Bagian 7

1.7K 184 14
                                    

Angin berhembus pelan, membelai badan Septa yang tengah beradaptasi dengan rasa dingin. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, yang mustinya suasana harusnya lebih hangat.

Namun tak bisa di pungkiri, Septa begitu senang melihat antusias warga yang begitu besar. Balai Desa yang luas, kini penuh sesak. Memperlihatkan hampir keseluruhan warga Desa Rantru.

"Jadi, Bapak dan Ibu, ini adalah Dokter Septa yang jauh-jauh dari kota untuk melayani warga Desa Rantru.

Beliau ini Dokter Umum. Selama di desa ini, Beliau akan berada di puskesmas dari jam 08:00 sampai jam 15:00. Selebihnya, Beliau berada di rumah.

Jadi, untuk Bapak dan Ibu yang memiliki keluhan, monggo jangan sungkan-sungkan datang berobat ke Dokter Septa" jelas Pak Dharma selaku RT di Desa Rantru.

Warga mengangguk dengan senyum merekah, menyambut hangat kedatangan Dokter Septa.

"Pertama-tama, sungguh saya sangat berterimakasih atas antusias Bapak dan Ibu yang begitu besar. Saya di Desa Rantru mengabdikan diri selama dua tahun lamanya untuk membantu warga mendapatkan tindakan medis yang sesuai dengan keluhan. Jadi, jangan sungkan-sungkan ya Bu, Pak, untuk berkunjung ke puskesmas jika ada keluhan atau sesuatu yang ingin di tanyakan" ucap Septa hangat.

Sekali lagi warga mengangguk, masih antusias mendengarkan penyuluhan yang Septa berikan. Bahkan saat membuka sesi pertanyaan pun, banyak yang antusias bertanya.

Namun, saat sibuk menjawab pertanyaan warga, seseorang mencuri perhatian Septa. Seseorang itu adalah perempuan berambut gimbal, mengenakan kebaya berwarna merah kumal, jarit seatas lutut berwarna putih ber motif kan bunga yang hampir tak terlihat saking kotornya, dan bertelanjang kaki, memperlihatkan goresan-goresan luka yang mulai bernanah.

"Ibu yang di sana perlu bantuan?" tanya Septa berjalan mendekati perembuan bernama Mega. Membuat seluruh mata tertuju pada sosok perempuan yang sudah lama di asingkan.

"Pembunuh!!!! Pembunuhhh!!!!" teriak Mega saat Septa sudah berada tepat di hadapanya. Tatapan Mega terlihat nyalang, penuh dengan amarah.

"Tenang, saya mau bantu" ucap Septa lembut, mencoba menenangkan. Namun, Mega malah semakin mendekat.

Dengan sigab Bowo yang sedari tadi di dekat Septa membekap tubuh Mega yang terlihat ringkih, tak butuh banyak, satu orang saja cukup untuk menghentikan langkahnya untuk mendekati Septa.

"Wo, tolong jangan kasar-kasar ya" pinta Septa.

"Tenang, Bang. Ini memang gila, kalau gak di pegangin takutnya bikin onar" jawab Bowo dengan masih memegangi Mega.

"Ya sudah.." ucap Septa membungkuk. Meraih sapu tangan di sakunya, lalu membersihkan luka pada kaki Mega yang tidak terawat.

"Pak, tolong ambilkan tas kecil saya" pinta Septa pada Pak Dharma yang dengan sigab mengambil tas kecil berwarna hitam milik Septa.

"Balekno anakku!" (kembalikan anakku) rintih Mega.

"Duh Bude, anakke njenengan niku sampun seda" (Duh, Bu, anaknya Ibu itu sudah meninggal) jawab Bowo prihatin.

"Mokallll!! Mokall!!" (Bohong! Bohong!) teriak Mega tak terkendali, sampai menumpahkan alkohol yang akan di gunakan untuk menyeka lukanya.

"Udah Pak Dokter, jangan di obatin! Ini orang harusnya di pasung aja! Dasar gila!" ucap Dharma kesal.

"Bapak-bapak tolong bantu saya memegangi Ibu ini, tolong jangan kasar" pinta Septa, tanpa mengindahkan kata-kata Dharma.

Septa kembali mengambil alkohol yang tadi sempat terpelanting. Saat Mega sudah di pegangi, barulah Septa menyeka luka itu menggunakan alkohol.

"Bu, selain luka di kakimu, luka di hatimu juga harus di seka, di bersihkan, dan di rawat.

Seperti alkohol yang menempel pada luka di kakimu, itu memang sangat menyakitkan, tapi harus di lakukan agar luka di hatimu tidak bernanah.

Kehilangan seseorang yang di cintai memang berat, maka dari itulah kerelaan harus di segerakan agar sedihmu tidak berlarut-larut" ucap Septa sembari membalutkan perban pada kaki Mega.

Tak hanya itu, Septa juga memberikan sepasang sendalnya, agar Mega tidak lagi bertelanjang kaki.

Membuat Mega terdiam beberapa saat, sebelum ahirnya menangis meraung-raung.

"Tak apa menangis, air mata membasuh luka. Setelah selesai memangis, cobalah untuk bahagia" ucap Septa sembari menepuk pelan punggung Mega.

"Pak, Bu.. Jika ada saudara kita yang terkurung dalam kesedihan, jangan di kucilkan. Karna obat yang bisa kita beri adalah penerimaan, selama saudara kita merasa di terima, luka hatinya berangsur-angsur sembuh, dan kesepian tidak bisa membunuhnya" imbuh Septa, kembali melanjutkan penyuluhan.


*Sudah, Bagian 7. Bagaimana kesanmu membaca Rumah Dinas? Semoga menyenangkan. Untuk saran bisa tulis di komen, dan like agar Jiku semangat melanjutkan part selanjutnya. Nuhunn

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang