Bagian 25

1.6K 145 18
                                    

Malam tak pernah se mengerikan malam ini, nafas Septa memburu tat kala sesuatu seperti tengah mengikutinya dari belakang.

Terlebih jalanan yang becek menimbulkan decak suara dari sendal jepit Septa.

"Lepas sendalnya Bang!" ucap Bowo saat sekelebat sinar senter melewati rumput di sebelah mereka.

Septa tak banyak tanya, di lepasnya sendal itu, lalu dengan sekuat tenaga Bowo berlari sembari menarik Septa.

Bukanya membaik, suara tubuh yang melewati rumput membuat semua mata mencari sumber dari suara terseput.

Suara langkah kaki kini bukan hanya milik Septa dan juga Bowo, namun berasal dari Warga yang sudah menunggu kedatangan mereka.

"Arep mlayu nyandi Wo?" (Mau lari kemana Wo?) tanya salah satu warga yang sedari tadi menunggu di perbatasan Desa.  Warga itu tersenyum licik sembari keluarkanya clurit yang tadinya tergeletak di tanah.

"Wong iki ra salah Pak! Ra enek urusan!" (Orang ini gak salah Pak, Dia gak ikut campur) ucap Bowo meyakinkan.

"Jelas salah! Mergo dee, Mega nekat! Mergo dee Wireng mbalek nek deso iki" (Jelas salah! Karna dia, Mega menjadi nekat, karna dia juga Wireng kembali meneror Desa)

"Tapi ket awal seng salah iku.." (Tapi, dari awal yang salah itu..) ucapan Bowo terputus.

"Dharma? Warga wes ngerti sak genah-genahe. Adoh saurunge iki kedaden! Tapi, seng wes kedaden tanggungane kabeh kan? Awkmu nglakoni iki, mergo pe nebus salahe Ibumu? Lak treh pancen bener pengenmu nebus salahe Ibumu, awkmu kudu ngolek uong kanggo mbalekne keadaan. Wong seng tak maksut iku nek mburimu" (Dharma? Warga sudah tau yang sebenar-benarnya, jauh sebelum kejadian ini! Tapi, yang sudah terjadi bukankah tanggungan semua orang? Kamu pun melakukan ini untuk menebus kesalahan Ibumu kan? Kalau memang benar keinginanmu untuk menebus kesalahan Ibumu, Kamu harus mencari seseorang untuk mengembalikan keadaan. Dan orang yang aku maksud ada di belakangmu)

Bowo nampak bersifikir, membuat Septa semakin kalut karna suara langkah yang lain sudah semakin dekat.

"Awakmu kudu ngerti, Adewe butuh Dee kanggo mbalekne keadaan. Lak ora, adewe iso kenek teror sak dawane urep" (Kamu harus tau, kita butuh Dia untuk mengembalikan keadaan. Kalau tidak, kita bisa kena teror seumur hidup)

"Hmmmp" Septa mencoba untuk pergi mendahului Bowo, saat mendengar suara langkah kaki Warga yang semakin dekat. Sampai saat tangan bowo mencengkram tangan Septa dengan kuat.

"Wo!" geram Septa panik, melihat tatapan Bowo yang mendadak dingin padanya

BUGH!!

Sebuah pukulan mendarat pada wajah Septa, membuat pandanganya menjadi gelap dan kehilangan kesadaran.

.........

Mirah menganga, saat dirinya sampai pada sebuah hamparan tanah yang lapang. Namun, sesak dengan banyaknya orang. Seakan Warga telah menantikan kedatanganya.

Berbeda dengan Mirah, Ndoho terlihat tenang. Begitupun saat Ndoho melihat sosok Mega dalam rimbunya rumput yang tengah melemparkan senyum sinis padanya. Ndoho membalas senyum tersebut dengan senyum yang sama, begitulah senyum untuk mewakili perasaan muak kepada seluruh Warga desa.

Dharma datang dengan wajah yang memerah karna menahan amarah, dengan kuarang ajar nya Dharma menarik rambut Mirah dan menyertnya ke tengah kerumunan orang.

"Harggggg!" Erang, Mirah saat merasakan sakit dan kaget secara bersamaan.

Ndoho tidak bereaksi, saat Mirah di perlakukan sedemikian rupa. Bahkan saat Dadang menempelkan sebilah parang pada lehernya pun, Ndoho tidak menunjukkan rasa takutnya.

Membuat Dadang merasa ada sesuatu hal yang ganjal.

"Benakno kedaden iki, lak ora.. Awkmu ra bakal metu ko deso iki urep-urep" (Perbaiki keadaan ini, kalau tidak.. Kamu tidak akan bisa keluar dari hutan ini dalam keadaan hidup) ancam Dadang.

"Cih, aku gak habis fikir! Bukanya kalaian ngerasa dejavu? Seakan kejadian lima tahun lalu terulang kembali? Kalian sudah tau hitam putihnya, siapa yang salah dan siapa yang jadi korban. Tapi, malah terjebak pada situasi yang sama!" sentak Ndoho membuat Warga terdiam.

"Mok pikir iki mergo sopo? Mergo Dokter iku!! Iyo kan?" (Kamu fikir ini karna siapa? Karna Dokter itu! Iya kan?) tanya Dadang pada Warga.

"Adewe mung pengen ayem!" (Kita hanya ingin damai) ucap salah satu Warga.

Ndoho hanya menggelengkan kepalanya, "Lak treh pengen ayem, Tak dudohne ayem seng sak tenane!" (Kalau ingin damai, aku tunjukkan damai yang sebenarnya!)


*Hallo, semuanya :) maaf atas keterlambatanya.. Ada sedikit info, karna ceritanya terlalu panjang, Jiku memutuskan untuk menambah satu lagi chapter. Sehingga keseluruhan chapter menjadi 26 chapter. Semoga chapter terahir cepat upp ya, makasih untuk kalian yang selalu setia!! Happy reading!

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang