Bagian 22

1.5K 150 11
                                    

Mbok Sinem, mematung. Di dekapnya bayi itu dalam gendonganya. "Biar bayi ini, aku saja yang menguburkan" ucap Mbok Sinem.

Warga mengangguk paham, bayi itu di tinggal, dan hanya Mega yang di bawa. Sisanya mengikuti Dadang dan Dharma menuju Hutan Kayu Mati.

"Bu.." panggil Bowo, memperhatikan punggung Mbok Sinem.

"Semua bakal baik-baik saja" ucap Mbok Sinem, air mata menggenang di pelupuk matanya. Tanganya bergetar hebat. Tidak menyangka, hanya karna ingin posisinya aman dirinya sampai membunuh bayi itu. Dan membiarkan Dharma lepas begitu saja.

"Maafkan Mbok, ya Cah Ayu" imbuh Mbok Sinem sembari mengelus bayi yang masih bersimbah darah, sebelum ahirnya di kuburkan pada pohon pisang di belakang rumah. Berbaur dengan kerangka lain yang sudah lebih dulu menyatu dengan tanah.

..............

"Hargggggg" erang Widuri, saat rambutnya terasa seakan lepas dari kepala. Namun, bukan Dadang jika mendengarkan kesakitan seseorang. Dadang terus menyeret Widuri, membuat wajahnya terus menghantam kerikil-kerikil tajam di sepanjang jalan.

"Aku sudah bilang kan.. Tapi siapa yang tidak mau dengar?" tanya Dadang setengah berbisik.

"Ku tandai kamu Dang!" teriak Widuri dengan suara serak.

"Tandai sesukamu" ucap Dadang, menyeringai puas. Sungguh rasanya orang buta pun tau dia tengah berbahagia.

Warga menghentikan langkahnya, tepat di depan Hutan Kayu Mati. Hutan itu nampak mengerikan, terlebih saat malam hari seperti ini.

"Siapkan pasunganya, dan bantu aku bawa perempuan gila ini ke dalam hutan!" ucap Dadang, membuat Warga bergegas masuk, membuka jalan.

Widuri meringis, ketika kulisnya yang koyak terkena rumput ilalang yang tajam. Kepalanya pusing, rasanya begitu berat bahkan untuk sekedar membuka mata, sampai ahirnya semua benar-benar gelap.

........

Kelabang merayap menyusuri kulitnya, sesuatu menggigit kulitnya yang sudah koyak, Widuri membuka kelopak matanya yang masih berat.

Gelap, kata utulah yang pertama kali dirinya rasakan saat matanya sudah benar-benar terbuka.

Kesunyian menusuk inti jiwanya, dirinya benar-benar di tinggalkan sendirian di dalam hutan yang begitu luas.

Tangisnya pecah, ketakutan menjalar di sekujur tubuhnya saat menyadari bahwa tubuhnya penuh dengan kelabang dan juga lalat.

Rasanya begitu ngilu, saat kelabang itu mencoba masuk ke dalam luka yang sudah menganga.

"Tolongggggg!!! Tolonggggg aku!!!" teriak Widuri, menggema ke seluruh hutan, tanpa bisa di dengar.

"Harrrrggggg Sakiiittttt!!" rintihnya, dirinya tak bisa bergerak, rantai mengikat tangan dan kakinya.

Widuri gemetar, selain badanya yang sakit, sesuatu juga mengusik telinganya . Sesuatu yang ramai terdengar, membuat Widuri semakin ketakutan.

"Halusinasi! halusinasi!" Widuri menggelengkan kepalanya. Sampai terdengar sesuatu mendekat melewati rimbunya rerumputan.

Hihihi

Suara tawa itu terdengar nyaring. Membuat Widuri memperhatikan sekitar dengan tatapan mata tajam.

Tak ada siapapun, hanya angin yang lalu lalang melewati rimbun rumput. Membuat seakan-akan ada sosok yang tengah berlari dengan begitu cepatnya.

"Harrrrrggggggggg" teriak Widuri lagi, fikiranya buntu, ketakutanya tak berujung seakan bisa membuatnya gila sekarang juga.

"Cukup!! Cukup!!" teriaknya lagi.

"Cukup?" tanya sosok dari balik rumput. "Kami juga bilang cukup, waktu kau melukai kami" sosok itu memperlihatkan wujudnya.

Sosok anak kecil tanpa kulit, mendekatinya. "Bagaimana rasanya?" tanya Anak itu, menyentuh pipi Widuri dengan tanganya yang tinggal tulang.

H-3 Tamat.

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang