali lagi dirinya melihat ke arah segerombol anak yang tadi dirinya lihat. Segerombolan anak itu masih melihat Mirah, segerombol anak tanpa baju, yang sebagian badanya tertutup rimbunya rumput.

..........

Pukul 12:00 Septa sampai pada rumah yang dekat dengan tugu yang bertuliskan "Desa Rantru"

"Woeee Bang.." teriak seseorang pemuda berumur dua puluhan. Seseorang itu bernama Bowo, perawakanya tidak terlalu tinggi, mengenakan kupluk dengan sarung yang di slempangkan di badan.

"Wah, Bowo!" ucap Septa sembari memeluk ringan. "Ini Istri saya" imbuh Septa sembari memegang punggung Mirah.

"Wahhh, Bu Mirah ya?" tanya Bowo ramah, sembari mengulurkan tangan.

"Iya, saya Mirah, panggil Mbak aja" jawab Mirah, sembari menyambut uluran tangan Bowo.

"Baik, Mbak. Ini barang-barangnya di turunin saja, biar di angkut sama warga. Terus Mbak Mirah, sama Bang Septa ikut saya naik Dokar.

"Yaudah, ayo bantuin saya nurunin barang dulu" pinta Septa sembari membuka pintu belakang mobil.

"Siap Bang, oiya Mbak Mirah nunggunya di dalam rumah saja, ada Buk Nur di dalam"

"Yasudah, saya masuk dulu ya" ucap Mirah, sebelum masuk ke dalam rumah.

Suasana rumah Buk Nur, sangat traditional. Rumah yang serba kayu dengan halamanya yang luas. 

Di dalam rumah ternyata tidak hanya Buk Nur, tapi anak-anaknya juga belum tidur. Tengah mendengarkan dalang cilik yang sedang memainkan wayang kulit.

"Permisi.." sapa Mirah, saat sampai di ambang pintu.

"Eh, Bu Dokter! Bu Dokter" teriak salah satu anak, anak manis bernama Dewi. Teriakanya membuat saudaranya yang lain ikut heboh, berlomba-lomba sampai ke ambang pintu. Berebut menjabat tangan Mirah.

"Hehhhh, jangan ngeribetin Bu Dokter!" teriak Bu Nur sembari merapikan jilbabnya.

"Ah, Gakpapa Buk" ucap Mirah sembari mengelus kepala Dewi.

"Maaf ya Bu, anak-anak saya nakal"

"Ahh, engga. Ini semua anak Buk Nur?" tanya Mirah, melihat empat orang anak yang ada di hadapanya.

"Masuk dulu Bu Dokter" ajak Buk Nur sebelum menjawab pertanyaan Mirah.

Mirah duduk di tikar bambu, menghadap wayang yang masih tertancap pada batang pisang.

"Ini semua anak saya, yang paling besar namanya Dewi, yang ke dua namanya Gatra, yang ke tiga dan ke empat namanya Antareja sama Antasena" ucap Bu Nur.

Dalam hati, Mirah begitu iri. Untuk punya satu saja, Tuhan belum mengabulkan, tapi begitu murahnya Tuhan kepada Buk Nur, hingga mengaruniai empat anak sekaligus.

"Bu Dokter, jangan ngelamun" ucap Dewi sembari mengelus tangan Mirah.

"Ahh, maaf ya, jadi ngelamun.. Panggil Bu Mirah saja ya, kan yang Dokter suami Ibu" jawab Mirah.

"Iya Bu Mirah" jawan anak Buk Nur serentak.

"Di minum teh nya Bu Mirah"

"Jadi ngerepotin Bu.."

"Engga, maaf ya seadanya"

"Ini juga sudah ngrepotin Bu" jawab Mirah, tak enak hati.

"Nanti kalau ada apa-apa, Bu Mirah ke sini ya.. Terus kalau warga desa ngomong yang engga-engga, ndak usah di dengerin" ucap Buk Nur mengingatkan.

Belum juga Mirah menjawab, Septa sudah lebih dulu mengajak Mirah untuk bergegas.

"Buk Nur, wah makasih banyak loh, kok sampai di jamu begini Istri saya"

"Gakpapa Pak Dokter, ini juga alakadarnya"

"Ini semuanya sudah beres, jadi saya mau pamit dulu ya Buk, anak-anak" ucap Septa.

"Saya duluan ya Buk Nur, makasih sudah di jamu" ucap Mirah.

"Hati-hati ya" ucap Buk Nur mengantar sampai ke ambang pintu.

Tapi baru saja Mirah keluar, Reja, anak yang paling kecil, menggandeng tangan Mirah.

"Bu, mereka ngikutin" ucap Reja.

Buru-buru Buk Nur, membekap mulut Reja. "Gausah di dengerin Bu Mirah" ucap Buk Nur.

Mirah mengangguk ringan, walau fikiranya melayang, coba mengartikan apa yang di maksud Reja.

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang