Bagian 23

1.5K 143 15
                                    

Anak yang lain semakin mendekat, mengerubungi Widuri. Membuat Widuri membeku dalam ketakutan yang luar biasa.

"Bagaimana rasanya menunggu kematian? Menakutkan bukan? Kami pun menjerit dalam diam saat kami di bunuh dalam kandungan Ibu. Rasanya seperti di bakar hidup-hidup saat cairan itu tertelan oleh kami"

Tangis Widuri menggelegar, menggema di seluruh sudut hutan. Tangisan itu begitu ngilu, hingga siapapun yang mendengar pasti tau jika pemilik tangis itu tengah di rundung kesedihan yang teramat sangat.

"Maaf..." Ucap Widuri setelah menarik nafas dalam-dalam. Suaranya bergetar, terdengar serak.

"Mahluk sepertiku, tidak bisa membunuh manusia. Menurutmu sudah berapa lama kami menunggu saat-saat seperti ini? Memandangimu mati secara perlahan. Jadi, balasan terbaik yang bisa kami beri adalah, ada di saat-saat kau akan meregang nyawa. Membuatmu tidak melupakan sosok sepertiku, sosok yang kau rampas hidupnya. Jadi, matilah dengan luka yang teramat dalam, sampai ahirnya nanti kebenaranya terungkap"

..........

Sudah seminggu paska meninggalnya Widuri. Sudah seminggu juga Warga di terror oleh penampakan tak menyenangkan.

Dadang dan juga Dharma terlihat pucat, sudah seminggu mereka tidak bisa tidur dengan nyenyak.

"Kapan Ndoho teko? Iso edan aku lak mben bengi di parani demite Widuri" (Kapan Ndoho sampai? Bisa gila aku kalau setiap malam di datangi sosok Widuri) ucap Dadang.

"Jare bengi iki moro" (Katanya, malam ini dia datang) jawab Dharma mencoba mengambil korek.

Namun, belum sempat korek itu di sentuh. Dengan sendirinya korek itu menjauh.

"Mau menghilangkanku?" tanya suara yang terdengar familiar.

Dadang dan Dharma beradu tatap. Hari yang sudah petang membuat kengerian terasa dua kali lipat.

"Sebelum itu..." Ucapan itu terputus, bersama korek yang menyala dengan sendirinya. "Bagaimana, kalau kalian ku bakar lebih dulu? Supaya impas"

Api dari korek mulai menyebar, dari balik api terlihat sosok hitam yang mentap Dadang dan juga Dharma dengan mata merah dan seringai dari bibir yang koyak penuh darah.

Namun, itu semua tidak berlangsung lama. Warga dengan cepat memadamkan api, dengan Ndoho yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

"Jangan kelewatan!" ucah Ndoho pada sosok hitam yang menatapnya marah.

"Jangan ikut campur!" ucap sosok itu ganas.

"Yang kamu mau hanya pengakuan kan? Yang kamu mau, warga tau kalau kamu gak bersalah kan?" tanya Ndoho, Warga yang menguping berhamburan masuk, melihat kobaran api yang sudah mereda.

"Aku juga mau mereka mati! Seperti yang mereka inginkan padaku dulu!" teriak sosok itu menunjuk satu persatu warga.

"Usir dia! Sosok itu bahaya!" teriak Dadang.

"Harggggggggggggg" Widuri berteriak di depan Dadang. Semakin kesal dirinta semakin buruk pula rupanya.

Teriakan itu begitu keras, begitu ngilu, memperlihatkan mulut Widuri yang semakin lebar hingga bisa menelan Dadang jika bisa. Kerongkonganya sampai terlihat dengan kelabang yang keluar dari mulutnya.

Ndoho yang sedari tadi enggan, karna tau alasan kenapa wujud Widuri bisa sampai sedemikian rupa. Kini mengambil alih, di bacakanya sesuatu yang mengikat. Dan ikatan itu hanya bisa di buka dengan nyawa manusia.

Karna warga mengira orang yang tidak akan memberikan nyawanya pada Widuri adalah orang yang sangat membencinya, di ambilah darah Mega sebagai pengikat.

"Roh ini akan ku ikat di hutan. Ini bukan untukmu, tapi untuk warga. Kau tidak tau seberapa besar dendam yang dia bawa, jika sampai dia bangkit kembali, orang pertama yang akan dia cari adalah kalian. Dan saat itu tiba, mungkin saja aku akan membantunya sebagai penebus rasa bersalahku. Ini adalah dosa bersama, bukan berarti warga tidak ambil bagian dari darahnya. Pembalasanta akan merata" ucap Ndoho membawa roh itu kembali kehutan.





H-2 tamat.

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang